Selasa, 19 Januari 2016

Indeks Anti Korupsi Militer

Indeks Anti Korupsi Militer

Dedi Haryadi  ;   Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia

                                                       KOMPAS, 18 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Upaya Kementerian Pertahanan/TNI dalam mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer tampaknya sudah mulai menunjukkan hasil positif.Hal ini terlihat dari perubahan Indeks Anti Korupsi Militer yang dikembangkan Transparansi Internasional London.

Indeks ini mengukur risiko korupsi di tubuh militer suatu negara. Dengan adanya indeks ini, kita bisa mengetahui pasang surut risiko korupsi suatu negara dan perbandingan antarnegara. Bukan hanya itu, kita juga bisa menyusun strategipengendalianrisiko korupsi di tubuh militer.

Dari lima indikatoryang digunakan dalam indeks ini, minimal kita bisa melakukan intervensi di ranah politik dan kebijakan, keuangan, dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Ranah personalia dan operasional lebih sulit diintervensi.

Risiko korupsi digolongkan ke dalam enam kategori; sangat rendah (A), rendah (B), moderat (C),tinggi (D), sangat tinggi (E), kritis (F). Indeks Anti Korupsi Militer (IAKM) kita bergeser membaik dari kategori E pada 2013 jadi kategori D pada 2015.Capaian ini menimbulkan perubahan status risiko korupsi militerdi kawasan Asia Pasifik maupun G20.

Di kawasan Asia Pasifik, risiko korupsi kita sekelas dengan Banglades, India, Malaysia, dan Filipina.Tiongkok, Pakistan, Sri Lanka, dan Thailand masuk kategori E. Kamboja dan Myanmar masuk kategori F (kritis). Selandia Baru masuk kategoriA (sangat rendah). Australia, Jepang, Singapura, Taiwan masuk kategori B (rendah). Korea Selatan masuk kategori C (moderat).

Dalam konteks G20, risiko korupsi kita sekelas dengan India, Rusia, Afrika Selatan, dan Turki. Yang paling top, risiko korupsinya sangat rendah dan rendah di grup ini adalah Inggris (A), Australia (B), Kanada (B), Jerman (B), Jepang (B), dan Amerika (B). Argentina, Perancis, Italia, Meksiko, dan Korea Selatan masuk kategori C. Di grup ini, Brasil, Tiongkok,dan Arab Saudi sangat tinggi (E).

Tiga tantangan TNI

Pergeseran IAKM dari E ke D sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Harus terus didorong supaya IAKM kita bisa B atau C dalam dua tahun ke depan. Dalam jangka panjang harus A. Apa yang masih harus dilakukan? Dalam kaitan ini, apa yang sudah diinisiasimantan Panglima TNI Jenderal Moeldoko bisa dilanjutkan dan diperkuat. PadaAgustus 2014di Cilangkap, disaksikan ketua KPK, Ombudsman, BPK, dan Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Moeldoko mendeklarasikan pembentukan zona integritas (ZI) dan zona bebas korupsi (ZBK) di lingkungan TNI.

Ke depan ada tiga tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan ZI dan ZBK. Pertama, deklarasi pembentukan ZI dan ZBK di tubuh TNI baru berusia setahun. Praktis dalam periode yang singkat itu belum banyak yang bisa dilakukan. Sementara itu, masih banyak kerja manajerial dan teknis yang harus dilakukan, seperti mengurangi inefisiensi dan inefektivitas, mengurangi prevalensi tindakan indisipliner dan korupsi dalam manajemen keuangan, meningkatkan kepatuhan pelaporan kekayaan pejabat negara, dan meningkatkan akuntabilitas kinerja. Juga meningkatkan kualitas laporan keuangan, mengembangkan program pengendalian gratifikasi, penanganan konflik kepentingan, mengembangkan program anti korupsi, transparansi promosi jabatan, transparansi perekrutan pegawai, mekanisme penanganan keluhan publik, e-procurement, pengukuran kinerja individual, dan akses publik pada informasi.

Kedua, Kemenhan/TNI harus lebih proaktif mengembangkan kerja sama dan kemitraan dengan Kepmenpan-RB, KPK, BPK, serta Ombudsman dalam mewujudkan ZI dan ZBK. Mengapa? Sulit diharapkan lembaga ituefektif mengawasi implementasi ZI dan ZBK di tubuh TNI. Mereka mungkin mengidap problem kompleks inferioritas bila berhadapan dengan institusi militer. Mungkin enggan dan tak punya nyali yang cukup untuk memantau, apalagi menagih sejauh mana perkembangan implementasi ZI dan ZBK.

Banyak deklarasi pembentukan ZI dan ZBKyang mangkrak karena gairah dan inisiatif dari pejabat di kementerian/lembaga tersebut melemah,sementara pendampingan dan monitoring dari lembaga tersebut belum optimal. Dalam keadaan seperti itu, Panglima TNI bisa mengembangkan peran keteladanan dan kepeloporan dalam mengembangkan ZI dan ZBK.

Ketiga, salah satu implikasi penting dari implementasi ZI dan ZBK adalah perlunya Kemenhan/TNI lebih transparan. Persoalannya, bagaimana mengatur keseimbangan antara tuntutan untuk makin transparan di satu pihak dengan perlunya menjaga kerahasiaan dan keamanan negara. Misalnya, bagaimana kebijakan dan proses pengadaan alutsista bisa lebih transparan tanpa harus mengorbankan kerahasiaan dan keamanan negara. Di sini, isu menjagakeamanannegara tak bisa dijadikan tameng untuk melindungi kebijakan dan proses pengadaan alutsista yang distorsif yang merugikan kepentingan publik dan negara.

Efektivitas pengawasan

Pembentukan ZI dan ZBK sebenarnya wilayah teknis atau manajerial Kemenhan/TNI. Secara politik, pengendalian risiko korupsi harus juga dilakukan dengan mengembangkan kerja politis, yaitu meningkatkan efektivitas kontrol politik parlemen terhadap Kemenhan/TNI. Anggota parlemen harus punya pengetahuan, keterampilan, dan nyali yang cukup untuk menjalankan fungsi kontrolnya. Juga, tak kalah penting, meningkatkan efektivitas kontrol publik terhadap Kemenhan/TNI.Organisasi masyarakat sipil, termasuk media, harus makin kuat dan efektif mengontrol Kemenhan/TNI. Masih tingginya risiko korupsi militer kita saat ini disumbang oleh tiga faktor ini: masih belum optimalnya fungsi kontrol politik dari parlemen dan kontrol publik; keterlibatan militer/oknum militer dalam bisnis legal dan ilegal; dan pengadaan alutsista yang belum transparan dan akuntabel.

Upaya mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai agenda domestik. Ia juga harus ditempatkan dalam konteks regional dan kerja sama kawasan, baik dalam bidang pertahanan, perdagangan, maupun ekonomi secara umum.

Dalam konteks G20, misalnya, ada tiga upaya yang perlu dilakukan. Pertama, pembentukan kaukus anggota parlemen yang mengawasi institusi militer. Melalui kaukus ini dimungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara anggota parlemen dalam mengontrol institusi militer. Kedua, meningkatkan transparansi belanja militer dengan mengembangkan semacam Military Expenditure Transparency Initiative (METI). Negara-negara anggota G20 perlu menyepakati dan mengimplementasikan prinsip transparansi dalam belanja militernya. Ketiga, mengembangkan inisiatif baru dengan meningkatkan integritas pengadaan alutsista (Military Procurement Integrity/MPI). Dalam inisiatif ini, negara-negara anggota G20 perlu menyepakati dan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, integritas dan akuntabilitas pengadaan alutsista.

Kombinasi kedua upaya itu memungkinkan kita bisa mengendalikan risiko korupsi ke titik moderat (C), atau rendah (B), bahkan sangat rendah (A). Kalau usaha ini tercapai, efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya, kedaulatan negara, keamanan warga negara, dan keselamatan tentara akan lebih terjamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar