Indeks Anti Korupsi Militer
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
|
KOMPAS,
18 Januari 2016
Upaya Kementerian
Pertahanan/TNI dalam mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer tampaknya
sudah mulai menunjukkan hasil positif.Hal ini terlihat dari perubahan Indeks
Anti Korupsi Militer yang dikembangkan Transparansi Internasional London.
Indeks ini mengukur
risiko korupsi di tubuh militer suatu negara. Dengan adanya indeks ini, kita
bisa mengetahui pasang surut risiko korupsi suatu negara dan perbandingan
antarnegara. Bukan hanya itu, kita juga bisa menyusun
strategipengendalianrisiko korupsi di tubuh militer.
Dari lima
indikatoryang digunakan dalam indeks ini, minimal kita bisa melakukan
intervensi di ranah politik dan kebijakan, keuangan, dan pengadaan alat utama
sistem persenjataan (alutsista). Ranah personalia dan operasional lebih sulit
diintervensi.
Risiko korupsi
digolongkan ke dalam enam kategori; sangat rendah (A), rendah (B), moderat
(C),tinggi (D), sangat tinggi (E), kritis (F). Indeks Anti Korupsi Militer
(IAKM) kita bergeser membaik dari kategori E pada 2013 jadi kategori D pada
2015.Capaian ini menimbulkan perubahan status risiko korupsi militerdi
kawasan Asia Pasifik maupun G20.
Di kawasan Asia Pasifik,
risiko korupsi kita sekelas dengan Banglades, India, Malaysia, dan
Filipina.Tiongkok, Pakistan, Sri Lanka, dan Thailand masuk kategori E. Kamboja
dan Myanmar masuk kategori F (kritis). Selandia Baru masuk kategoriA (sangat
rendah). Australia, Jepang, Singapura, Taiwan masuk kategori B (rendah).
Korea Selatan masuk kategori C (moderat).
Dalam konteks G20,
risiko korupsi kita sekelas dengan India, Rusia, Afrika Selatan, dan Turki.
Yang paling top, risiko korupsinya sangat rendah dan rendah di grup ini adalah
Inggris (A), Australia (B), Kanada (B), Jerman (B), Jepang (B), dan Amerika
(B). Argentina, Perancis, Italia, Meksiko, dan Korea Selatan masuk kategori C.
Di grup ini, Brasil, Tiongkok,dan Arab Saudi sangat tinggi (E).
Tiga tantangan TNI
Pergeseran IAKM dari E
ke D sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Harus terus didorong supaya IAKM
kita bisa B atau C dalam dua tahun ke depan. Dalam jangka panjang harus A.
Apa yang masih harus dilakukan? Dalam kaitan ini, apa yang sudah
diinisiasimantan Panglima TNI Jenderal Moeldoko bisa dilanjutkan dan
diperkuat. PadaAgustus 2014di Cilangkap, disaksikan ketua KPK, Ombudsman,
BPK, dan Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, Moeldoko mendeklarasikan
pembentukan zona integritas (ZI) dan zona bebas korupsi (ZBK) di lingkungan
TNI.
Ke depan ada tiga
tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan ZI dan ZBK. Pertama, deklarasi
pembentukan ZI dan ZBK di tubuh TNI baru berusia setahun. Praktis dalam
periode yang singkat itu belum banyak yang bisa dilakukan. Sementara itu,
masih banyak kerja manajerial dan teknis yang harus dilakukan, seperti mengurangi
inefisiensi dan inefektivitas, mengurangi prevalensi tindakan indisipliner dan
korupsi dalam manajemen keuangan, meningkatkan kepatuhan pelaporan kekayaan
pejabat negara, dan meningkatkan akuntabilitas kinerja. Juga meningkatkan
kualitas laporan keuangan, mengembangkan program pengendalian gratifikasi,
penanganan konflik kepentingan, mengembangkan program anti korupsi,
transparansi promosi jabatan, transparansi perekrutan pegawai, mekanisme
penanganan keluhan publik, e-procurement, pengukuran kinerja individual, dan
akses publik pada informasi.
Kedua, Kemenhan/TNI
harus lebih proaktif mengembangkan kerja sama dan kemitraan dengan Kepmenpan-RB,
KPK, BPK, serta Ombudsman dalam mewujudkan ZI dan ZBK. Mengapa? Sulit
diharapkan lembaga ituefektif mengawasi implementasi ZI dan ZBK di tubuh TNI.
Mereka mungkin mengidap problem kompleks inferioritas bila berhadapan dengan
institusi militer. Mungkin enggan dan tak punya nyali yang cukup untuk memantau,
apalagi menagih sejauh mana perkembangan implementasi ZI dan ZBK.
Banyak deklarasi
pembentukan ZI dan ZBKyang mangkrak karena gairah dan inisiatif dari pejabat
di kementerian/lembaga tersebut melemah,sementara pendampingan dan monitoring
dari lembaga tersebut belum optimal. Dalam keadaan seperti itu, Panglima TNI
bisa mengembangkan peran keteladanan dan kepeloporan dalam mengembangkan ZI
dan ZBK.
Ketiga, salah satu
implikasi penting dari implementasi ZI dan ZBK adalah perlunya Kemenhan/TNI lebih
transparan. Persoalannya, bagaimana mengatur keseimbangan antara tuntutan
untuk makin transparan di satu pihak dengan perlunya menjaga kerahasiaan dan keamanan
negara. Misalnya, bagaimana kebijakan dan proses pengadaan alutsista bisa
lebih transparan tanpa harus mengorbankan kerahasiaan dan keamanan negara. Di
sini, isu menjagakeamanannegara tak bisa dijadikan tameng untuk melindungi
kebijakan dan proses pengadaan alutsista yang distorsif yang merugikan
kepentingan publik dan negara.
Efektivitas pengawasan
Pembentukan ZI dan ZBK
sebenarnya wilayah teknis atau manajerial Kemenhan/TNI. Secara politik,
pengendalian risiko korupsi harus juga dilakukan dengan mengembangkan kerja
politis, yaitu meningkatkan efektivitas kontrol politik parlemen terhadap Kemenhan/TNI.
Anggota parlemen harus punya pengetahuan, keterampilan, dan nyali yang cukup
untuk menjalankan fungsi kontrolnya. Juga, tak kalah penting, meningkatkan
efektivitas kontrol publik terhadap Kemenhan/TNI.Organisasi masyarakat sipil,
termasuk media, harus makin kuat dan efektif mengontrol Kemenhan/TNI. Masih
tingginya risiko korupsi militer kita saat ini disumbang oleh tiga faktor
ini: masih belum optimalnya fungsi kontrol politik dari parlemen dan kontrol
publik; keterlibatan militer/oknum militer dalam bisnis legal dan ilegal; dan
pengadaan alutsista yang belum transparan dan akuntabel.
Upaya mengendalikan
risiko korupsi di tubuh militer sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai agenda
domestik. Ia juga harus ditempatkan dalam konteks regional dan kerja sama
kawasan, baik dalam bidang pertahanan, perdagangan, maupun ekonomi secara
umum.
Dalam konteks G20,
misalnya, ada tiga upaya yang perlu dilakukan. Pertama, pembentukan kaukus
anggota parlemen yang mengawasi institusi militer. Melalui kaukus ini
dimungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara anggota
parlemen dalam mengontrol institusi militer. Kedua, meningkatkan transparansi
belanja militer dengan mengembangkan semacam Military Expenditure Transparency Initiative (METI). Negara-negara
anggota G20 perlu menyepakati dan mengimplementasikan prinsip transparansi
dalam belanja militernya. Ketiga, mengembangkan inisiatif baru dengan meningkatkan
integritas pengadaan alutsista (Military
Procurement Integrity/MPI). Dalam inisiatif ini, negara-negara anggota
G20 perlu menyepakati dan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, integritas
dan akuntabilitas pengadaan alutsista.
Kombinasi kedua upaya
itu memungkinkan kita bisa mengendalikan risiko korupsi ke titik moderat (C),
atau rendah (B), bahkan sangat rendah (A). Kalau usaha ini tercapai,
efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya, kedaulatan negara,
keamanan warga negara, dan keselamatan tentara akan lebih terjamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar