Kecakapan Bermatematika
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan
KBRI New Delhi
|
KOMPAS,
15 Januari 2016
Jika haluan kapal melenceng, mempercepatnya semata justru akan
menjauhkan dari tujuan. Seperti itulah keadaan pendidikan matematika sekolah
kita. Jika hanya meningkatkan upaya kegiatan belajar-mengajar tanpa dibarengi
mengubah arah, pelajar kita akan tetap tertinggal. Meralat arah pembelajaran
matematika mutlak dibutuhkan.
Besar kemungkinan ini alasannya mengapa setiap tiga atau empat
tahun sejak hampir 20 tahun lalu kita rutin membaca berita hasil buruk
pelajar Indonesia dalam tes pemetaan matematika internasional. Laporan Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) menunjukkan capaian yang rendah sekaligus menurun
dan Programme for International Student
Assessment (PISA) menunjukkan capaian yang secara statistika stagnan
rendah.
Untuk memperbaikinya, mau tak mau harus diawali dengan
merumuskan ulang kecakapan bermatematika sebagai tujuan pembelajaran
matematika. Dari rumusan itu, kemudian didaftar keterampilan yang diharapkan
dan diterjemahkan menjadi sasaran pembelajaran matematika pada tiap jenjang
pendidikan.
Kecakapan yang
relevan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tiap tahun sudah
meningkatkan tingkat kesulitan soal ujian nasional (UN) Matematika. Beberapa
sekolah juga sudah menambah jam pengajaran matematika, tetapi semua ini tetap
tak memberi dampak berarti pada capaian TIMSS ataupun PISA walau nilai UN
Matematika naik. Artinya, ada perbedaan jenis kecakapan bermatematika yang
diharapkan.
Maka, jika sekarang pelajar diminta lebih giat belajar, guru
diminta kreatif mengajar, UN dipersulit serta dibuat tiga kali setahun, dan
uji kompetensi guru (UKG) tiap tahun, kecil peluangnya ini akan membuahkan
perbaikan berarti. Walau dari sisi perencanaan dan penganggaran berbagai
program pendidikan berskala nasional, seperti UN dan UKG, memiliki ”daya
serap” tinggi dan juga ”menjalankan amanat UU”, dampak terhadap peningkatan
kecakapan bermatematika pelajar tidak berarti.
Ada data yang menunjukkan bahwa jam sekolah di Indonesia
termasuk tinggi, sekarang ada yang menuduh lama waktu di sekolah itu sebagai
alasan rendahnya kecakapan murid. Maka, muncul ide untuk menguranginya. Ini
akan sama saja. Seperti layaknya laju kapal dipercepat atau diperlambat,
tetapi arah haluannya meleset. Semua upaya jadi nirguna. Malah mungkin justru
semakin menjauhkan dari sasaran. Yang pertama dan utama harus dibenahi:
mengoreksi arah tujuan. Koreksi drastis harus dimulai dengan merumuskan ulang
kecakapan bermatematika yang relevan dengan kehidupan dunia hari ini sebagai
tujuan pembelajaran matematika.
Teknologi dan sains telah mengubah kehidupan, termasuk kecakapan
hidup yang dibutuhkan zaman ini sudah berubah dari masa sebelumnya. Sejumlah
pekerjaan telah diambil alih oleh mesin dan komputer. Khususnya jenis
pekerjaan dengan keterampilan berpikir tingkat rendah, seperti
routine-cognitive atau proses berpikir rutin. Misalnya, kasir atau penjaga di
loket gerbang tol telah jamak digantikan oleh komputer dan mesin.
Maka, pelajar sekarang perlu mengutamakan belajar keterampilan
yang belum tergantikan oleh komputer atau mesin, seperti keterampilan
menyelesaikan masalah tak rutin, berpikir kreatif, dan berkomunikasi
kompleks. Ringkasnya, pelajar perlu menekankan pengembangan kecakapan
berpikir tingkat tinggi dan secukupnya mengembangkan keterampilan berdasar
kecakapan berpikir tingkat rendah yang perlahan-lahan akan berkurang.
Pendidikan matematika sekolah di Asia mutlak perlu menyeimbangkan
pengembangan kecakapan bermatematika berdasar berpikir tingkat rendah dan
tinggi karena kehidupan serta dunia kerja di Asia sebagian masih tradisional.
Di kelas matematika, kegiatan melibatkan berpikir canggih,
tetapi menggunakan konsep sederhana, misalnya mengestimasi perhitungan dan
menyelidiki kesahihan suatu pernyataan perlu ditambah porsinya. Sebaliknya,
praktik kuno guru ”menyuapi” murid dengan rumus matematika ruwet yang seperti
turun dari langit dan akhirnya dihafal semata sekadar untuk ujian perlu
ditinggalkan.
Justru sekarang harus mulai fokus pada kegiatan pelajar
menurunkan atau menemukan rumus-rumus dasar sendiri. Ukuran banyaknya rumus
yang dihafal harus diganti dengan dalamnya gagasan matematika yang dipahami.
Dengan pengalaman bermakna seperti ini, tidak saja anak jadi memahami secara
mendalam dan percaya diri, tetapi juga akan kasmaran bermatematika sekaligus
akan berhasrat terus mempelajari matematika.
Yang tak kalah penting ialah merumuskan ulang problem solving
atau penyelesaian masalah di sistem pendidikan matematika nasional. Yang
sebelumnya diartikan secara sempit sebagai menjawab soal panjang, ruwet,
tetapi sudah ”siap santap” dilahap rumus hafalan tertentu perlu diralat.
Anggapan sempit penyelesaian masalah matematika sebagai penyelesaian soal
yang disajikan dalam bentuk ”cerita” juga perlu diluruskan.
Keterampilan menyelesaikan masalah matematika hari ini diartikan
sebagai merancang berbagai jawab untuk masalah tak rutin dari fenomena yang
belum tampak jelas konsep matematikanya. Pelajar diharapkan mulai dari
menggali gagasan matematika yang tersembunyi dalam fenomena itu dan
mematematikakannya, menentukan jawab matematika, sampai menafsirkan jawabnya
ke fenomena semula.
Tindak lanjut
Upaya pelajar mengembangkan kecakapan bermatematika bermakna
tersebut bukan tanpa kendala. Para guru yang hendak membelajarkan kecakapan
bermatematika bermakna ini juga dihadapkan pada kendala.
Ironisnya, kendalanya justru sebagian ada di kebijakan
pemerintah sendiri. Rangkaian UN Matematika, Standar Isi Matematika,
Kurikulum Matematika, buku ajar matematika, dan pelatihan guru matematika
masih setengah hati atau bahkan mengganduli pelajar dan guru mengembangkan
kecakapan bermatematika bermakna itu.
Akhirnya, tantangan bagi badan penelitian dan penentu kebijakan
pendidikan serta organisasi pendidikan matematika negara-negara di Asia
adalah merumuskan kecakapan bermatematika hari ini. Kemudian, dari rumusan
ini dirancang alat evaluasi guna mengukur kecakapan bermatematika tersebut.
Baru kemudian dapat disusun strategi pembelajaran matematika dan menyiapkan
fasilitas pendukungnya yang sistematis mengarah tepat pada pengembangan
kecakapan bermatematika itu. Jika ini sudah dilakukan, barulah menggiatkan
proses belajar-mengajar masuk akal dan akan memberi dampak berarti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar