Market-Confidence Runtuhkan Teror
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 18 Januari 2016
“We cannot let the terrorist achieve the objective of
frightening our nation to the point where we don’t conduct business or people
don’t shop.” (George W Bush, 11 Oktober
2001)
Sebulan pascaserangan
teroris 9/11, Presiden Amerika Serikat George W BushdiWhiteHousemenyerukan
agar masyarakat Amerika Serikat tetap melakukan kegiatan sehari- hari, termasuk
aktivitas bisnis dan berbelanja.
Dua sektor ekonomi,
aktivitas bisnis (supply side) dan
berbelanja (demand side), dicoba
untuk diselamatkan dari dampak teror. Pemerintahan George Bush saat itu
sangat mengkhawatirkan dampak ketakutan akibat aksi terorisme pascaserangan
teroris 9/11 menjelma menjadi krisis ekonomi yang cukup dalam. Ini lantaran
fasilitas produksi tak berjalan seiring masyarakat Amerika Serikat yang tidak
berbelanja. Imbauan tersebut disampaikan agar toko ritel tetap laku, pabrik
tetap berjalan, dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang
berpotensi membawa ekonomi masuk ke jurang resesi.
Terhentinya aktivitas
ekonomi akan menjadi pukulan berat setelah keamanan terkoyak akibat aksi
terorisme di Amerika Serikat. Aksi teror di Jakarta pekan lalu, tepatnya
Kamis (14/1), juga berpotensi menciptakan situasi seperti yang dikhawatirkan
pemerintahan George Bush. Terlebih aksi teror dilakukan di jantung pusat
administrasi dan bisnis Jakarta dengan radius tidak lebih 1 km dari Istana
Negara. Harapan teroris aksi ini akan meruntuhkan rasa aman dan memunculkan
situasi chaos.
Menghadapi risiko
potensi munculnya hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sela kunjungan
kerja ke Kabupaten Cirebon merespons dengan menyerukan agar “Kita tak boleh
takut dan kalah dengan aksi teror ini”. Selain itu, imbuan dan seruan agar
masyarakat tetap tenang dan memastikan situasi terkendali juga menjadi pesan
penting yang disampaikan pemerintah untuk menghindarkan munculnya kepanikan
dan ketakutan masyarakat. Kita perlu bersyukur, masyarakat Indonesia
bersatu-padu melawan aksi terorisme di kawasan Thamrin, Kamis (14/1).
Di media sosial hastag
seperti #KamiTidakTakut, #PrayForJakarta, #Jakartaberani, #JakartaAman
menjadi sarana ekspresi menyuarakan bentuk perlawanan dan solidaritas
mengutuk aksis terorisme. Saat aksi teroris, banyak masyarakat Jakarta yang
berkumpul di lokasi tanpa rasa takut untuk melihat dan menyaksikan aksi
baku-tembak antara teroris dan kepolisian.
Skenario terorisme
untuk meruntuhkan keamanan dan ketertiban guna menciptakan kepanikan,
ketakutan, dan chaos di pasar dan masyarakat gagal total. Selang sehari
pasca-aksi teror, aktivitas ekonomi dan masyarakat bahkan berjalan secara
normal dan pulih di kawasan Sarinah dan Thamrin. Kemarin kawasan Thamrin juga
ramai dengan aktivitas car free day dan olahraga masyarakat. Tidak terlihat
sama sekali masyarakat trauma akibat aksi teror tersebut.
Pada umumnya setiap
aksi terortidakhanyaberdampaksaat serangan, tetapi justru kondisi chaos,
ketakutan, serta trauma masyarakat dan tidak hadirnya stabilitas pasca-aksi
teror yang perlu diantisipasi. Aksi terorisme tidak hanya menyerang rasa aman
dan tenteram, tetapi juga berpotensi menghentikan aktivitas ekonomi akibat
ketakutan dan kekhawatiran para pelaku ekonomi.
Takutnya pelaku
ekonomi untuk investasi, berdagang, bekerja, dan berkonsumsi akan menciptakan
spiral negatif bagi perekonomian. Akibatnya, ekonomi tidak berjalan, konsumen
mengurangi pembelian, stok barang menumpuk, pabrik tutup, PHK, kemiskinan
meningkat, masalah sosial tinggi, dan distabilitas sempurna akan terjadi.
Selain penanganan dan pengusutan pihak yang bertanggung jawab terhadap aksi
teror, kecepatan merehabilitasi kondisi pasca-aksi teror menjadi kunci
pemulihan ekonomi.
Baik pemerintah maupun
masyarakat saat ini sepertinya telah belajar banyak dari serangkaian kasus
aksi teror di Tanah Air. Kecepatan penanganan serta pentingnya menjaga rasa
aman di masyarakat adalah hal penting saat ada aksi teror. Bila kita menengok
ke belakang, sejumlah aksi teror mulai dari Bom Bali I dan II, Bom JW
Marriott dan Bom Kedutaan Australia saat itu tidak hanya memorak-porandakan
rasa aman masyarakat, melainkan juga memukul sektor pariwisata dan investasi
di Tanah Air.
Adanya travel-warning,
meningkatnya risiko doing-business, batalnya investasi, turunnya indeks harga
saham gabungan (IHSG), dan tertekannya nilai tukar rupiah merupakan rentetan
risiko ekonomi pasca-aksi teror masa lalu. Dari pelajaran memitigasi imbas
aksi teror masa lalu, agar tidak terlalu berpengaruh ke sektor ekonomi,
keyakinan pasar (market-confidence) perlu segera direhabilitasi dan
dipulihkan.
Selain imbauan dan
seruan kepala negara, kecepatan pihak berwenang dan pemerintah untuk mengusut
teror tersebut, menjadi kunci penting pulihnya rasa aman di antara pelaku
pasar. Sepertinya keyakinan para pelaku pasar atas situasi keamanan yang
terjaga dan terkendali di Indonesia sangat tinggi. Hal ini tercermin pada
pergerakan IHSG dan nilai tukar rupiah yang relatif terjaga pada perdagangan
Kamis-Jumat pekan lalu.
Meski pada perdagangan
Jumat (15/1) melemah terhadap dolar Amerika Serikat, kurs rupiah tetap
terjaga di bawah Rp14.000 per dolar Amerika Serikat. Begitu juga dengan IHSG
yang ditutup menguat 10,79 poin atau 0,23% dan berada di level 4.523,97. Kita
perlu bersyukur, tidak ada gejolak yang berarti dari pergerakan nilai tukar
rupiah dan IHSG. Ini mencerminkan keyakinan pelaku pasar akan terjaganya
keamanan dan ketertiban nasional sangat tinggi.
Bank Indonesia juga
menunjukkan optimisme dan keyakinan bahwa ekonomi nasional tidak akan
terganggu akibat aksi teror dengan menurunkan BI Rate 25 basis poin pada
Kamis pekan lalu. Di sektor riil juga praktis tidak ada pengaruh yang cukup
berarti dari aksi teror tersebut. Hanya aktivitas di sejumlah perkantoran di
kawasan Thamrin yang terganggu pada Kamis (14/1), namun secara keseluruhan
situasi di Jakarta aman terkendali.
Kalau kita lihat
situasi secara umum, teror di Thamrin tidak menciptakan kepanikan, ketakutan,
dan kekhawatiran yang berarti di banyak daerah. Fungsi ekonomi seperti
pabrik, pasar, pekerja, pedagang, petani, nelayan, dan fungsi-fungsi
pelayanan publik berjalan secara normal dan tidak terganggu dengan aksi teror
di Jakarta. Dengan kata lain, perekonomian nasional terjaga.
Pelaku pasar dan
ekonomi menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada rasa takut dan cemas
seperti yang diinginkan oleh teroris. Meski begitu, kita tidak boleh lengah.
Terlebih aksi terorisme saat ini berpotensi terintegrasi dan terkoordinasi
dengan jaringan terorisme internasional baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pihak berwenang dan pemerintah perlu terus memonitor,
mengantisipasi, serta melakukan tindakan-tindakan pencegahan munculnya aksi
teror masa mendatang.
Ini karena
sebaik-baiknya penanganan aksi teror, tindakan pencegahan merupakan langkah
yang terbaik. Dengan demikian, tidak hanya keamanan dan stabilitas nasional
yang terjaga, tetapi kita juga dapat fokus kembali meningkatkan daya saing
dan daya tahan nasional untuk mewujudkan target-target pembangunan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar