Selasa, 19 Januari 2016

DUCATI

DUCATI

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

                                                  KORAN SINDO, 17 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada zaman saya sekolah di SMAN 1 Bogor saya punya sepeda motor dengan merek Ducati tipe Luxor (made in Italy).

Kendaraan ini lebih banyak unsur sepedanya (bisa digowes), di samping unsur motornya yang hanya 50 cc itu. Jadi beda dengan motor-motor zaman sekarang yang minimal 110 cc dan bisa lari kencang. Pesaing Ducati Luxor di zaman itu adalah sepeda motor merek DKW tipe Hummel (juga bikinan Italia ). Jepang masih berbenah setelah kalah Perang Dunia II tahun 1945).

DKW Hummel sebenarnya lebih nyaman dikendarai, mesinnya 125 cc, tetapi mesinnya 2 tak, jadi bensinnya campur oli sehingga suaranya lebih halus, namun tidak bisa lari terlalu kencang. Tetapi dibandingkan dengan motor-motor sekarang seperti Yamaha X-Ride, Ducati Luxor saya sebenarnya tergolong tidak bisa lari. Menang di suara doang, yang membuatnya lebih macho daripada DKW.

Di zaman itu saya dan adik saya, namanya Sarwanto, yang masih kelas III SMP walaupun usia kami hanya terpaut setahun (waktu itu saya kelas II SMA), paling demen trek-trekan (istilah anak sekarang) naik Ducati kami masing-masing. Dia juga punya Ducati Luxor, bedanya punya dia bercat merah, saya hitam.

Kami berdua malah pernah ke Jakarta (waktu itu satu-satunya jalan lewat jalan Bogor-Jakarta lama melalui Cibinong, Cisalak dan seterusnya) untuk menonton film yang dibintangi bom seks Brigitte Bardot (di zaman itu belum ada ISIS, tetapi film itu sudah diharamkan oleh orang tua, jadi malah kami tambah ingin menonton) di Bioskop STAR (sekarang: Taman Ismail Marzuki).

Sesudah menonton kami balik lagi ke Bogor seolah-olah baru pulang sekolah sore hari (kebetulan saya sekolah siang). Kami berbuat sewajar mungkin supaya orang tua tidak curiga, padahal alat vital kami serasa hilang karena kesemutan setelah digoyang getaran sadel sepeda motor selama hampir dua jam sekali jalan.

Beberapa waktu lalu saya diajak coffee morning oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian. Coffee morning yang diselenggarakan sekali seminggu dan selalu diliput oleh sebuah stasiun televisi lokal Jakarta itu selalu mengajak masyarakat untuk berdiskusi tentang berbagai topik yang sedang hangat di masyarakat.

Pada hari itu hadir bersama saya Tinton Suprapto, eks pembalap Indonesia yang sekarang mengelola sirkuit Sentul, para pejabat polisi yang mengurus balap-balap liar di Jakarta, perwakilan organisasi-organisasi sepeda motor, dan para pembalapnya itu sendiri yang umumnya masih sangat belia.

Topik hari itu adalah bagaimana caranya menghentikan kebut-kebutan sepeda motor, yang bukan hanya membahayakan orang lain, tetapi berkembang menjadi geng motor yang mengganggu masyarakat, berupa pemalakan, penjambretan, pembegalan, perampokan, bahkan bisa sampai membunuh orang tak berdosa. Maka muncullah dalam forum coffee morning itu ide-ide untuk mengarahkan pebalap-pebalap liar menjadi pebalap resmi, atau bahkan pebalap profesional.

Beberapa melontar gagasan untuk membangun sirkuit-sirkuit resmi untuk menyalurkan bakat-bakat balapan adik-adik kita. Tetapi ide ini terhenti karena kendala pengadaan lahan. Maka Pak Tinton pun dengan senang hati menawarkan Sirkuit Sentul untuk para pebalap jalanan ini berlatih. Kalau perlu diantar jemput dengan truk-truk untuk mengangkut motor-motor mereka.

Berapa truk pun yang diperlukan akan disiapkan oleh Pak Tinton yang baik hati itu. Sayangnya, para pebalap amatiran itu menolak. Alasannya macam-macam. Dari alasan jauh (ada yang dari Tanjung Priok, tentu saja jauh kalau harus ke Sentul), waktunya tidak pas, harus sekolah, dsb. Tetapi sebagai mantan remaja yang dulu juga sering ngebut, saya paham apa yang ada di benak adik-adik pembalap amatir ini.

Kembali ke zaman SMA, saya dan Sarwanto dan sejumlah anak Bogor lain yang senang kebut-kebutan di jalan punya dunia dan alam berpikir sendiri, yang tidak umum di antara anggota masyarakat lain. Pemotor-pemotor amatir seperti saya sama sekali tidak berpikiran untuk menjadi pebalap pro. Kami hanya ingin nampang kepada para pemuja (atau yang kami pikir memuja kami), yaitu cewek-cewek. Saya tergolong penakut sebagai pengebut, tetapi Sarwanto lebih pemberani dan sebagai ganjarannya dia pernah menabrak semak-semak sehingga terluka dan memerlukan beberapa jahitan oleh dokter (bukan oleh penjahit).

Di luar ngebut, para pengebut berkawan dengan fans-nya. Kami bertetangga, satu sekolah, menonton (bahasa Bogor: lalajo) bareng dan beberapa bercintaan (bobogohan), kalau malam Minggu ada pesta ulang tahun (dulu belum ada disko) kami datang untuk berdansa (gengsot), syukur-syukur kalau ada cewek yang mau diantar jemput, kalau enggak ya ngedayak aja (datangnya cowok-cowok semua, nanti ajak cewek yang ada di tempat pesta saja).

Tentu saja pengebut sekarang bukan pengebut zaman saya dulu. Tetapi, persamaannya kebanyakan pengebut bukan calon pebalap resmi, apalagi profesional. Bahkan setahu saya sedikit sekali pebalap-pebalap profesional yang sudah masuk sirkuit internasional yang mengawali kariernya sebagai geng motor. Walaupun begitu, perlu diperhatikan bahwa para pengebut zaman saya hanya terbatas pada dunia gaul, sedangkan sekarang sudah jauh lebih luas dari pada itu.

Bukan hanya perkawanan, tetapi sudah menjadi geng, bahkan sudah jadi gengster (dengan persyaratan masuk ketat, termasuk di-bully secara fisik, dsb), termasuk ajang perjudian, pengebut hanya jadi jockey, sedangkan motor milik orang lain.

Dunia seperti inilah yang mesti dilenyapkan melalui program yang komprehensif, yang memberikan peluang untuk anak-anak muda itu unjuk diri, sambil juga punya pekerjaan yang jelas, sehingga tidak perlu ngegeng motor lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar