Serakah
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 05 Desember 2015
Serakah, mungkin saja
mengawali tindak korupsi. Atau korupsi itu sendiri. Secara bahasa serakah
diartikan sebagai sifat yang selalu ingin memiliki lebih dari yang bisa
dimiliki. Dalam kamus Bahasa Indonesia bahkan diberi contoh : Meskipun sudah
kaya, ia masih serakah, hendak mengangkangi harta saudaranya. Serakah, sama
dengan loba, tamak, rakus, menjadi sifat atau sikap tercela mana kala
dijalankan melalui cara-cara yang jahat, yang melanggar aturan.
Tapi masalahnya kadang
perlu memperdebatkan apakah serakah yang salah, atau sebaliknya dianggap
“serakah yang gagah.”. Ungkapan melegenda itu dalam dialog, greed is good,
yang terkenal dalam film Wall Street, yang disutradarai Oliver Stone, 1987.
Sedemikian ngetopnya, hingga tahun 2010 ada lanjutan cerita, dengan pemeran
masih Michael Douglas sebagai Gordon Gekko. Gekko, konon diinspirasikan oleh
ayah sang sutradara, adalah tokoh yang bersemboyan “serakah itu gagah.” Apa saja
halal dilakukan untuk menggarong, mengelabui kawan atau lawan, dan gaya hidup
super mewah adalah tanda sukses. Moral, etika, sopan santun tak masuk
perhitungan selama sukses dalam segi harta.
Dalam hal cerita,
kisah-kisah tradisional tentang serakah lebih jelas garis dan batasnya. Pada
cerita rakyat yang berjudul Uthak-uthak
Ugel, tokoh ini digambarkan sangat serakah. Ia menggelikan tingkahnya,
agak menjijikkan, karena kerakusannya. Segala apa yang ditemui dimakan.
Termasuk hutan dan isinya, termasuk laut dan isinya.
Uthak-uthak Ugel tak mengenal puas, tak mengenal kenyang.
Meskipun sudah dinasehati untuk berhenti, ia nekad terus. Sampai akhirnya
perutnya meletus karena kekenyangan, karena ada kepiting yang tertelan
menjapit pusarnya dari dalam. Raksasa yang sakti, berkuasa, tak terkalahkan
sebelumnya terkapar. Ia tak menyangka bahwa ternyata ada kelemahan dalam
perut di balik segala kekuatan yang dimiliki. Uthak-uthak Ugel lebih sederhana keserakahannya, lebih hitam
putih. Juga ketika oleh sang empunya cerita dikalahkan oleh seekor kepiting.
Namun kenyataan sehari-hari, barang kali lebih menampilkan Gekko. Yang tak
serta merta dianggap salah, dan mudah dibuat kalah. Dalam dunia kapitalis,
dunia yang memuja harta dan mengabaikan apa saja, Gekko adalah pahlawan,
adalah tokoh besar, menguasai tuntutan zaman. Dan masih bisa dihidupkan dalam
sekual lanjutan.
Hari-hari ini Mahkamah
Kehormatan Dewan, MKD, DPR RI, kini tengah bersidang panjang mendudukan
persoalan etika apakah ada yang dilanggar atau tidak. Tokoh yang diadukan
adalah Ketua DPR, Setya Novanto, dengan pengadu Menteri ESDM, Sudirman Said.
Namun dalam persidangan yang disiarkan langsung oleh sedikitnya lima stasiun
siar televisi yang berjam-jam itu terkesan kuat pertikaian kubu-kubu politik.
Ada kubu pro dan ada kubu kontra. Ada yang ngotot dan ada yang sangat ngotot.
Ada keluhan dan ada
kengototan. Dan pendapat yang berbenturan di media, khususnya media sosial
yang bisa lebih terus terang dan nakal. Tontonan di layar televisi seakan
sebuah sinetron horor karena kengerian akibat yang terjadi sangat menakutkan,
namun juga tersaji dalam pendekatan komedi. Ada humor langsung, dan humor
yang tercipta dari istilah penyebutan Yang Mulia misalnya.
Bagian terberat
sebagai penonton adalah menahan diri atau ikut berkomentar. Bagian yang lebih
berat lagi terasakan kalau menginginkan ada penyelesaian. Bukan hanya kasus
ini, atau kasus etika, melainkan kasus keserakahan dalam bentuk yang lain,
yang terasa menekan di banyak bidang.
Adakah kita bisa
menghibur diri dengan mengandaikan bahwa sebenarnya sekarang ini kepiting sedang
bekerja? Atau sebaliknya, menjadi terbiasa dan merasa gagah ketika melakukan
serakah.? Entahlah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar