Hikayat Tikus
Agus Dermawan T ;
Penulis Kebudayaan dan Seni
|
KOMPAS, 30 Januari
2016
Apabila Saudara ke
Bali, singgahlah di Desa Ubud. Di kawasan ini tersua rumah I Gusti Nyoman Lempad (1865-1978). Pada
bagian depan rumah seniman legendaris itu terdapat sebuah patung batu yang
menggambarkan seorang lelaki sakti sedang menggiring ratusan tikus.
"Patung ini diinspirasi dongeng Rattenfanger von Hameln. Tak saya
sangka, penghormatan orang Jerman dan orang Bali kepada satwa tikus ternyata
sama," tutur Lempad.
Rattenfanger von Hameln, atau Peniup
Seruling dari Hameln, adalah cerita rakyat yang berkembang di kawasan
Baltik dan Jerman sejak beberapa abad silam. Syahdan, kota Hameln (Hamelin)
sedang diserang hama tikus. Para pejabat kota tak ada yang bisa membereskan
soal ini. Pada saat itu seorang lelaki komedian menghadap wali kota. Lelaki
antah-berantah ini mengatakan, bahwa ia bisa mengusir tikus asal diupah
sesuai dengan perjanjian. Dengan didukung koleganya (sejumlah pejabat dan
anggota DPRD), wali kota setuju. Di suatu hari lelaki itu meniup serulingnya.
Ribuan tikus berduyun menghampiri. Batalyon tikus itu lantas dinasihati
supaya pergi sejauh-jauhnya dari Hameln. Agar tak lelah berjalan, tikus-tikus
itu disarankan berenang ikut arus Sungai Weser.
Setelah menunaikan
tugas, si pesuling mendatangi wali kota untuk mengambil upahnya. Namun, upah
yang diberikan ternyata hanya separuh dari yang dijanjikan. Pesuling akhirnya
tahu bahwa separuh upah yang jadi haknya dikorupsi wali kota dan koleganya.
Pesuling gusar, kemudian merancang pembalasan.
Pada suatu hari,
ketika para orangtua sedang merayakan Hari Santo Yohanes di gereja, lelaki
itu meniup serulingnya lagi. Kali ini yang datang ternyata anak-anak. Si
lelaki lantas berjalan sambil tak henti meniup seruling. Seratus anak yang
terpesona terus mengikutinya. Terus dan terus, sampai jauh, kemudian tak
pernah kembali.
Akhirnya ada tiga anak
yang tertinggal (lantaran kakinya pincang, telinganya tuli, dan matanya buta)
memberi kesaksian: rombongan anak-anak itu digiring peniup seruling menuju
hutan. Ujung dongeng menjelaskan bahwa 100 anak itu berbahagia di hutan
ditemani tikus-tikus yang lucu. Sementara itu, para pejabat yang korup
mendapat tugas menegangkan: mencari anak-anaknya yang hilang.
Jero Ketut sampai Den Bagus
Dalam beberapa hikayat
yang lahir dari kosmologi Barat, tikus (Rodentia) ternyata jauh dari kesan
nista. Itu sebabnya dongeng kelucuan tikus dalam Rattenfanger von Hameln
sampai digarap dalam banyak versi oleh Goethe, Grimm Bersaudara, dan Robert
Browning. Bahkan, komponis Igor Stravinsky (1882-1971) meneruskannya lewat
karya musik uniknya. "Aku gembira apabila musikku dipahami anak-anak.
Namun, aku lebih bahagia apabila musikku bisa membuat semua tikus
menari." Kedekatan Igor dengan tikus bagai menyadarkan Walt Disney
bermain- main dengan tikus sehingga makhluk ini dijadikan tokoh kartun
jenakanya: Mickey Mouse.
Begitu di Barat,
begitu juga di Bali dan Jawa. Adat
tradisional negeri indah ini menjunjung tikus sebagai "Jero Ketut",
yang bermakna "si bungsu keluarga sendiri". Untuk mengimbau tikus
agar pergi dari sawah yang siap panen, doa dipanjatkan dan sesaji
dipersembahkan. Di Tabanan, tikus-tikus yang ditemukan mati segera
dikumpulkan untuk dikremasi alias "diaben". Penghormatan yang sama
juga terjadi di banyak daerah di Jawa yang setia kepada tradisionalisme.
Tikus yang tiba-tiba muncul dalam ruang biasanya hanya digusah sambil diimbuh
kata sapa: "Ono opo den bagus?". "Den bagus" adalah
sebutan bagi lelaki tampan.
Akan tetapi, sang
tikus ternyata tidak bisa berbangga hati di segala waktu dan di semua tempat
karena di Jakarta, yang peradabannya acap menjauh dari tradisionalisme, orang
justru menganggap tikus sebagai binatang sialan. Tikus dijadikan olok-olok
dan hewanisasi bagi manusia yang suka mencuri.
Ketika petugas Bandara
Soekarno-Hatta menangkap porter yang membongkar koper-koper penumpang pesawat
terbang, berbagai stasiun televisi menayangkan teks berjalan yang berbunyi:
"Waspadai tikus-tikus bandara". Ketika di Pelabuhan Tanjung Priok
ditengarai banyak korupsi di meja administrasi disertai pungutan liar di
segala lini, televisi beruar-uar: "Tikus-tikus riol beraksi, duit lari
ke sana ke mari." Tikus riol adalah jenis tikus yang suka berdiam di got
dermaga.
Puluhan karikatur di
berbagai media massa selalu melambangkan pencuri dan koruptor sebagai tikus.
Seperti karikatur GM Sudarta di Kompas edisi 9 Januari 2016, di situ
tergambar seekor macan bernama Neo-KPK sedang memeriksakan giginya yang
kecil-kecil di sebuah klinik. Di sudut sana tampak seekor tikus sedang
menyeringai, memamerkan gigi-gigi politiknya yang lebih besar dari gigi si
macan. Jadi, lawan Neo-KPK adalah (poli) tikus.
Pengendus istimewa
Tak jelas, mengapa
tikus yang di mana-mana lucu itu ketika sampai di Jakarta menjadi busuk
melulu. Tak jelas juga kenapa 154 jenis tikus yang tercatat di Jakarta,
termasuk 252 anak jenisnya, tidak berani memprotes. Padahal, dongeng dunia
sudah membuktikan bahwa di Hameln justru tikus lebih bermartabat budi
ketimbang manusia.
Sebagai makhluk yang cerdik, sehingga sering
menghasilkan "jalan tikus", suatu kali tikus harus memamerkan
kemampuan positifnya di mana-mana. Misalnya, sebagai ahli pengendus, tikus
telah lama dimanfaatkan mendeteksi ranjau darat dan penyakit TBC di Afrika.
Atau, sekarang,
sebagai pendeteksi bahan-bahan peledak yang disembunyikan para teroris di
berbagai selipan yang sulit dijangkau penglihatan manusia. Tentu setelah
tikus-tikus itu dilatih di Laboratory
of Olfactory Perception di Rostov on Don, Rusia, dan setelah disemati
peranti elektroda di otaknya.
Setelah menyimak
hikayat tikus, para pencuri dan koruptor di Indonesia tidak tepat jika
dipredikati tikus. Seharusnya mereka disebut kecoak (Orthoptera suku
Blattidae). Kecoak dengan "k" kecil untuk kelas pencuri koper.
Kecoak dengan "K" besar untuk level koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar