Terorisme
sebagai Musuh Bersama
Mun’im Sirry ; Asisten Profesor Bidang Teologi di
University of Notre Dame, AS
|
KOMPAS,
02 Januari 2016
Tajuk Rencana Kompas
(3 Desember 2015) menyuguhkan imbauan penting: "bersatu melawan musuh
bersama". Hal ini terkait dengan ancaman nyata terorisme yang hendak
meruntuhkan sendi-sendi peradaban dunia.
Serangan teroris yang
terjadi di sejumlah negara-dari Turki, Lebanon, hingga Perancis-telah
memunculkan gambaran mitis tentang kelompok teroris seperti Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS). Kini yang dibutuhkan dunia ialah "bersatu
melawan musuh bersama" dan mendemistifikasi NIIS sebagai organisasi
kriminal.
Persoalannya, sebagian
kelompok Muslim bersimpati terhadap NIIS atau, setidaknya, tidak menganggap
paham dan perilaku NIIS bertentangan dengan ajaran Islam.
Problem legitimasi
Pertanyaan dasar yang
perlu dijawab ialah apakah NIIS dapat dibenarkan secara keagamaan? Sejumlah
ulama yang diakui otoritas keagamaannya telah mengeluarkan pernyataan dan
fatwa mengutuk tindakan teror dan kebiadaban NIIS.
Menyusul serangan
teroris di Paris, Grand Imam Al-Azhar Ahmed El-Tayyeb menyebut peristiwa itu
sebagai penyimpangan dari ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan.
"Kini saatnya bagi dunia untuk bersama-sama menghadapi monster gila
ini," katanya seperti dikutip koran al-Ahram (14/11/2015).
Yang menyebabkan
pertanyaan di atas cukup rumit ialah kenyataan bahwa NIIS kerap menggunakan
teks-teks keagamaan dan sumber-sumber sejarah untuk menjustifikasi tindakan
mereka. Bukanlah sikap jujur jika kita menafikan bahwa apa yang dilakukan
NIIS punya dasar tekstual dalam tradisi keagamaan. Diskursus keagamaan mereka
dipenuhi dengan referensi pada kitab suci dan sumber-sumber keagamaan lain.
Orang boleh saja
menganggap pemahaman dan tafsir mereka tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur
yang diperkenalkan dan dikembangkan agama. Mereka mencomot ayat-ayat tertentu
atau episode sejarah yang menjadi fondasi narasi Islam secara terisolasi dari
konteksnya. Atau, mereka menghidupkan kembali paham dan praktik keagamaan
yang sudah kedaluwarsa.
Faktanya, apa yang
dipraktikkan NIIS itu tidak bisa dikatakan tidak punya pijakan. Menafikan
kenyataan ini sama dengan menutup mata terhadap teks-teks keagamaan yang
dihasilkan pada zaman pertengahan.
Praktik perbudakan
yang diberlakukan NIIS bagi tawanan perang, misalnya, jelas saja punya
pijakan skriptural dan preseden dalam sejarah Islam. Bentuk-bentuk eksekusi
yang mereka pertontonkan ke dunia dapat ditemukan dalam teks-teks zaman
pertengahan.
Untuk mengatakan bahwa
praktik-praktik NIIS tersebut tidak punya legitimasi, kita dihadapkan pada
pertanyaan ini: siapakah yang berhak berbicara atas nama Islam? Tidak ada
entitas tunggal yang berhak mengklaim paling otoritatif yang dapat menjadi
panutan bagi seluruh kaum Muslim.
Kalau dalam agama
Katolik dikenal ada lembaga kepausan dan Vatikan yang menjadi rujukan absah
bagi penganut Katolik, Islam tidak mengenal lembaga serupa. Al Quran dapat
dipahami berbeda oleh orang berbeda. Kenyataannya, Islam telah melahirkan
beragam mazhab teologis dan hukum yang sama-sama mengaku dan diakui
legitimasinya.
Memang, ada aspek
positif dari watak multivokalitas Islam, yakni tidak ada satu kelompok yang
berhak memonopoli kebenaran tafsir dan pemahaman keagamaan. Aspek ini telah
terbukti ampuh menepis fanatisme mazhab. Sisi negatifnya adalah bahwa setiap
orang atau kelompok dapat mengajukan klaim-klaim semaunya untuk
menjustifikasi tindakannya, termasuk yang dilakukan NIIS itu.
Oleh karena itu, untuk
menjadikan kelompok teroris seperti NIIS sebagai "musuh bersama"
diperlukan strategi jitu. Tidak hanya untuk mempersoalkan tafsir ala NIIS,
tetapi juga cara pandang alternatif terhadap sumber-sumber keagamaan.
Sebagaimana kita
ketahui, NIIS dan kelompok teroris lain menggunakan ayat-ayat
"favorit" mereka. Misalnya, bagian dari kitab suci yang membolehkan
perbudakan atau menyuruh kaum beriman membunuh orang- orang kafir. Ironinya,
kelompok yang menentang NIIS kerap punya ayat-ayat favoritnya sendiri dan
cenderung mengabaikan argumen tekstual yang digunakan kelompok teroris.
Jika kita bermaksud
mendelegitimasi NIIS, kita harus menawarkan cara pandang alternatif yang
lebih viable bagi kemanusiaan. Tak dapat dimungkiri, sumber-sumber keagamaan
bersifat ambigu yang bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. Kerap kali
makna kitab suci sejalan dengan moral pembacanya. "Jika pembaca
intoleran dan penuh kebencian," kata Khaled Abou el-Fadl (guru besar di
University of California Los Angeles), "maka demikian pula makna
teks-teks keagamaan."
Dalam konteks ini,
motif busuk di balik slogan keagamaan mereka perlu dibongkar. Apabila motif
keagamaan ini bersentuhan dengan kepentingan politik, ancaman bagi kultur
toleransi menjadi sangat nyata.
Kolaborasi lintas agama
Tidak ada alasan untuk
bersimpati pada NIIS karena di balik referensi pada teks-teks keagamaan dan
sejarah generasi awal terdapat ambisi untuk membumihanguskan peradaban
majemuk yang dibangun lintas generasi. Misi dan ambisi ini merupakan
antitesis dari watak dan realitas dunia yang kian majemuk.
Kelompok-kelompok
teroris seperti NIIS sekarang menjadi persoalan global. Mereka harus dihadapi
bersama-sama karena mengancam keberlangsungan koeksistensi pluralis. Tentu,
kaum Muslim punya tanggung jawab tertentu untuk mendelegitimasi mereka secara
keagamaan dan melabeli mereka sebagai organisasi kriminal, bukan sekadar bentuk
penyimpangan dari ajaran agama.
Pelabelan semacam ini
penting dilakukan karena dengan hanya menyebut mereka "menyimpang"
dari Islam kita dihadapkan pada pertanyaan seperti didiskusikan di atas:
menyimpang menurut siapa? Lebih dari itu, orang bisa saja kemudian melacak
tindakan teror mereka ke teks-teks keagamaan untuk mendapat pembenaran.
Sebaliknya, dengan disebut "organisasi kriminal", kelompok-kelompok
teroris itu menjelma menjadi problem bagi semua dan perlu dihadapi
bersama-sama.
Dengan demikian, terorisme
bukanlah masalah kaum Muslim semata, melainkan tanggung jawab semua pihak
yang menginginkan kehidupan damai di atas bumi. Sejarah mengajarkan bahwa
cara menghadapi kelompok-kelompok teroris secara kelompok dan sporadis,
seperti yang dilakukan negara-negara Barat saat ini, bukan saja tidak
efektif, melainkan juga kerap melahirkan benih-benih terorisme lain.
Kini makin jelas bahwa
kolaborasi lintas agama sangat diperlukan untuk mengatasi kelompok yang
sangat keji itu. Anehnya, dunia saat ini seperti kehilangan akal. Para
pemimpin negara-negara Barat tahu persis bahwa mereka tidak akan berhasil
membasmi terorisme hanya dengan membombardir NIIS dari udara, tetapi hanya
itu yang mereka lakukan.
Apa yang dilakukan
NIIS sangat kejam. Akan tetapi, membombardir tanpa strategi untuk memenangi
"hati" mereka berarti meniru cara-cara kejam serupa. Kaum ekstremis
itu merasa tertindas di tanah airnya sendiri, yang menyebabkan mereka bersatu
di bawah panji kesalehan. Mereka merasa sebagai Muslim paling baik dan bernafsu
mengenyahkan yang lain.
Keluhan mereka itu
perlu diperhatikan. Para pemimpin agama, terutama Muslim dan Kristen, juga
koalisi lintas agama harus bersatu dan bersama-sama melakukan upaya strategis
untuk mengeliminasi bentuk-bentuk penindasan yang menjadi latar belakang
tumbuh suburnya terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar