Renungan
Jelang 31 Desember
Tantowi Yahya ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI
|
DETIKNEWS,
30 Desember 2015
Tak terasa ASEAN Economic
Community (AEC)—atau yang biasa kita kenal sebagai Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA)—akan segera kick-off
akhir tahun 2015, tepatnya 31 Desember dini hari. Praktis kita hanya punya
waktu satu hari untuk menutupi berbagai 'kekurangan'.
Penulis menggunakan istilah 'kekurangan', sebagai ekspresi
optimisme personal (dan subjektif) bahwa pemerintah (dan kita semua sebagai
bangsa) telah melakukan sebagian besar tugas, dan tinggal melengkapi beberapa
hal yang belum optimal. Optimisme sebagai anak bangsa diperlukan sebagai
modal awal dalam menghadapi liberalisasi perdagangan kawasan Asia Tenggara
yang tak bisa dikatakan ringan.
Meskipun begitu, optimisme subjektif tersebut tetaplah harus
disandarkan pada realitas dan fakta yang ada. Maka dari itu, di samping
merawat optimisme, kita juga kudu melihat posisi teraktual Indonesia dalam
peta ekonomi regional dalam beberapa tahun terakhir.
Data World Economic Forum
(WEF) mengenai Daya Saing Global, menempatkan Indonesia di posisi keempat di
ASEAN. Selanjutnya, World Bank merangking Efisiensi Logistik kita hanya di
posisi kelima dari seluruh negara Asia Tenggara. Posisi yang sama kita catat
dalam hal Peringkat Investasi, dimana berdasarkan rilis Trading Economics, 2015, Indonesia hanya berada di posisi kelima.
Terakhir, pada isu produktifitas—base on hasil penelitian The Asian Productivity Organization
(APO), 2015—Indonesia lagi-lagi berada di luar tiga besar (posisi 4), di
bawah Singapura dan Thailand. Apa benang merah dari data-data yang kurang
menggembirakan di atas?
Waspada CMLV
Pertama, harus diakui bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus
kita kebut untuk mengejar negara-negara ASEAN lainnya dalam banyak hal jelang
MEA yang tinggal hitungan jam.
Kedua, program pemerintah untuk menciptakan awarness publik,
khususnya stakeholders terhadap MEA di masyarakat kelihatan belum nendang.
Ketiga, ancaman dari negara-negara yang saat ini masih di bawah
Indonesia—khususnya kelompok CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam)—yang
pelan tapi pasti, bisa mengancam posisi Indonesia bila kita tidak segera
bangun dari tidur panjang.
Khusus menyangkut CMLV, pengalaman penulis berkunjung ke kawasan
tersebut beberapa waktu lalu menguatkan dugaan keseriusan mereka dalam
menghadapi MEA. Di Laos misalnya, pemerintah setempat bahkan sampai
menyiapkan tanah gratis untuk investor yang menanamkan investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) di
negara tersebut. Policy yang mirip
juga dilakukan Kamboja, dengan menyiapkan lahan untuk para investor asing.
Sementara di kita, isu pembebasan lahan justru bagai benang
kusut, pangkal ketidakpastian dan selalu berulang di banyak daerah. Hal ini
menjadi salah satu handicap dari minat para investor untuk datang menanamkan
atau meningkatkan investasinya di Indonesia. Isu lain yang menjadi problem
bagi Indonesia jelang MEA adalah upah buruh dan efisiensi birokrasi.
Kekhawatiran itu terkonfirmasi dalam sejumlah sektor, seperti
penurunan kinerja perusahaan manufaktur, khususnya industri sepatu. Data
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), dalam tiga tahun terakhir
tercatat 60 pabrik sepatu gulung tikar dan pindah ke luar negeri karena biaya
produksi yang tinggi serta tuntutan buruh.
Tren yang sama terjadi di sektor mebel dan kerajinan, dimana
berdasarkan data Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI), dari sekitar
5.000 perusahaan eksportir mebel,
hanya sekitar 2.000-an yang beroperasi penuh, sementara sisanya beroperasi
secara tidak reguler, bahkan beberapa telah pindah ke luar negeri, atau
merencanakan pindah.
Selain mengurangi pendapatan pajak negara, kondisi ini juga
menyumbang kenaikan angka pengangguran, karena sektor mebel dan kerajinan
merupakan industri padat karya. Diperkirakan, industri mebel-kerajinan
menyerap lebih dari 2,6 juta tenaga kerja. Bahkan dari daftar perusahaan yang
tutup operasi dan pindah ke luar negeri, beberapa diantaranya adalah
perusahaan besar.
Jebakan
Politicking
Untuk mengatasi berbagai masalah di atas, pemerintah bersama DPR
perlu secepatnya melakukan langkah besar (not
bussiness as usual) agar MEA ke depan bisa menjadi berkah bagi
masyarakat, dan bukannya justru menjadi musibah. Caranya melalui perumusan
berbagai undang-undang terkait MEA, agar selaras dengan tujuan pakta ekonomi
regional di satu sisi, dan melindungi pelaku ekonomi nasional di sisi
lainnya.
Hanya saja harapan tersebut tak begitu saja mudah
direalisasikan. Di saat pemerintah dan parlemen di negara-negara ASEAN fokus
dengan revisi peraturan untuk memuluskan MEA, di sini pemerintah dan DPR
justru terperangkap dalam politicking
yang mengakibatkan kegaduhan politik berkepanjangan.
Pembahasan substantif menuju MEA di DPR sepi, sementara isu-isu
bombastis justru yang di-cover media. Terakhir, politik di belakang isu
perpanjangan Freeport menyita energi kita jelang 31 Desember, sehingga
kemungkinan kita akan gagap ketika MEA benar-benar dimulai.
Melihat lanskap politik di atas, pekerjaan rumah dalam waktu
dekat, yang harus cepat diselesaikan DPR dan pemerintah—walau terlambat—tak
lain adalah menselaraskan berbagai peraturan agar sejalan dengan
prinsip-prinsip MEA. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR
2015-2019 dinyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia ke depan bertujuan
meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
Daya saing dimaksud sesuai dengan arah kebijakan dalam Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) 2014-2019 menyambut MEA 2015. Program dimaksud
berorientasi untuk meningkatkan—sebagaimana yang penulis singgung sebelumnya—pemahaman
dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA yang memiliki karakteristik pasar
tunggal dan basis produksi, daya saing tinggi, kompetitif dan global connectivity.
Ditegaskan juga dalam dokumen Prolegnas DPR tersebut, bahwa
penyesuaian peraturan oleh DPR dan pemerintah merupakan keharusan agar MEA
berjalan efektif. Penyelarasan difokuskan pada enam bidang prioritas, yaitu
persaingan usaha, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual,
pembangunan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce.
Akibat langsung dari konflik politik dan politicking antara pemerintah dan DPR terlihat dari tersendatnya
pembahasan UU terkait MEA di Senayan. Praktis dari enam sektor prioritas yang
ditetapkan di Prolegnas 2015-2019, sampai hari ini baru ada dua pembahasan, yaitu
RUU Jasa Konstruksi dan RUU Ekonomi Kreatif.
Padahal seharusnya dari enam sektor prioritas bisa melahirkan
puluhan UU baru yang senafas dengan MEA. Meski begitu, ke depan kita tetap
harus optimis, karena MEA bukan lagi opsi, melainan policy kawasan yang disepakati bersama dan tak lagi bisa
dihindari.
Akhirnya, sekali penulis lagi mengingatkan, hanya ada satu cara untuk memenangkan MEA, adalah apabila
pemerintah, DPR dan partai-partai politik tidak lagi terjebak pada
agenda-agenda politik jangka pendek yang hanya bombastis tapi miskin
substansi.
Selanjutnya presiden selaku pimpinan nasional dan eksekutif
untuk menekankan kabinetnya agar lebih banyak membuat policy daripada friksi. Dengan begitu MEA ke depan akan menjadi
berkah, dan bukan musibah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar