Jumat, 01 Januari 2016

Renungan Jelang 31 Desember

Renungan Jelang 31 Desember

  Tantowi Yahya  ;  Wakil Ketua Komisi I DPR RI
                                                  DETIKNEWS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tak terasa ASEAN Economic Community (AEC)—atau yang biasa kita kenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)—akan segera kick-off akhir tahun 2015, tepatnya 31 Desember dini hari. Praktis kita hanya punya waktu satu hari untuk menutupi berbagai 'kekurangan'.

Penulis menggunakan istilah 'kekurangan', sebagai ekspresi optimisme personal (dan subjektif) bahwa pemerintah (dan kita semua sebagai bangsa) telah melakukan sebagian besar tugas, dan tinggal melengkapi beberapa hal yang belum optimal. Optimisme sebagai anak bangsa diperlukan sebagai modal awal dalam menghadapi liberalisasi perdagangan kawasan Asia Tenggara yang tak bisa dikatakan ringan.

Meskipun begitu, optimisme subjektif tersebut tetaplah harus disandarkan pada realitas dan fakta yang ada. Maka dari itu, di samping merawat optimisme, kita juga kudu melihat posisi teraktual Indonesia dalam peta ekonomi regional dalam beberapa tahun terakhir.

Data World Economic Forum (WEF) mengenai Daya Saing Global, menempatkan Indonesia di posisi keempat di ASEAN. Selanjutnya, World Bank merangking Efisiensi Logistik kita hanya di posisi kelima dari seluruh negara Asia Tenggara. Posisi yang sama kita catat dalam hal Peringkat Investasi, dimana berdasarkan rilis Trading Economics, 2015, Indonesia hanya berada di posisi kelima.

Terakhir, pada isu produktifitas—base on hasil penelitian The Asian Productivity Organization (APO), 2015—Indonesia lagi-lagi berada di luar tiga besar (posisi 4), di bawah Singapura dan Thailand. Apa benang merah dari data-data yang kurang menggembirakan di atas?

Waspada CMLV

Pertama, harus diakui bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus kita kebut untuk mengejar negara-negara ASEAN lainnya dalam banyak hal jelang MEA yang tinggal hitungan jam.

Kedua, program pemerintah untuk menciptakan awarness publik, khususnya stakeholders terhadap MEA di masyarakat kelihatan belum nendang.

Ketiga, ancaman dari negara-negara yang saat ini masih di bawah Indonesia—khususnya kelompok CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam)—yang pelan tapi pasti, bisa mengancam posisi Indonesia bila kita tidak segera bangun dari tidur panjang.

Khusus menyangkut CMLV, pengalaman penulis berkunjung ke kawasan tersebut beberapa waktu lalu menguatkan dugaan keseriusan mereka dalam menghadapi MEA. Di Laos misalnya, pemerintah setempat bahkan sampai menyiapkan tanah gratis untuk investor yang menanamkan investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) di negara tersebut. Policy yang mirip juga dilakukan Kamboja, dengan menyiapkan lahan untuk para investor asing.

Sementara di kita, isu pembebasan lahan justru bagai benang kusut, pangkal ketidakpastian dan selalu berulang di banyak daerah. Hal ini menjadi salah satu handicap dari minat para investor untuk datang menanamkan atau meningkatkan investasinya di Indonesia. Isu lain yang menjadi problem bagi Indonesia jelang MEA adalah upah buruh dan efisiensi birokrasi.

Kekhawatiran itu terkonfirmasi dalam sejumlah sektor, seperti penurunan kinerja perusahaan manufaktur, khususnya industri sepatu. Data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), dalam tiga tahun terakhir tercatat 60 pabrik sepatu gulung tikar dan pindah ke luar negeri karena biaya produksi yang tinggi serta tuntutan buruh. 

Tren yang sama terjadi di sektor mebel dan kerajinan, dimana berdasarkan data Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI), dari sekitar 5.000 perusahaan  eksportir mebel, hanya sekitar 2.000-an yang beroperasi penuh, sementara sisanya beroperasi secara tidak reguler, bahkan beberapa telah pindah ke luar negeri, atau merencanakan pindah.

Selain mengurangi pendapatan pajak negara, kondisi ini juga menyumbang kenaikan angka pengangguran, karena sektor mebel dan kerajinan merupakan industri padat karya. Diperkirakan, industri mebel-kerajinan menyerap lebih dari 2,6 juta tenaga kerja. Bahkan dari daftar perusahaan yang tutup operasi dan pindah ke luar negeri, beberapa diantaranya adalah perusahaan besar.

Jebakan Politicking

Untuk mengatasi berbagai masalah di atas, pemerintah bersama DPR perlu secepatnya melakukan langkah besar (not bussiness as usual) agar MEA ke depan bisa menjadi berkah bagi masyarakat, dan bukannya justru menjadi musibah. Caranya melalui perumusan berbagai undang-undang terkait MEA, agar selaras dengan tujuan pakta ekonomi regional di satu sisi, dan melindungi pelaku ekonomi nasional di sisi lainnya.

Hanya saja harapan tersebut tak begitu saja mudah direalisasikan. Di saat pemerintah dan parlemen di negara-negara ASEAN fokus dengan revisi peraturan untuk memuluskan MEA, di sini pemerintah dan DPR justru terperangkap dalam politicking yang mengakibatkan kegaduhan politik berkepanjangan.

Pembahasan substantif menuju MEA di DPR sepi, sementara isu-isu bombastis justru yang di-cover media. Terakhir, politik di belakang isu perpanjangan Freeport menyita energi kita jelang 31 Desember, sehingga kemungkinan kita akan gagap ketika MEA benar-benar dimulai.

Melihat lanskap politik di atas, pekerjaan rumah dalam waktu dekat, yang harus cepat diselesaikan DPR dan pemerintah—walau terlambat—tak lain adalah menselaraskan berbagai peraturan agar sejalan dengan prinsip-prinsip MEA. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2015-2019 dinyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia ke depan bertujuan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Daya saing dimaksud sesuai dengan arah kebijakan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2014-2019 menyambut MEA 2015. Program dimaksud berorientasi untuk meningkatkan—sebagaimana yang penulis singgung sebelumnya—pemahaman dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA yang memiliki karakteristik pasar tunggal dan basis produksi, daya saing tinggi, kompetitif dan global connectivity.

Ditegaskan juga dalam dokumen Prolegnas DPR tersebut, bahwa penyesuaian peraturan oleh DPR dan pemerintah merupakan keharusan agar MEA berjalan efektif. Penyelarasan difokuskan pada enam bidang prioritas, yaitu persaingan usaha, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, pembangunan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce.

Akibat langsung dari konflik politik dan politicking antara pemerintah dan DPR terlihat dari tersendatnya pembahasan UU terkait MEA di Senayan. Praktis dari enam sektor prioritas yang ditetapkan di Prolegnas 2015-2019, sampai hari ini baru ada dua pembahasan, yaitu RUU Jasa Konstruksi dan RUU Ekonomi Kreatif.

Padahal seharusnya dari enam sektor prioritas bisa melahirkan puluhan UU baru yang senafas dengan MEA. Meski begitu, ke depan kita tetap harus optimis, karena MEA bukan lagi opsi, melainan policy kawasan yang disepakati bersama dan tak lagi bisa dihindari.

Akhirnya, sekali penulis lagi mengingatkan, hanya ada satu cara untuk memenangkan MEA, adalah apabila pemerintah, DPR dan partai-partai politik tidak lagi terjebak pada agenda-agenda politik jangka pendek yang hanya bombastis tapi miskin substansi.

Selanjutnya presiden selaku pimpinan nasional dan eksekutif untuk menekankan kabinetnya agar lebih banyak membuat policy daripada friksi. Dengan begitu MEA ke depan akan menjadi berkah, dan bukan musibah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar