Minggu, 17 Januari 2016

Bidah Pola Perang Para Teroris

Bidah Pola Perang Para Teroris

Masdar Hilmy  ;   Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                      JAWA POS, 15 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TEROR kembali mengguncang Jakarta. Setelah bom di depan Kedutaan Australia (2004) dan bom Kuningan (2009), kemarin giliran Jl MH Thamrin, tepatnya di depan Gedung Sarinah dan kedai kopi Starbucks, menjadi target pengeboman para teroris.

Akibatnya, tujuh nyawa melayang dan belasan lainnya luka-luka. Apa pun motif dan alasannya, terorisme merupakan tindakan keji yang tidak patut ditoleransi karena berlawanan dengan ajaran agama mana pun di jagat ini.

Aparat telah mengonfirmasi, ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menjadi dalang di balik peristiwa tersebut. Itu berarti ISIS benar-benar telah ’’menepati janjinya’’ untuk menyerang Indonesia. Lebih dari itu, serangan tersebut mengirimkan sinyalemen eksistensi ISIS di negeri ini.

Sebagaimana pernah diberitakan, ISIS sebenarnya telah menebarkan ancaman kepada 70 negara, termasuk Indonesia, sebagai target serangan pasca serangan Paris (14/11/2015). Kutipan berikut seperti yang dirilis kantor berita AFP (11/9/2015) menggambarkan ancaman tersebut.

’’Apa yang, misalnya, mencegah seorang jihadis menargetkan... komunitas di Dearborn, Michigan, Los Angeles, dan New York City? Atau menargetkan misi-misi diplomatik Panama di Jakarta, Doha, dan Dubai? Atau, menargetkan misimisi diplomatik Jepang di Bosnia, Malaysia, dan Indonesia? Atau, menargetkan para diplomat Saudi di Tirana, Albania, Sarajevo, Bosnia, dan Pristina, Kosovo?’’

Jihad Bidah

Sudah selayaknya aparat negara mengambil peran afirmatif dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara dari serangan teroris.

Sikap ekstrawaspada terhadap ancaman terorisme menjadi penting karena pola kekerasan para teroris tidak mengadopsi pola konvensional. Namun, meminjam istilah Bassam Tibi (2002), disebut irregular war, ’’perang tidak teratur’’.

Jika dalam urusan ideologi atau paham keagamaan para teroris cenderung konvensional-konservatif, tidak demikian halnya dalam perang. Dalam hal ini, para teroris cenderung menerapkan bidah (inovasi) dalam mengembangkan pola perang yang tidak konvensional.

Bidah pertama, perang dilancarkan kepada semua pihak yang dipersepsi ’’musuh’’. Baik ’’musuh dekat’’ (al’aduww al-qarib) seperti aparat keamanan maupun musuh jauh (al’aduww al-ba’id) seperti AS dan Barat, militer maupun sipil.

Dalam terminologi keagamaan klasik, perang hanya dilancarkan terhadap kombatan atau militer. Sementara itu, warga sipil –terutama perempuan, anak-anak, dan orang tua– tidak termasuk dalam pihak yang diperangi.

Bidah kedua, perang tidak dilancarkan oleh lembaga yang paling otoritatif, yakni kepala negara. Perang dilancarkan secara semenamena oleh individu teroris yang tidak memiliki otoritas formal atau keagamaan apa pun. Dalam tradisi pemikiran keagamaan klasik, hanya kepala negaralah yang berhak menyatakan negara dalam keadaan perang.

Bidah ketiga, perang dilancarkan tidak di medan perang (dar alharb), tetapi di negeri yang damai (dar al-salam) seperti Indonesia. Artinya, perang itu ada tempatnya. Serangan teroris terhadap pusatpusat keramaian di ruang publik, apa pun motif dan dalihnya, menyalahi kaidah perang yang benar.

Bidah keempat, para teroris menggunakan cara-cara naif menuju kebinasaan diri seperti bom bunuh diri. Sekalipun para teroris memiliki justifkasi teologis soal bom bunuh diri melalui doktrin istisyhad (mati syahid), jumhur ulama melarangnya karena hal itu bertentangan dengan semangat memelihara kehidupan. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh al-Jihad (2009) termasuk ulama yang mengecam penggunaan bom bunuh diri.

Bidah kelima, para teroris cenderung memaknai jihad sebagai perang fisik (qital) yang dilakukan melalui ’’pintu belakang’’ (irhabi). Sementara itu, pemaknaan jihad yang lebih universal dan generik sebagai perang melawan hawa nafsu atau jihad damai dianggap tidak absah secara teologis karena telah dinaskh (dihapus) oleh jihad qital.

Solusi Menyeluruh

Untuk mencegah dan mengatasi aksi terorisme, tidak ada cara lain kecuali melakukan aksi menyeluruh mulai hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, program deradikalisasi dilakukan melalui upaya dekonstruksi dan delegitimasi paham-paham keagamaan yang dapat mengarah pada aksi terorisme. Hal itu bisa dilakukan institusi-institusi yang punya otoritas keagamaan seperti MUI serta ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.

Sementara itu, di tingkat hilir, program deradikalisasi dilakukan melalui pendekatan keamanan (security approach) dan penegakan hukum terhadap para teroris. Harus diakui, penerapan pendekatan keamanan oleh Densus 88 sering menimbulkan antipati dan dendam di kalangan teroris. Karena itu, pendekatan keamanan idealnya dilakukan setelah seluruh perangkat lunak dimaksimalkan. Dengan kata lain, fungsi pencegahan (deterrence) harus lebih diutamakan ketimbag fungsi penegakan (enforcement).

Di atas itu semua, program-program pembangunan yang berorientasi kesejahteraan harus benar-benar dijalankan secara konsisten dan simultan.
Sebab, kemiskinan dan berbagai problematika sosial merupakan reservoir bagi tumbuh suburnya ideologi radikalisme-terorisme. Barulah ketika semua itu dilakukan, negara tidak bisa dikalahkan (lagi) oleh para teroris. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar