2015,
Tahun Buram Kekerasan Anak
Fahira Idris ; Wakil Ketua Komite III DPD RI; Senator Asal
Jakarta
|
REPUBLIKA,
30 Desember 2015
Walau implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sudah berjalan lebih dari satu dekade, tindak kekerasan
terhadap anak masih marak terjadi di seluruh wilayah Indonesia, bahkan
trennya meningkat tajam dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir saja,
jumlah kekerasan terhadap anak di seluruh Indonesia menembus 21,6 juta kasus
(Republika.co.id, 22/12). Sebanyak
58 persen kasus merupakan kekerasan seksual dan sisanya kekerasan fisik,
penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, dan perdagangan anak.
Jumlah ini diyakini bisa lebih besar karena banyak kasus
kekerasan anak yang tidak terungkap atau tidak dilaporkan karena berbagai
sebab. Kasus Engeline dan PNF (bocah yang meninggal dalam kardus) yang
terjadi pada 2015 dapat dikatakan potret buram dan puncak gunung es kekerasan
anak di Indonesia.
Hingga saat ini, Indonesia belum punya sistem perlindungan anak
yang komprehensif. Upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak
masih parsial dan bergerak sendiri-sendiri. Upaya perlindungan anak semakin
melemah karena belum ada keberpihakan anggaran, dan ini berlangsung sudah puluhan
tahun.
Kita masih belum punya strategi bagaimana membangun sistem
perlindungan anak yang mampu menjamin agar anak tidak lagi menjadi korban
kejahatan seksual. Pemerintah juga belum mampu menggerakkan semua struktur
yang ada dalam masyarakat mulai dari yang terkecil, mulai dari RT/RW,
sekolah, dan lainnya, sebagai basis upaya preventif kekerasan anak termasuk
upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak serta memastikan anak
terbebas dari potensi kejahatan terutama seksual.
Persoalan lainnya adalah mindset masyarakat yang masih
menganggap kekerasan terhadap anak adalah kejahatan biasa. Padahal, komitmen
internasional sudah menegaskan bahwa kejahatan terhadap anak masuk dalam
ketegori kejahatan luar biasa. Kondisi ini ditambah dengan masih lemahnya
penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan anak dan rendahnya komitmen
stakeholders (pemangku kepentingan) terutama kementerian/ lembaga untuk
mengintegrasikan isu perlindungan anak dalam perencanaan pembangunan.
Regulasi juga menjadi persoalan tersendiri. Walau Indonesia sudah 13 tahun
punya UU Perlindungan Anak, tetapi pemahaman masyarakat terhadap UU ini
sangat minim. Bahkan, banyak orang tua, tidak tahu sama sekali ada UU
Perlindungan Anak.
Sehingga tak heran, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis
terhadap anak dengan berbagai macam cara meningkat tiap tahun. Bahkan, banyak
pelaku kekerasan terhadap anak ternyata adalah orang-orang terdekatnya.
Kondisi ini makin diperparah dengan keraguan masyarakat melapor ke pihak
berwenang jika di lingkungannya ditemukan indikasi orang tua yang melakukan
kekerasan terhadap anak.
Selain itu, ancaman bagi pelaku kekerasan terhadap anak belumlah
menjerakan. Pasal 82 UU Perlindungan Anak hanya mengancam pidana penjara
maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
Pasal 292 KUHP malah lebih ringan. Pelaku pencabulan terhadap anak hanya
dihukum maksimal lima tahun penjara.
Padahal, kekerasan baik fisik maupun seksual kepada anak adalah
kejahatan kemanusian luar biasa. Namun, hukum kita menganggapnya biasa. Harus
ada hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan anak dari hukuman seumur hidup
hingga hukuman mati serta ancaman tambahan seperti kebiri untuk kejahatan
pedofil.
Belum jadi
perhatian
Coba perhatikan setiap pemilu, sangat jarang calon anggota dewan
yang punya program perlindungan anak. Sangat sedikit calon kepala daerah yang
mencantumkan konsep perlindungan anak dalam program aksinya. Atau saat
pilpres kemarin, ada tidak, debat calon presiden tentang perlindungan anak?
Kita masih menepikan persoalan perlindungan anak. Konsekuensinya, peristiwa
seperti yang dialami Engeline akan terus terulang. Hingga saat ini kita belum
mendengar ketegasan presiden dengan lantang mengatakan bahwa negara berperang
melawan kekerasan anak. Saat Hari Anak Nasional (23/7), Presiden sama sekali
tidak memaparkan terobosan perlindungan anak. Perlindungan anak di Indonesia
seperti tanpa arah dan komando.
Pada saat menyampaikan pidato kedua dalam rangka HUT ke-70
Proklamasi Kemerdekaan, Presiden mengakui tahun 2015 kekerasan anak semakin
meningkat, tetapi Presiden tidak memaparkan apa komitmen, strategi, dan
program aksi pemerintah untuk meretas persoalan kekerasan anak. Walau
terakhir ada terobosan hukuman kebiri bagi pelaku pedofil, tapi hingga saat
ini kita belum lihat ada tindak lanjut dari wacana ini. Persoalan lainnya
adalah, hingga saat ini masih ada oknum penegak hukum yang belum tanggap
dalam menangani kekerasan terhadap anak yang sebenarnya adalah kejahatan luar
biasa. Bahkan, masih ditemukan hakim yang memutus vonis ringan pelaku
kekerasan seksual terhadap anak dan jaksa penuntut umumnya sama sekali tidak
mengajukan banding.
Padahal, kekerasan terhadap anak apalagi pemerkosaan bukan delik
aduan. Artinya, polisi harus menanganinya dengan cepat dan serius tanpa harus
menunggu laporan. Hakim juga harus tegas. Semua kejahatan anak harus dihukum
berat bahkan jika sampai menghilangkan nyawa bisa dihukum mati. Ini sebagai
tanda bahwa negara ini perang terhadap kekerasan anak. Kalau negara tegas,
jangankan berbuat, berniat menyakiti anak saja, orang-orang sudah tidak
berani.
Perlu sistem
Pemerintah harus segera menyiapkan sistem perlindungan anak
melalui pelibatan masyarakat serta mulai menerapkan pendidikan karakter dan
budi pekerti sejak dini karena itu cara yang efektif mencegah terjadinya
kekerasan. Sistem perlindungan anak dengan pelibatan penuh masyarakat sangat
efektif mencegah terjadinya kekerasaan.
Apa yang dilakukan Pemerintah Norwegia yang membuka kesempatan
bagi masyarakat luas untuk menjadi relawan perlindungan anak di lingkungannya
masing-masing, mungkin bisa kita adopsi. Lewat seleksi yang ketat, para
relawan ini dilatih menjadi mediator dan konselor di lingkungan tempat
tinggalnya serta secara rutin berdiskusi dan mencari solusi jika terjadi
tindak kekerasan terhadap anak, terlebih jika korban dan pelakunya adalah
anak-anak juga.
Sebagai insentif, masyarakat yang menjadi relawan diberikan
keringanan pajak oleh pemerintah. Jadi, tidak hanya penekanan lewat hukuman
maksimal bagi pelaku kekerasan terhadap anak, tetapi juga harus ada sistem
perlindungan anak yang terorganisasi sebagai tindakan pencegahan. Kita bisa
memanfaatkan RT/RW atau organisasi PKK yang jaringan sampai ke lapisan paling bawah masyarakat.
Jika ada sistem atau cetak biru perlindungan anak, maka semua
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah diharuskan punya program dan
kegiatan sosialisasi perlindungan anak. Misalnya, Kementerian Agama punya
program sosialisasi dan konsultasi bagi pasangan yang akan menikah mengenai
hak-hak anak dan UU Perlindungan Anak termasuk ancaman pidananya. Atau
Kominfo punya program sosialisasi yang masif bahwa kekerasan anak adalah
tindakan kriminal dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Ini yang selama
ini belum terjadi.
Presiden harus diingatkan bahwa pemerintahannya saat ini, bukan
hanya buat Indonesia lima tahun ke depan, tetapi bagaimana bisa menjadikan
Indonesia negara kuat di masa mendatang. Satu-satunya cara adalah lindungi
anak-anak kita dari kekerasan dan jadikan pemenuhan hak-hak mereka dalam
berbagai bidang sebagai prioritas. Karena wajah Indonesia ke depan adalah
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar