Revisi UU Antiterorisme
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Hukum Pidana Internasional
|
KORAN SINDO, 25 Januari
2016
Usul perubahan
undangundang dalam banyak hal disebabkan peristiwa yang terjadi (ex ante), bukan dampak terhadap
masyarakat, begitu pula selalu tidak luput terdapat kelemahan-kelemahan dari
sisi asas lex certa.
Berbeda dengan
peristiwa tindak pidana lain, khusus untuk terorisme sekalipun informasi
intelijen mengetahui gerakan dan jaringannya, tetapi tempus dan locus delicti
peristiwa terorisme selalu tidak terduga; berbeda dengan kejahatan narkotika
dapat dilacak secara online gerakan dan penyerahan narkotika serta jaringan
organisasinya. Contoh nyata keberhasilan pemberantasan jaringan narkotika
terorganisasi daripada terorisme telah diketahui umum.
Peristiwa Bom Bali,
Kuningan, dan Marriot di Jakarta serta Gedung WTC di New York merupakan
contoh nyata sulitnya mencegah peristiwa terorisme di semua negara. Peristiwa
bom di Starbucks, Thamrin dua minggu lalu telah membangkitkan ingatan kita
peristiwa yang sama 12 tahun yang lampau. Satu-satunya andalan semua negara
untuk mencegahnya adalah, selain sarana perundang-undangan juga, kesiapan
personel dan peralatan aparat intelijen merupakan prasyarat keberhasilan
mendeteksi setiap aktivitas kelompok teror.
Perubahan UU
Antiterorisme 2003 bukan prasyarat sukses tanpa koordinasi dan kerja sama
bebas kepentingan antara Polri dan aparat intelijen serta aparatur hukum,
termasuk hakim. Mengapa hakim juga penting dan relevan karena selain
independensi juga diperlukan hakim-hakim yang nasionalis dan tidak menjadi
corong UU.
Dalam perkara
terorisme, selain prasyarat pembuktian dengan bukti permulaan yang cukup,
juga pemahaman hakim tentang seluk beluk kegiatan dan jaringan terorisme
tetap merupakan prakondisi untuk menemukan keadilan, bukan hanya bagi pelaku,
tetapi jauh lebih penting dan harus diutamakan korban-korban tanpa sebab (indiscriminate victims) tidak terbatas
pada usia dan jenis kelamin, bahkan mungkin korban adalah kerabat pelaku.
Dari aspek hukum
internasional, belum ada konvensi internasional yang telah menetapkan
terorisme sebagai ”international crimes”,
dan sampai saat ini masih dipandang sebagai ”crime of international concerned”. Sehingga, implikasi ke dalam
hukum nasional di beberapa negara beragam pengakuannya dan pola
pemberantasannya. Sampai saat ini yang termasuk international crimes adalah genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan
perang, dan agresi.
Berbeda dengan tindak
pidana narkoba dan korupsi, terorisme selalu terkait atau dikaitkan dengan
agama lazim dalam perundang-undangan Barat seperti Inggris, AS, dan
Australia. Keterkaitan atau pengaitan terorisme dengan agama khususnya agama
Islam diperkuat tujuan pembentukan-pembentukan Daulah Islamiyah oleh
organisasi teroris seperti Al Qaeda dan ISIS telah menimbulkan senativisme,
bahkan kegamangan banyak negara dengan mayoritas masyarakat beragama Islam
untuk dapat segera menangkalnya dengan tindakan hukum yang efektif dan
menguatkan efek jera.
Selain itu, isu
perlindungan HAM juga telah memberikan pengaruh yang tidak kecil untuk
efektivitas pemberantasan terorisme. Penegasan berdasarkan UU bahwa terorisme
tidak ada kaitan dengan politik dalam UU Terorisme Indonesia 2003 bertujuan
untuk meminimalisasi atau bahkan menghapuskan kegamangan (ambiguity) atau keengganan (reluctance) untuk menuntaskan setiap
aktivitas ormas di Indonesia yang telah secara terbuka menolak Pancasila
sebagai asas ormasnya dengan tindakan yang telah menimbulkan suasana teror.
Selain hambatan
psikologis dan sosial, keragaman aktivitas terorisme dengan berbagai latar
belakang sosial, budaya, agama, dan letak geografis juga telah mempersulit
kebersamaan dan komitmen masyarakat internasional dalam baik pencegahan
maupun penindakannya.
Di negara seperti Uni
Eropa dan AS dengan mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan dan Katolik
pola pencegahan preventif (preventive
justice) dengan strategi ”preventive detention” tidak mengalami hambatan
sosial yang berarti dibandingkan dengan negara dengan penduduk mayoritas
beragama Islam.
Persoalan pertama yang
penting dijawab secara hukum dengan tepat dan pasti adalah pemisahan kelompok
radikal dan nonradikal sekalipun dengan basis agama yang sama. Persoalan
tersebut terletak pada ideologi yang didasarkan kepada akidah (agama)
tertentu yang tidak mudah untuk ditemukan solusinya sekalipun oleh kaum ulama
Indonesia.
Untuk memperoleh
solusi yang memenuhi asas lex certa
pembentuk revisi UU Terorisme 2003 harus dapat menyusun konstruksi hukum yang
tepat mengenai konsep radikalisme yang dapat dibedakan secara tepat dan pasti
dengan pemikiran nonradikalisme. Tanpa ketentuan yang memenuhi asas lex certa, akan menimbulkan ”moral hazard” yang tidak perlu
terjadi kasus salah tangkap terduga atau tersangka teroris yang pada
gilirannya rentan pelanggaran HAM.
Pendekatan hukum bukan
satu-satunya solusi dalam penanggulangan terorisme, melainkan harus
dilengkapi bersamaan dengan pendekatan agama, sosial, dan budaya yang harus
diarahkan pada landasan filsafat Pancasila yang telah diakui sebagai ideologi
bangsa Indonesia dan ajaran agama yang benar dan dianut mayoritas penduduk
beragama Islam.
Strategi
penanggulangan terorisme hampir di semua negara selalu berpijak semata-mata
pada kekuatan UU dengan fokus hanya pada penindakan/penghukuman. Tetapi,
selama dalam tenggat waktu menjalani hukuman belum tampak aktivitas
pemerintah untuk merehabilitasi/memulihkan pemikiran radikalisme. Sehingga,
dalam praktik tidak dapat mencegah tumbuhnya ”generasi baru teroris”; ”hilang
satu tumbuh seribu” atau bahkan menjadi residivis seperti kasus Afif dalam
Teror Bom Sarinah.
Masalah laten dalam
pencegahan dan penindakan terorisme adalah tentang tempus dan locus delicti
yang tidak pernah terdeteksi sejak awal seolah terorisme identik dengan
”sudden-death” atau serangan jantung dalam dunia kesehatan. Tidak berbeda
dengan keharusan untuk mencegah; analog dengan kesehatan adalah selalu
”general check up” rutin; begitu pula dengan terorisme.
Cara ini perlu untuk
melaksanakan secara konsisten dan profesional UU tentang Ormas; UU ITE khusus
konten radikal, dan UU TPPU khusus aliran pendanaan terorisme sesuai UU Nomor
9 Tahun 2013, dan UU Kepabeanan untuk mencegah penyelundupan senjata; dan UU
Perseroan Terbatas untuk mencegah yayasan atau perseroan digunakan sebagai
sarana (vehicle) pendanaan
terorisme.
Selain cara tersebut,
juga perlu diperkuat UU Keimigrasian khusus untuk mencegah ”migrant smuggling”
asal Timur Tengah, dan termasuk WNI yang mengikuti pelatihan terorisme di
negara lain. Intinya diperlukan koordinasi kelembagaan di bawah BNPT dan
harmonisasi serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait di bawah
supervisi Kemenhukham.
Solusi pertama dan
kedua jelas memerlukan dukungan landasan hukum antiterorisme yang relevan
dengan perkembangan gerakan terorisme dan radikalisme karena keduanya saling
berhubungan satu sama lain: radikalisme akar terorisme jika terdeteksi secara
dini. Pola pertumbuhan terorisme internasional tidak beda jauh pada level
nasional karena telah digunakan sistem ”patronclient relationship” yang kuat.
Pola pertumbuhan
tersebut harus diantisipasi oleh hukum pidana tidak lagi berfungsi sebagai
”ultimum remedium ”, melainkan harus difungsikan dengan alternatif ”primum
remedium ” tidak lagi berbasis bukti permulaan cukup sebagaimana diatur dalam
KUHAP, tapi pemikiran/ajaran radikalisme harus diupayakan sebagai bukti
permulaan yang cukup untuk dapat melaksanakan tindakan hukum penetapan
tersangka diikuti penahanan.
Penahanan terduga
terorisme yang semula bersifat pasif diubah menjadi aktif-represif dikenal
dengan ”preventive detention”. Pola hukum ini tetap harus didasarkan pada
profesionalisme dan akuntabilitas yang tinggi dan prinsip proporsionalitas.
Selain prinsip proporsionalitas, juga perlu didasarkan prinsip subsidiaritas
dalam arti bahwa tindakan hukum dalam proses penyelidikan bertujuan juga
untuk seoptimalnya memulihkan hubungan sosial terduga pelaku dengan lingkungan
masyarakat di luar kelompoknya dengan meminimalisasi risiko sekecil mungkin
jika tidak diperlukan penindakan represif.
Strategi preventive detention harus dinormakan
dalam revisi UU Terorisme 2003 yaitu bahwa ”mens-rea ” dalam bentuk ucapan,
pemikiran, dan konsep-konsep radikalisme merupakan bukti permulaan yang cukup
telah terjadi suatu tindak pidana terorisme dengan mengkriminalisasi menjadi
tindak pidana persiapan (KUHP Belanda 1996-Preparatory Crimes-Title IV).
KUHP Indonesia tidak
terdapat tindak pidana persiapan kecuali percobaan (Pasal 53 KUHP). Dalam
revisi UU Terorisme 2003 patut dipertimbangkan selain unsur dengan sengaja
juga unsur ”patut dapat menduga” (should have known-test ) untuk menemukan
bukti permulaan yang cukup hanya dengan terbukti ada ”mens-rea ” sekalipun
tanpa actus reus (perbuatan).
Untuk melengkapi
kriminalisasi pada mens-rea, tindak pidana terorisme khususnya tindak pidana
persiapan harus dirumuskan sebagai delik formil saja, tidak sebagai delik
materiil. Perkembangan terkini adalah muncul foreign terrorist fighters
(FTF), termasuk yang telah dilakukan sekelompok warga negara Indonesia yang
telah bergabung dalam kelompok makar ISIS.
Sehingga, perlu
dicermati untuk memperkuat ketentuan mengenai penyertaan dalam KUHP (Pasal
55-Bab V KUHP) karena tidak mudah untuk menerjemahkan persiapan tindak pidana
atau tindak pidana penyertaan atau permufakatan jahat yang terjadi dan
dilakukan di mana tempus dan locus delicti terjadi di negara lain. Selain
itu, perlu juga diperkuat dengan perubahan UU Keimigrasian khusus dalam
kelompok tindak pidana keimigrasian atau hanya merupakan tindakan
keimigrasian.
Penulis setuju untuk
revisi saja UU Terorisme 2003 bukan perppu karena perppu memiliki implikasi
ekonomi dan sosial terkait fokus pemerintah meningkatkan penanaman modal
asing dan dalam negeri di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar