Penggeledahan KPK dan Ego Struktural DPR
Indriyanto Seno Adji ; Guru
Besar Hukum Pidana;
Pengajar Program Pascasarjana UI
Bidang Studi Ilmu Hukum
|
KOMPAS, 28 Januari
2016
Pelaksanaan upaya
paksa (dwang middelen atau coerciece force) merupakan bagian dari
penegakan hukum yang harus dihormati, dan bukan sesuatu yang harus
dipolemikkan. Sebab, sarana keberatan terhadap pelaksanaan upaya paksa sudah
diberikan tempatnya baik oleh regulasi maupun yurisprudensi.
Kontroversi antara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR soal ”penggeledahan” ruang kerja
tersangka Dhamayanti Wisnu Putranti (DWP), anggota DPR dari Komisi V, justru
mengingatkan kembali kontroversi kejadian penggeledahan ruang kerja tersangka
Al Amin Nur Nasution, anggota Komisi IV DPR, beberapa tahun lalu. Hal itu
khususnya sewaktu KPK melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap beberapa
dokumen yang berada di ruang kerja Al Amin tersebut.
Namun, kontroversi
protes penggeledahan kali ini dapat dikatakan lebih keras manakala dilakukan
Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR. Di satu sisi, tindakan KPK dianggap sebagai
momentum baru pembersihan kelembagaan negara sebagai hulu tertinggi institusi
lembaga politik ketatanegaraan atas praktik korupsi dan suap yang menjadi
karakter kultur penegakan hukum itu sendiri. Di sisi lain, tindakan KPK
dianggap melecehkan DPR sebagai lembaga politik ketatanegaraan tertinggi yang
harus dijaga kehormatan dan karismatiknya.
Institusi kenegaraan
independen penegakan hukum mengalami hal serupa manakala pembersihan terhadap
institusi politik kenegaraan merupakan awal siklus rutinitas dari masyarakat
yang responsif atas buruknya penegakan hukum. Menjamurnya korupsi kelembagaan
merupakan arah penegakan hukum yang perspektif. Korupsi kelembagaan ini
tidaklah diartikan sebagai bentuk legitimasi lembaga terhadap perbuatan
koruptif, tetapi lebih pada penyimpangan tindakan kolektif terhadap
kebijakan-kebijakan negara yang merugikan keuangan atau memberikan beban
kontaminasi terhadap kelembagaan negara tersebut.
Korupsi sudah menyebar
dan merata di kalangan institusi pemerintahan, kenegaraan, ataupun swasta.
Bahkan, korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup bangsa ini. Korupsi
individu sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal.
Beberapa pendekatan
Dalam menyikapi
penggeledahan tersebut, polemik menjadi wajar apabila masyarakat memiliki
harapan berkelebihan searah dengan kewenangan yang luar biasa pada KPK.
Dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki KPK, diharapkan pula segala bentuk,
cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian tatanan pemberantasan
korupsi yang harus diselaraskan dengan tata cara norma dan regulasi
kelembagaan negara.
Masalahnya, apakah KPK
dapat melakukan penggeledahan di DPR, apalagi tanpa sepengetahuan pimpinan
KPK? Beberapa pendekatan bisa dijadikan pertimbangan yang membenarkan
tindakan upaya paksa (penggeledahan dan penyitaan) yang disertai dan
didampingi personel Polri bersenjata.
Pertama, dalam
pelaksanaan upaya paksa dengan basis proyustisia, tindakan penggeledahan maupun
penyitaan dibenarkan oleh regulasi (KUHAP maupun UU KPK) bagi penegak hukum
untuk dibantu kepolisian guna pengamanan terhadap fisik dan psikis
pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan tersebut.
Kedua,
kepolisian—sebagai dasar pelindung netralitas—yang membantu pelaksanaan
penegakan hukum harus dilakukan secara ”melekat” dan tetap berbasis koridor
hukum, etika, dan disiplin yang berlaku universal. Yaitu, sama sekali tak
dibenarkan meninggalkan peralatan yang dimiliknya, termasuk senjata (laras
panjang/pendek) dan sangat tak dimungkinkan bagi penegak hukum
(KPK/Kejaksaan) meminta bantuan personel tak bersenjata, seperti Satpol PP
ataupun hansip. Tidak sedikit upaya perlawanan pihak tertentu terhadap
pelaksanaan upaya paksa tersebut.
Dalam proses penyidikan,
pencantuman nama tersangka DWP dan kawan-kawan adalah bagian dari pendalaman
dan pengembangan kasus yang sangat dibenarkan. Sebab, sesuai aturan
penggeledahan dan penyitaan (Pasal 32-37 KUHAP), tindakan itu dapat dilakukan
pada tempat lain dari tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
(misalnya, barang bukti disembunyikan bukan di ruang kerja DWP, tetapi di
ruang lain).
Ketiga, dapat
diartikan bahwa penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan KPK di DPR adalah
dibenarkan sebagai suatu keabsahan (wetmatigheid),
juga sebagai pelaksanaan kebijakan penegakan hukum, sehingga sama sekali
tidak ada unsur obstruksi keadilan (obstruction
of justice) ataupun obstruksi parlemen (obstruction of parliament).
Keempat, larangan
regulasi terkait contempt ex facie, dalam hal ini Pasal 21 UU Tipikor yang
memuat unsur ”menggagalkan” ataupun ”merintangi” penyidikan selalu menjadi
perdebatan. Kalau dikatakan bahwa wakil ketua DPR menggagalkan proses
penyidikan, dapatlah dikatakan tak terjadi karena proses penggeledahan dan
penyitaan tetap dilakukan KPK. Meski demikian, selalu jadi perdebatan atas
adanya upaya ”merintangi” penyidikan (saat akan dilakukan penggeledahan dan
penyitaan) karena upaya ”merintangi” sudah dianggap terjadi dilakukan Fahri
Hamzah. Seharusnya siapa pun pihak yang keberatan dengan tata cara dan proses
atas pelaksanaan upaya paksa berupa penggeledahan atau penyitaan telah
diberikan sarana hukum (melalui lembaga praperadilan) berupa telah
terciptanya perluasan obyek praperadilan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi
No 21/PUU-XII/2014.
Ego kelembagaan
Perdebatan soal
penggeledahan bersenjata ini rupanya akan berlanjut dengan pemanggilan oleh
DPR terhadap pimpinan KPK dan Polri. Pemanggilan sebagai pola rutinitas
sebaiknya tidak terulang karena ini juga menimbulkan kesan adanya arogan dan
ego kelembagaan pimpinan DPR terhadap pelaksanaan penegakan hukum.
Seharusnya, pimpinan
DPR menghindari esprit de corps (setia kawan) berlebihan sehingga tak
tercipta stigma kelembagaan DPR yang terkesan adanya subyektivitas dalam
mendukung pemberantasan korupsi. Sebaiknya DPR juga tidak menyimpangi fungsi
pengawasan dengan cara pemanggilan terkait proses penegakan hukum atas
pemberantasan korupsi yang terkesan adanya intervensi terselubung atas
penanganan kasus DWP dan kawan-kawan tersebut.
Dalam konsep due process of law, dengan tetap
menjaga karismatik lembaga dan kewibawaan DPR, maka sikap sinergitas KPK
terhadap lembaga-lembaga kenegaraan lainnya—termasuk dengan DPR—dalam
melakukan pemberantasan korupsi, khususnya perkara DWP, diharapkan sebagai
”gerbang depan” untuk membuka tabir segala kompleksitas korupsi kelembagaan
di negara ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar