Setahun Kedaulatan Pangan
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih
dan Teknologi Tani Indonesia
|
KOMPAS,
28 Desember 2015
Nawacita
menggariskan kedaulatan pangan sebagai model pembangunan pertanian dan pangan
2014-2019. Kedaulatan pangan (food
sovereignty) mengubah paradigma sebelumnya yang dikenal dengan ketahanan
pangan (food security). Kedaulatan
pangan berawal dari perjuangan aliansi masyarakat sipil dan jaringan tani
sejak tahun 2000-an.
Gerakan
tersebut direspons oleh kalangan legislatif dengan mencantumkan kedaulatan
pangan untuk pertama kali dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor
41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU
No 18/2012 tentang Pangan dan UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani menempatkan kedaulatan pangan sebagai asas tertinggi
meskipun hanya sekadar disematkan. DPR saat ini menginisiasi RUU Kedaulatan
Pangan dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2015 dan 2016 sebagai upaya
untuk menempatkan kedaulatan pangan dalam makna yang sesungguhnya, baik dari
sisi akademis maupun praksis.
Kedaulatan pangan 2015
Pelaksanaan
kedaulatan pangan dapat dinilai dari tujuh indikator utama. Indikator itu
adalah peningkatan kesejahteraan petani, produksi pertanian berkelanjutan
berbasis agroekologi, proteksi harga dan penurunan impor pangan, renegosiasi
semua perjanjian internasional dan regional terkait sektor pertanian dan
pangan, redistribusi lahan untuk petani kecil, diversifikasi dan pembangunan
pangan lokal, serta demokratisasi pertanian melalui pelibatan petani kecil
dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan di semua tingkatan. Tulisan ini
hanya membahas beberapa indikator tersebut.
Peningkatan
kesejahteraan petani tampaknya belum menjadi tema besar pembangunan pertanian
saat ini. Selama sepuluh tahun terakhir (2003-2013), rata-rata setiap tahun
500.000 keluarga tani terpaksa meninggalkan lahannya. Dalam setahun
pemerintahan, keadaan belum membaik. Saat panen raya, nilai tukar petani
(NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani justru turun 0,64;
1,37; dan 0,12 pada Maret, April, dan Mei 2015 (BPS, Maret-Juni 2015).
NTP tanaman
pangan terjun bebas dari 102,03 di bulan Februari menjadi 100,80; 97,33; dan
96,68 pada Maret, April, dan Mei 2015. Setelah panen raya dan gabah tidak di
tangan petani, NTP perlahan-lahan meningkat dipicu oleh harga pangan yang
semakin tinggi. Penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras
yang terlalu rendah adalah salah satu penyumbang turunnya NTP. Selama tiga
tahun terakhir, inflasi meningkat 21,03 persen, sedangkan HPP hanya meningkat
10-12 persen.
Petani
perkebunan rakyat merupakan kelompok yang paling menderita. NTP perkebunan
rakyat tahun 2015 (Januari-November) hanya 97,20, turun tajam dibandingkan
rata-rata 2014 sebesar 101,32 (BPS 2014 dan 2015). Penurunan tersebut
diakibatkan naiknya input produksi dan turunnya harga komoditas, terutama
sawit dan karet, di pasar internasional. Sampai hampir berakhirnya tahun
2015, tidak ada upaya signifikan untuk menolong penderitaan petani pekebun.
Catatan
menyedihkan lain adalah 570.000 petani jatuh miskin pada enam bulan awal
pemerintahan (September 2014-Maret 2015, BPS 2015). Diperkirakan dari April
hingga Desember 2015, sekitar 1 juta petani kecil jatuh miskin akibat gagal
panen dan harga pangan yang melonjak tinggi.
Pendekatan
agroekologi sebagai salah satu pilar kedaulatan pangan belum menjadi
kebijakan nasional pembangunan pertanian. Meskipun terjadi peningkatan luar
biasa anggaran pertanian dan pangan sebesar 71 persen, subsidi pupuk sintetik
87,5 persen, dan anggaran Kementerian Pertanian 112 persen, arah kebijakan
anggaran justru menjauhi prinsip kedaulatan pangan. Anggaran banyak
dihabiskan untuk mendukung program-program yang bermodelkan pertanian
industri dan food estate yang justru bertolak belakang dengan konsep
agroekologi.
Dari hasil
293 riset di seluruh dunia (Badgley et al, 2006) dibuktikan bahwa agroekologi
merupakan sistem pertanian ramah lingkungan yang memiliki produktivitas lebih
tinggi dibandingkan sistem pertanian industri/konvensional berbasis varietas
”modern”, pupuk sintetik, dan racun hama. Di negara berkembang, produksi
biji-bijian yang menggunakan pendekatan agroekologi sebesar 1,57 kali atau
meningkat 57 persen dibandingkan budidaya konvensional. Untuk kedelai,
sayuran, umbi-umbian, dan legum, produksinya bahkan lebih besar, yaitu
berturut-turut 1,65; 2,04; 2,70; dan 4,00 kali lipat.
Hasil yang
mirip diperoleh dari penerapan konsep agroekologi di 11 kabupaten oleh
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) selama tiga musim
panen tahun 2014-2015. Hasil rata-rata padi sawah meningkat dari 6,8 ton
gabah kering panen (GKP) per hektar (budidaya konvensional) menjadi 10,6 ton
GKP per hektar atau meningkat 56 persen, mirip dengan data internasional.
Impor pangan
Penurunan
ketergantungan terhadap impor pangan merupakan program besar pemerintah saat
ini yang berkesesuaian dengan konsep kedaulatan pangan. Berkali-kali
Kementerian Pertanian menyampaikan stop impor beras dan penurunan impor
komoditas pangan lain pada 2015. Kebijakan stop impor pangan tersebut
didasarkan pada data peningkatan produksi beras, jagung, dan kedelai yang
spektakuler, yaitu masing-masing 5,85; 4,34; dan 2,93 persen (ARAM II, BPS
2015). Berdasarkan data tersebut, Indonesia akan surplus beras sebesar 10
juta ton (pernyataan Kementerian Pertanian).
Sangat
disayangkan, data produksi pertanian yang kemudian menjadi landasan kebijakan
tersebut tidak akurat sehingga Kompas,26 November,dalam sub-headline-nya
memberi judul ”Ada Dugaan Dipermainkan untuk Justifikasi Keberhasilan
Program”. Hasil kajian AB2TI juga menyimpulkan ketidakakuratan data
pemerintah. Kajian dilakukan melalui wawancara di 61 kabupaten di Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Bali, dan Papua. Dari hasil
kajian tersebut disimpulkan, produksi padi di 67,86 persen wilayah kajian
mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014, 21,43 persen mengalami kenaikan,
dan 10,71 persen tetap. Penurunan berkisar 4,3 persen hingga 40 persen dengan
rata-rata 20,42 persen. Penurunan terutama diakibatkan musim kemarau ekstrem
akibat El Nino.
Ketidakakuratan
data produksi tersebut menimbulkan gejolak harga pangan yang besar yang tidak
pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Empat pangan pokok mengalami
gejolak harga, yaitu beras, daging sapi, daging ayam, dan telur ayam. Harga
beras medium rata-rata nasional turun pada April dan Mei karena panen raya,
setelah itu terus meningkat hingga saat ini sebagai pertanda stok beras
nasional semakin tipis. Harga saat ini yang mencapai Rp 10.652 per kilogram
sudah melampaui puncak harga pada Maret dan jauh melampaui harga pada tahun
2014 yang berada pada kisaran Rp 8.500-Rp 9.000.
Harga daging
sapi juga mengalami gejolak yang sama. Setelah bertahan di angka sekitar Rp
101.000 per kilogram pada Januari-April 2015, harga kemudian terus meningkat
dan mencapai puncaknya pada Juli, yaitu Rp 109.514 per kilogram. Harga
sedikit terkoreksi pada Agustus dan September, tetapi kemudian meningkat lagi
dan saat ini mencapai Rp 108.567 per kilogram. Harga daging ayam broiler saat
ini hampir menyentuh harga tertinggi pada Juli, sedangkan telur mencetak
rekor harga tertinggi sepanjang tahun ini.
Pernyataan
bahwa tidak ada impor beras selama satu tahun pemerintahan (Oktober
2014-September 2015) ternyata juga tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Impor beras pada periode tersebut mencapai 732.966 ton (Kementerian Pertanian
2014 dan 2015), jagung 3,79 juta ton, kedelai 5,89 juta ton, dan gandum 7,49
juta ton. Sementara untuk tahun ini (Januari-Desember 2015), total impor
beras diperkirakan mencapai 1,222 juta ton, lebih tinggi dibandingkan impor
tahun 2014 sebesar 0,815 juta ton (BPS 2014). Indonesia tahun ini masih mengimpor
komoditas pertanian dan pangan sebanyak 122 item.
Tahun 2016
masih menjadi tahun sulit untuk pertanian dan pangan. Dampak El Nino 2015
akan berlanjut tahun depan karena mundurnya musim tanam dan pengisian waduk
yang tidak optimal. Kerja keras pemerintah pada 2015 harus diapresiasi
meskipun banyak hal yang masih perlu diperbaiki. Pencitraan, retorika, dan
wacana tidak lagi dibutuhkan rakyat. Berbagai persoalan sudah tampak jelas di
depan mata, yang memerlukan kerja keras dan kerja cerdas bersama untuk menyelamatkan
petani kecil, menstabilkan harga pangan, dan meraih cita-cita kedaulatan
pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar