Semoga Kesuraman Tidak Berlanjut di 2016
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption
Watch (ICW)
|
JAWA
POS, 24 Desember 2015
TAHUN 2015
dalam waktu dekat segera berakhir. Namun, dalam isu hukum dan pemberantasan
korupsi, banyak peristiwa penting yang terjadi di tahun ini, yang dapat
menjadi bahan refleksi dan sekaligus pembelajaran menghadapi tahun depan.
Harus diakui, 2015 merupakan tahun yang cukup berat, bahkan dapat dikatakan
sebagai tahun yang suram, bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Setidaknya terdapat lima peristiwa penting yang bisa memberikan gambaran
suramnya pemberantasan korupsi pada tahun ini.
Pertama,
gencarnya upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui
tindakan kriminalisasi dan revisi Undang-Undang (UU) KPK. Kriminalisasi
terjadi terhadap dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, yang
oleh sejumlah pihak dianggap kontroversial.
Itu terjadi
tidak lama setelah lembaga antirasuah tersebut sedang membidik dugaan korupsi
yang melibatkan petinggi kepolisian. Dampak kriminalisasi tidak hanya
mengakibatkan Abraham dan Bambang harus nonaktif sebagai pimpinan KPK.
Sejumlah penanganan perkara korupsi kakap yang ditangani KPK juga jadi macet
dan dihentikan.
Upaya
pelemahan KPK juga dilakukan melalui upaya revisi UU KPK. Substansi dalam
revisi tersebut sangat kental dengan nuansa pelemahan daripada penguatan
terhadapKPK. Mulai usulan pembatasan usia institusi KPK hingga 12 tahun
mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan,
membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri, hingga
membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani KPK.
Selama 2015
setidaknya ada tiga kali upaya DPR mendorong revisi UU KPK, yaitu pada Juni,
Oktober, dan Desember. Meski proses revisi UU KPK tidak selesai pada 2015,
ancaman tidak dapat dikatakan berhenti. Sebab, proses pembahasan akan
dilanjutkan DPR tahun depan.
Kedua, masih
terjadinya pemberian remisi atau potongan masa hukuman untuk koruptor.
Meskipun dikecam banyak pihak karena dianggap prokoruptor, pemerintah tetap
saja melakukan obral remisi untuk koruptor. Yaitu remisi Idul Fitri, remisi
Hari Kemerdekaan RI, dan dasawarsa kemerdekaan. Sejumlah pemberian remisi
untuk koruptor dinilai menyimpang dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 yang menjadi dasar hukum pemberian remisi. Terakhir, pemerintah
memberikan remisi dasawarsa kemerdekaan untuk 1.938 narapidana korupsi.
Ketiga, tidak
munculnya regulasi yang pro pemberantasan korupsi. Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan revisi UU Tindak
Pidana Korupsi yang sedianya mendorong optimalisasi pemberantasan korupsi
tidak menjadi prioritas pada 2015.
Pemerintah dan
DPR justru lebih bersemangat ingin mempercepat revisi UU KPK yang dinilai
berupaya melemahkan KPK. Instruksi Presiden (Inpres) tentang Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi 2015 ternyata baru dikeluarkan Mei 2015. Selain
terlambat, Inpres Antikorupsi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo
(Jokowi) diragukan soal implementasinya.
Keempat, masih
ringannya vonis terhadap koruptor. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch
(ICW), hukuman untuk koruptor di semester I 2015 masih masuk kategori ringan
dengan rata-rata hukuman hanya 2 tahun 1 bulan penjara. Vonis koruptor di
atas 10 tahun penjara tergolong minim. Hukuman ringan tentu tidak akan
menjerakan koruptor. Apalagi dengan adanya obral remisi atau pembebasan bersyarat.
Kelima, masih
terpilihnya calon kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi. Pada
pengujung 2015 dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak
di 269 daerah, persisnya 9 pemilihan gubernur dan 260 pemilihan bupati/wali kota.
Gagasan mendapatkan kepala daerah yang berintegritas pada pilkada mendatang,
tampaknya, juga bukan sesuatu yang mudah. Persyaratan dalam UU Pilkada yang
lentur pada akhirnya masih membuka peluang bagi orang-orang yang tidak
berintegritas –misalnya tersangka dan bahkan mantan terpidana– untuk
mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Dalam catatan
ICW, terdapat sedikitnya sebelas calon kepala daerah yang ikut proses pilkada
serentak 2015 yang berstatus tersangka atau pernah menjadi terpidana dalam
perkara korupsi. Kabar buruknya adalah hingga saat ini terdapat dua mantan
narapidana dan dua tersangka korupsi yang meraih suara tertinggi dalam proses
pilkada 2015. Keempatnya adalah Gusmal (calon bupati Solok), Vonnie Anneke
Panambua (calon bupati Minahasa Utara), Fud Syaifuddin (calon wakil bupati
Sumbawa Barat), dan Hatta Rahman (calon bupati Maros).
Selain lima
peristiwa di atas, upaya pemberantasan korupsi 2015 yang suram tidak bisa
dilepaskan dari kinerja pemerintahan Presiden Jokowi. Kinerja pemberantasan
korupsi pemerintahan Jokowi yang juga dilakukan kejaksaan dan kepolisian
masih belum memuaskan.
Suramnya
pemberantasan korupsi pada 2015, harapannya, tidak terjadi lagi di 2016.
Tahun 2016 tetap menjadi tahun yang krusial bagi masa depan KPK dan agenda
pemberantasan korupsi di Indonesia. Segala upaya pelemahan terhadap KPK sudah
selayaknya dilawan dan jangan dibiarkan. Presiden Jokowi juga sudah saatnya
tampil sebagai figur pemimpin antikorupsi dengan membuat kebijakan yang tidak
prokoruptor, tetap konsisten memperkuat KPK, dan menjadikan agenda
pemberantasan korupsi sebagai prioritas.
Pimpinan KPK jilid keempat yang
baru dilantik juga harus mampu menjawab keraguan dan kritik banyak pihak
dengan cara bekerja lebih optimal. Serta tetap mempertahankan KPK sebagai
Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan semata Komisi ”Pencegahan” Korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar