Tiada Kata-kata
Trias Kuncahyono ;
Penulis
Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 24 Januari
2016
Sepanjang 2015, lebih
dari 21.000 orang Suriah tewas. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk
sipil (Syrian Network for Human Rights).
Data yang disodorkan The Syrian
Observatory for Human Rights tentang jumlah korban tewas sejak perang
pecah pada 2011 hingga pertengahan 2015 tak kalah menggetarkan: 240.381 orang
tewas, termasuk 12.000 anak-anak!
Apakah seluruh korban
tewas sudah dihitung? Bisa jadi ada yang terlewatkan atau tidak dilaporkan.
Kalau ditambah dengan korban luka, dan pengungsi, tentu akibat perang Suriah
sungguh sangat mengerikan, menakutkan, dan menggetarkan.
Tidak hanya perang
yang telah mencabut demikian banyak nyawa. Terorisme juga menjadi pencabut
nyawa manusia yang sangat mengerikan. Menurut data yang dikeluarkan "Institute for Economics and
Peace" (2015), sebuah global
think tank yang berbasis di Sydney, New York, dan Mexico City, sepanjang
tahun 2014, sebanyak 32.727 orang tewas karena terorisme. Jumlah korban tewas
tersebut melonjak demikian tinggi jika dibandingkan korban tewas akibat
terorisme sepanjang 2013, yang tercatat 18.066 orang.
Yang menarik,
sekaligus memprihatinkan, sekitar 30 persen korban tewas pada 2014 berasal
dari Irak. Sepanjang 2014, di Irak, terjadi 3.370 serangan teroris yang
menewaskan 9.900 orang (sekadar perbandingan, pada 2006, sebanyak 20.487
orang tewas karena aksi teror dan tahun 2007 korban tewas naik menjadi 22.719
orang). Jumlah korban karena aksi teror itu belum termasuk korban teror yang
terjadi sepanjang 2015 dan awal 2016, di Paris, Beirut, Tunis, Ankara,
Istanbul, Jakarta, Charsadda (Pakistan), dan sejumlah kota di Afrika, yang
kerap kali terjadi.
Inilah potret kekejian
manusia terhadap manusia lain. Inilah "kekejian yang membinasakan".
Istilah "kekejian yang membinasakan" itu muncul karena tindakan
Antiokhus IV Epiphanes, raja dari Dinasti Seleukus (Seleukid), yang meraja
antara tahun 175 dan 164 SM. Selama menjadi raja, cita-citanya adalah
menyatukan imperiumnya melalui kebudayaan Yunani, atau Hellenistik. Ahli
sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen, mengatakan, peradaban Hellenistik
adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat.
Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes,
Antiochia, dan Aleksandria/Iskandariyah.
Ia berupaya memaksakan
cara hidup, kebiasaan, dan agama Yunani kepada orang Yahudi di Palestina yang
menjadi wilayah jajahannya. Sekitar 168 (167?) SM, Antiokhus menjarah Bait
Allah milik orang Yahudi di Jerusalem. Di atas mezbah Bait Allah, ia
membangun sebuah mezbah baru yang dipersembahkan untuk Zeus, dewa Yunani. Ia
juga melarang orang Yahudi menjalankan Sabat dan memerintahkan agar mereka
tidak menyunat putra-putra mereka. Siapa pun yang membangkang dihukum mati.
Di mezbah Zeus itulah
kemudian Antiokhus mempersembahkan babi. Tindakah inilah yang kemudian
dikenal sebagai "kekejian yang membinasakan". Dan, di atas sayap
kekejian akan datang yang membinasakan, sampai pemusnahan yang telah
ditetapkan menimpa yang membinasakan itu (Daniel). Tetapi, kapan penyebar
"kekejian yang membinasakan" itu akan musnah? Itulah pertanyaannya
kini, karena "kekejian yang membinasakan" masih terus muncul di mana-mana.
Bisa jadi, "kekejian
yang membinasakan" akan terus terjadi, dan bahkan menjadi lebih keji,
terutama yang dilakukan para teroris. Frank Barnaby dalam The Future of Terror (2007) memberikan
gambaran tentang ancaman terbesar pada abad ke-21 ini.
Terorisme
internasional, terutama terorisme fundamentalis, adalah salah satu ancaman
terbesar yang dihadapi komunitas internasional. Terorisme fundamentalis
merupakan ancaman yang terus-menerus berkembang: ideologi teroris baru
disertai metode-metode baru, senjata lebih canggih dan lebih sulit dideteksi,
serta serangan (bom) bunuh diri menjadi lebih sulit untuk dihadapi.
Sebelum tragedi 11
September 2001, serangan di New York dan Washington, serangan teror terutama
dilakukan karena alasan politik dan nasionalistik. Sebutlah serangan yang
dilakukan oleh IRA (di Irlandia), ETA (di Spanyol), Macan Tamil (di Sri
Lanka), atau Hamas (yang oleh Barat dimasukkan dalam golongan teroris), dan
kelompok Sikh di Punjab. Namun, serangan 11 September 2001 menjadi semacam
titik awal terjadinya serangan teror dengan alasan agama. Maka dari itu
muncul istilah terorisme agama.
Dari sini muncul
istilah "terorisme baru" (agama fundamentalis) dan "terorisme
lama" (karena alasan politik dan atau nasionalistik). Meskipun, tak satu
pun agama, sebenarnya, yang menganjurkan aksi teror; menebarkan kekejian.
Tidak ada!
Kekejian itu lahir di
tempat kata-kata kehilangan dayanya ataupun daya tak membutuhkan kata-kata,
sehingga, kalaupun diucapkan mereka bisu karena hampa. Kata-kata tak lagi
mampu melukiskan penderitaan yang dialami oleh para korban. Kata-kata juga
tak berdaya untuk menggambarkan kebengisan, kekejian para pelaku, para
penebar teror. Coba lihat gambar atau video kekejian yang dilakukan NIIS
(Negara Islam di Irak dan Suriah), misalnya, di Suriah, juga di Irak. Melihat
foto dan video itu, yang ada hanya rasa takut. Rasa takut ini ternyata
membungkam; membungkam mulut. Padahal, kebungkaman itu juga menakutkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar