Minggu, 03 Januari 2016

Mani

Mani

  Goenawan Mohamad  ;  Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                     TEMPO.CO, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

There's been an awakening. Have you felt it? The Dark side, and the Light.
Star Wars: The Force Awakens

Sejak mula, permusuhan "sisi Gelap" dengan "sisi Terang" mendasari pelbagai dongeng segala zaman; di abad ke-3 seseorang yang disebut "Nabi Mani" di Persia menegaskannya, dan di abad ke-20 dan 21, Star Wars mengulanginya.
Dikhotomi Mani, "Manikheanisme", memang tak mudah mati: kosmologi dualistis ini telah membuat "Gelap" dan "Terang", kekejian dan kebajikan, selamanya bentrok di alam semesta—begitu jelas dan sederhana, seolah-olah yang keji dan yang mulia bisa mutlak, seakan-akan hitam dan putih telah melenyapkan abu-abu, hingga orang gampang tak membantah.

George Lucas dengan sadar mendaur ulang kosmologi itu. Kita ingat adegan pembuka Star Wars empat dasawarsa yang lalu: sederet kalimat bergerak di layar, sebuah statemen bahwa kisah ini datang dari "...zaman nun dahulu kala, di galaksi yang sangat jauh".

"Dahulu kala": keinginan George Lucas memang bukan membuat sebuah fantasi futuristik seperti 2001: A Space Odyssey, film Stanley Kubrick. Ia justru hendak mengembalikan kisah moralitas yang hidup di masa ketika film hitam-putih menampilkan Tom Mix. Melalui genre Western bisu tahun 1910-an, sang "koboi" (misalnya dalam Saved by the Pony Express) dengan gagah dan lurus bertempur sebagai si "topi putih" yang melawan si "topi hitam".

Di hampir semua filmnya, Tom Mix adalah petarung di zaman bergaris lurus. "Putih" berarti suci dan benar, "hitam" berarti kotor dan jahat.

Dalam wawancaranya dengan The Washington Post baru-baru ini Lucas mengatakan ia ingin menebus kembali garis ala Mani itu: hitam-putih-gelap-terang yang kini telah buram. "Terakhir kalinya kita lakukan itu ialah di masa film Western," katanya. Dan ketika genre film ini nyaris tak beredar lagi, ia merasa kehilangan medium untuk menegaskan aturan "ethis" yang diyakini di masa lalu.

Lucas pernah mengatakan ia ingin menciptakan "a modern fairy tale". Mungkin itu sebabnya Star Wars terkadang terasa sedikit "retro". Ia bahkan bisa dituduh anti-progresif: dalam film pertamanya, sang pahlawan, pasangannya, sekutu dan musuhnya, semua berkulit putih, meskipun mereka bukan warga Wyoming atau Kansas, meskipun mereka konon makhluk planet lain—dan diciptakan Lucas pada 1977, setelah warga kulit hitam Amerika secara dramatis menegakkan hak-hak dasar mereka dan mulai muncul di lanskap kehidupan. Dengan kata lain, Luke Skywalker, Putri Leia, Obi-Wan Kenobi, Han Solo, dan lain-lain tak jauh dari tokoh-tokoh Flash Gordon Alex Raymond dari tahun 1930-an. Dalam cergam termasyhur itu, Flash Gordon adalah kesatria kebajikan yang bule dan pirang; lawannya: Ming si Jahat yang bukan bule dan pirang.

Tapi tentu tak adil menilai Star Wars hanya angan-angan yang Amerika-sentris dan retrogresif. Kita justru bisa melihat pengaruh luar yang kuat, terutama dari Yojimbo dan Seven Samurai Kurosawa: Lucas menampilkan petarung yang terampil dan elegan dengan pedang, ethos samurai dalam diri seorang Jedi, film action dengan latar yang tegang dan eksotis.

Lagi pula Amerika-nya Alex Raymond bukan Amerika-nya Lucas. Pada 1973 
Lucas menuliskan garis besar kisah Star Wars sebagai kisah "sebuah imperium teknologi yang besar yang memburu sekelompok kecil pejuang kemerdekaan". Lucas, yang lahir pada 1944, mengalami bagaimana generasinya memandang Perang Vietnam (bermula pada pertengahan 1950-an, berakhir 1975)—dan kita tahu siapa yang mereka anggap "Gelap" dan siapa yang "Terang", mana yang "imperium" dan mana yang "pejuang kemerdekaan" dalam konfrontasi di Asia Tenggara itu.

Tapi ini abad ke-21. The Force Awakens, dongeng ke-7 Star Wars, masih memperpanjang thema Manikhean itu. Namun yang ditampilkan J.J. Abrams bukan nostalgia Lucas kepada "moral" film Western. Konflik antara rezim "The First Order" dan gerakan "Resistance" dalam film ini tak terasa sebagai gema kekerasan hari ini. Zaman sudah berubah.

Kini zaman ditandai manikheanisme yang membingungkan dan sekaligus menakutkan.

Ia membingungkan karena label "Gelap" dan "Terang" dengan cepat berpindah, dalam periode yang sama dan ruang yang sama: "Taliban", "IS", "AS", "Israel", "Arab Saudi"....

Ia menakutkan karena ketika cap "Gelap" dan "Terang" diterapkan, meskipun dengan cepat berpindah sasaran, tiap kali keduanya dibuat demikian kental, demikian kekal. Seakan-akan hanya penghancuran total yang akan jadi penentu—penghancuran bukan efek sejarah yang serba mungkin, tapi sebagai takdir.

Takdir....

Di layar putih, Kylo Ren berkata: "Aku akan memenuhi takdirku." Di luar bioskop, di antara kebencian dan pembunuhan di jalan-jalan, kalimat seperti itu terasa heroik tapi buntu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar