Lawan Terorisme itu dengan Pencegahan
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 23 Januari 2016
Ada pengamat teroris
yang menyebut, teroris itu punya prinsip bahwa ia menganggap berhasil
meskipun hanya satu aksinya yang berhasil dari seratus rencana yang
disiapkan.
Maka itu, hakikat
dalam menyikapi teroris adalah ”pencegahan”. Jika teroris berhasil mewujudkan
aksinya dengan pesan-pesan yang menyertainya, berarti mereka telah
memenangkan substansi pertarungan. Salah satu yang membuat terorisme tetap
eksis, selain dari kekuatan ideologinya, adalah selalu mempunyai ruang gerak
di tengah kehidupan masyarakat.
Ada sikap masyarakat
yang relatif masih permisif terhadap tanda-tanda kehadiran mereka yang
tertutup atau tidak bergaul dengan tetangga. Mereka mengontrak rumah di
permukiman dan berbaur dengan masyarakat tanpa mampu dideteksi pergerakannya.
Sementara aparat RT/RW tidak reaktif melakukan pendataan terhadap setiap
penghuni baru. Pergerakan teroris hanya bisa dipersempit jika warga
masyarakat ikut terlibat secara masif. Itu salah satu pola pencegahan yang
efektif.
Sebetulnya Badan
Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) memiliki konsep pencegahan yang
komprehensif melalui Rencana Strategi dan Program Nasional Pencegahan
Terorisme. Upaya pencegahan dilakukan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat. Gerakan ”Kami Tidak Takut” yang bergaung di media sosial setelah
aksi teror di Jalan Thamrin, Jakarta (14/1/2016) begitu cepat menyebar sampai
ke daerah.
Itu salah satu bentuk
pencegahan yang tidak boleh hanya eksis pada hashtag di dunia maya. Harus ada
aksi konkret yang berindikasi berani dengan melawan dan meredam paham radikal
yang mengarah pada kekerasan. Semua komponen bangsa harus kompak melakukan
aksi pencegahan.
Pendekatan Kultural
Menyadarkan mereka
yang telanjur berpaham radikal dalam mengaplikasikan agama bukan persoalan
gampang. Pendekatan represif dengan cara menangkap, menahan, bahkan menembak
mati tidak akan membawa perubahan mendasar. Paham radikal telanjur meyakini
bunuh diri dengan bom yang menimbulkan korban jiwa bagi musuhmusuhnya adalah
”jihad” dan jalan terbaik menuju surga.
Butuh penanganan
dengan pendekatan komprehensif, bukan sekadar pendekatan represif semata.
Kata peribahasa ”patah tumbuh hilang berganti” karena menyangkut keyakinan.
Menembak mati mereka hanya akan semakin menambah kuat keyakinannya. Bahkan
dapat memperdalam ”dendam” kepada pemerintah, terutama aparat kepolisian.
Akan tumbuh sel-sel
baru dalam jaringan teroris yang siap melakukan penyerangan dan bom bunuh
diri. Terorisme selaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sama
dengan korupsi, harus dihadapi dengan cara-cara luar biasa dan multidimensi
pula. Pencegahan melalui deradikalisasi seperti ditulis Mayjen TNI Agus Surya
Bakti, saat ini Panglima Komando Daerah Militer VII Wirabuana, dalam buku
”Deradikalisasi Nusantara” perlu diapresiasi sebagai rujukan penting.
Deradikalisasi
didesain dengan mengutamakan pendekatan kultural khas Indonesia. Artinya,
mengatasi terorisme yang terus-menerus membangun jaringan baru harus dihadapi
dengan ketajaman intuisi dan pendekatan kultural. Deradikalisasi ingin
mengubah persepsi terhadap orangorang yang berpaham radikal yang mengagungkan
ideologi kekerasan. Selain golongan dan sepaham dengan dirinya, akan dianggap
musuh yang halal darah dan harta bendanya.
Pemikiran militansi
itu bukan hanya menodai ajaran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta,
melainkan juga menghancurkan peradaban manusia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kedamaian dan persaudaraan. Kendati deradikalisasi belum membawa
hasil maksimal sehingga harus mencari formula baru, tetapi tidak boleh
meruntuhkan semangat kita untuk meluruskan paham anak-anak bangsa sendiri
pada akar budaya bangsa.
Pendekatan kultural
digunakan dengan merangkul warga masyarakat yang belum terkena pengaruh paham
teror, dan secara bersama mencegah terorisme. Ini sejalan dengan slogan utama
BNPT ”bersama mencegah terorisme”. Kearifan lokal bangsa Indonesia seperti
tradisi gotong-royong, hidup rukun, cinta damai, dan hidup dalam ketenteraman
diharapkan membawa pengaruh positif dalam melakukan deradikalisasi.
Pendekatan itu dipakai
lantaran terorisme bukan persoalan agama, melainkan beragam persoalan yang
amat kompleks. Itulah ”deradikalisasi nusantara” yang pada hakikatnya
berbasis pada nilai-nilai kultur bangsa yang begitu lulur.
Kearifan lokal
seyogianya dijadikan amunisi untuk mengantisipasi pengaruh budaya asing yang
kadang lebih cenderung melahirkan kekerasan. Warga masyarakat sebagai basis
utama melakukan deradikalisasi perlu disadarkan agar tidak mudah terhipnosis
budaya luar yang dapat menjerumuskan anak-anak bangsa ke dalam jurang
kekerasan.
Pesan Tertentu
Aksi teroris ingin
membawa pesan tertentu seperti menimbulkan rasa takut, bahkan menunjukkan
eksistensinya sebagai perlawanan terhadap pemerintah yang dianggapnya lalim.
Keinginan mengganti ideologi negara sesuai dengan kehendak mereka yang utopis
melalui aksi-aksi kekerasan yang tanpa dasar bukan tidak mungkin akan semakin
meluas.
Betapa tidak,
kemunculan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Suriah yang ultra
radikal dan sadis hanya akan menambah eskalasi ancaman terhadap keselamatan
manusia. Tragedi di Jalan Thamrin hanyalah salah satu sinyal dari eksistensi
gerakan teroris yang kian meningkat kualitas serangannya. Jika pun para
pengamat teroris di berbagai televisi menyebut serangan itu masih amatiran,
tidak berarti mereka gagal memenuhi tujuannya.
Tragedi kemanusiaan
itu harus dijadikan pelajaran berharga. Mereka ingin mengonfirmasi pada
publik dunia bahwa BIN, Polri atau Densus 88 Antiteror, dan TNI tidak
memiliki ketajaman intelijen dalam mendeteksi secara dini semua
pergerakannya. Kalaupun ada yang ditangkap jelang Natal dan Tahun Baru 2016,
itu hanyalah bagian terkecil dari kelompoknya.
Masih ada, bahkan
banyak selsel jaringan teroris yang mesti diwaspadai, termasuk meredam aliran
dana dari luar negeri. Bukan hanya aparat Polri, TNI, dan unsur keamanan
lainnya seperti Satuan Polisi Pamong Praja, melainkan juga tanggung jawab
masyarakat agar ikut mencegah dan menumpasnya. Kita tidak boleh terperdaya
oleh gerakan teroris yang menghendaki rakyat merasa takut.
Sebaliknya, bagi
pemerintah, BIN, BNPT, Polri, dan TNI lebih meningkatkan deteksi dini dan
gerakan cepatnya menangkap sel-sel teroris yang masih berkeliaran. Tidak
boleh membiarkan rencana mereka terlaksana, apalagi mati dengan bom bunuh
diri atau ditembak mati sekalipun sudah merupakan tujuan mereka. Para teroris
akan senantiasa berupaya memaksakan ideologi gerakannya.
Ideologi yang sudah
pasti berseberangan dengan ikrar rakyat dalam UUD 1945 bahwa Indonesia adalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasas Pancasila. Kekecewaan
mereka pada pemerintah yang tidak mampu mewujudkan keadilan bagi rakyat,
termasuk keadilan bagi kelompoknya yang merasa ideologinya dianggap mengancam
NKRI.
Polisi dan
simbol-simbol Barat dijadikan sasaran serangan karena merasa polisilah yang
selalu berhasil meredam setiap perjuangan, menangkap, bahkan menembak mati
teman-temannya. Sekali lagi, terorisme itu harus dilawan dengan ”pencegahan”.
Bukan semata tindakan represif dengan menembak mati mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar