Johan Budi dan Tantangan sebagai Jubir
Gunawan Sutanto ; Jurnalis Jawa Pos, berumah di saya@
gunawansutanto.net
|
JAWA
POS, 18 Januari 2016
SAYA disopiri Johan Budi dalam perjalanan dari
gedung KPK ke kedai kopi di kawasan Menteng Jumat lalu (8/1). Perjalanan yang
harusnya dekat itu nyasar gara-gara saya sok tahu jalan pintas. Tapi, ada
berkah dari kesasar itu. Johan cerita panjang lebar soal tawaran menjadi juru
bicara Presiden Jokowi.
Tentu ada banyak hal yang tidak bisa saya
ceritakan ke publik. Intinya, dari yang saya tangkap, saat itu tersimpan
sebuah kegalauan seorang Johan Budi.
Di satu sisi, pria asal Mojokerto itu ingin
membantu presiden yang sebenarnya sudah lama menginginkan dirinya merapat ke
Istana. Tapi, di sisi lain, dia sadar beratnya menjalani pekerjaan itu.
Menjadi juru bicara orang nomor satu di negeri
ini memang sepintas mudah dan menggiurkan. Mudah karena sepertinya hanya
menyusun kata demi kata untuk diucapkan ke publik. Menggiurkan karena menjadi
lingkaran terdekat presiden.
Johan, tampaknya, sadar bahwa banyak orang
berupaya dekat dengan presiden. Dari yang saat ini tak punya jabatan hingga
mereka yang menduduki posisi tertentu di birokrasi.
Johan juga sadar, jabatan juru bicara itu bisa
menggusur ’’panggung’’ seseorang. Sebagai juru bicara ( Jokowi menyebutnya
staf khusus bidang komunikasi), praktis dia bakal lebih banyak mewakili
presiden bicara ke publik.
Dan, kekhawatiran ini pun terjadi. Sehari
setelah dilantik, kuat beredar kabar sudah ada yang berupaya menghalangi
Johan agar tidak tampil menyampaikan pesan presiden.
Sebenarnya, kalau menolak menjadi juru bicara,
Johan juga tidak akan sulit mencari pekerjaan baru. Sebab, selepas tak lagi
menjadi pimpinan sementara KPK, Johan cerita banyak yang menginginkan dirinya
bergabung. Mulai menjadi staf ahli instansi tertentu sampai tawaran dari
perusahaan swasta.
Dari sisi finansial, tawaran itu tak
main-main. Misalnya saja dua tawaran menjadi pemimpin redaksi (Pemred) di
televisi swasta nasional.
Tapi, seperti pernyataan Kepala Staf Presiden
Teten Masduki selama ini bahwa Johan diminta langsung oleh presiden. Jadi,
alumnus SMAN Sooko, Mojokerto, itu pun tak kuasa menolak.
Saya dan beberapa jurnalis yang selama ini
tergabung dalam ’’grup pengajian’’ (istilah dari grup diskusi yang dibuat
Johan sejak menjadi juru bicara KPK) sempat memberikan saran agar dia menolak
tawaran tersebut. Selain saat itu terjadi tarik ulur karena ada yang setuju
dan tidak Johan ’’masuk’’ Istana, kami berpendapat jabatan itu berisiko
tinggi.
Pertama, Johan tentu bakal menjadi semacam
bumper presiden. Baik dan buruknya kinerja serta kebijakan presiden, dia
pasti bakal kena getahnya.
Sebagai contoh, coba bayangkan betapa sulitnya
jika Johan nanti harus bicara ke publik perihal pemilihan calon Kapolri. Seperti
dugaan banyak pihak, calon Kapolri terkuat saat ini tentu Komjen Budi
Gunawan.
Menyampaikan alasan presiden memilih Budi
Gunawan (jika memang dia kelak dipilih) tentu bukan perkara mudah. Sebab,
Johan pernah berada di instansi yang melabeli Budi Gunawan sebagai tersangka
korupsi.
Yang kedua soal finansial. Tawaran dari dua
perusahaan media yang sudah disampaikan ke Johan tentu lebih menggiurkan.
Saat ngobrol santai dengan Johan, kami juga mempertanyakan bagaimana
mekanisme gaji seorang staf khusus.
Sebagai sahabat, kami tentu tak ingin Johan
mendapat penghasilan yang kelak ketika orde pemerintahan barganti, hal
tersebut bisa menjadi masalah. Misalnya yang menimpa mantan staf khusus
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Daniel Sparingga.
Daniel kedapatan menerima uang rutin tiap
bulan sebesar Rp 25 juta dari Kementerian ESDM. Daniel memang tidak melakukan
korupsi, tapi uang yang diberikan ke dia itulah yang bermasalah karena
berasal dari sumber yang tidak jelas.
Menteri ESDM saat itu Jero Wacik mengatakan dalam
sidang bahwa uang untuk Daniel tersebut diberikan karena ada titipan dari
Menko Polhukam Djoko Suyanto. Djoko saat itu menitipkan agar Jero menyiapkan
dana operasional Daniel.
Jadi, ketika saya dan seorang teman kali
pertama mendengar Johan dipanggil presiden soal juru bicara, kami berdua
sempat berucap, ’’ Wis yakin dadi jubir, Mas?’’
Tapi, Johan memang seorang pengambil risiko.
Itu sudah dia buktikan ketika bersedia menjadi ketua tim krisis KPK. Tim
tersebut dibentuk ketika KPK berkonflik dengan Polri gara-gara penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka pada 2015 silam.
Saat itu, banyak pegawai KPK, bahkan beberapa
komisioner, yang dilanda ketakutan karena polisi menebar ancaman penetapan
tersangka. Tapi, Johan ketika itu tak gentar. Dia mengambil peran menguatkan
internal KPK dan bersedia bicara ke depan publik meski saat itu jabatan jubir
sudah dilepasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar