Rapor Merah Ekonomi Akhir Tahun
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
HALUAN,
23 Desember 2015
Badan Pusat Statistik
(BPS) menyatakan bahwa impor Indonesia pada November 2015 yang mencapai
11,51 miliar dolar Amerika Serikat mengalami kenaikan sebesar 3,61 persen
jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya 11,10 miliar dolar AS.
Secara teknis, ada peningkatan impor pada
empat golongan barang untuk bulan November dibandingkan bulan Oktober 2015,
namun jika dibandingkan dengan tahun lalu masih mengalami penurunan. Empat
golongan barang tersebut adalah mesin dan peralatan listrik yang naik
sebesar 11,71 persen, besi dan baja sebesar 17,65 persen, kendaraan dan bagiannya
sebesar 0,96 persen dan benda dari besi dan baja sebesar 21,79 persen.
Sementara itu jika dibandingkan dengan bulan
yang sama tahun 2014 lalu, BPS mengatakan, kinerja impor masih mengalami
penurunan sebesar 18,03 persen di mana pada bulan yang sama di tahun tersebut
tercatat impor sebesar 14,04 miliar dolar AS. Untuk impor non migas pada November
2015 mencapai 9,87 miliar dolar AS atau meningkat 5,60 persen jika
dibandingkan Oktober 2015 yang tercatat sebesar 9,34 miliar dolar AS, namun
demikian masih tercatat turun 6,62 persen jika dibandingkan November 2014.
Sementara itu, impor migas pada bulan yang
sama mencapai 1,64 miliar dolar AS atau turun 6,95 persen jika dibandingkan
bulan Oktober tahun 2015. Demikian pula jika dibandingkan dengan bulan
November 2014, maka tercatat turun sebesar 52,76 persen, yakni 3,47
miliar dolar AS. Secara kumulatif nilai impor Januari-November 2015 (year
to date) sudah mencapai 130,61 miliar dolar AS atau turun 20,24 persen
dibanding periode yang sama tahun 2014. Kumulatif nilai impor terdiri dari
impor migas sebesar 22,82 miliar dolar AS yang turun 43,06 persen dan
nonmigas 107,79 miliar dolar AS yang turun 12,84 persen.
Disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) juga
melansir bahwa neraca perdagangan pada bulan November 2015 tercatat mengalami
defisit sebesar 346,4 juta dolar Amerika Serikat. Ini adalah defisit pertama
kali selama tahun 2015 alias baru terjadi pada bulan November. Sementara untuk
bulan lainnya tercatat masih mengantongi surplus, walaupun surplus yang terjadi
akibat pengempisan kapitalisasi import. Defisit dipicu oleh defisit sektor migas
sebesar 0,06 miliar dolar AS dan nonmigas sebesar 0,29 miliar dolar AS.
Untuk nilai impor pada bulan November 2015 tercatat sebesar 11,51 miliar
dolar AS, sementara ekspor sebesar 11,16 miliar dolar AS.
Jika dilihat dari sisi volume perdagangan, neraca
volume perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar 28,37 juta ton. Hal
tersebut didorong oleh surplus neraca sektor migas sebesar 0,56 juta ton dan
nonmigas sebesar 27,81 juta ton. Dan jika dilihat dari sisi kinerja ekspor
impor berdasarkan negara, untuk wilayah ASEAN, khususnya dengan Thailand,
Indonesia mengantongi defisit sebesar 250,6 juta dolar AS pada November 2015.
Dengan Uni Eropa, defisit hanya terjadi dengan Jerman sebesar 71,4 juta
dolar AS.
Namun, dengan negara utama lainnya, khususnya
Tiongkok, defisit perdagangan mencapai 1,5 miliar dolar AS pada November
2015, sementara sepanjang tahun 2015 hingga bulan yang sama mencapai 14,42
miliar dolar AS. Bahkan menurut BPS, dalam satu bulan saja, defisit dengan
Tiongkok bisa mencapai 1,5 miliar dolar AS. Namun secara kumulatif untuk periode
Januari—November 2015 (year to date), neraca perdagangan Indonesia masih
mengantongi surplus sebesar 7,81 miliar dolar AS dengan nilai ekspor pada
periode yang sama, mencapai 138,42 miliar dolar AS, sementara impor sebesar
130,61 miliar dolar AS.
Dengan kondisi perdagangan yang agak
terseok-seok seperti itu, sangat bisa dipahami jika Bank Dunia masih
mempertahankan proyeksi yang dikeluarkan bulan Oktober 2015 lalu, yakni
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 hanya sebesar 5,3 persen dan pada
tahun ini sebesar 4,7 persen. Proyeksi ini sangat didasari oleh sudut pandang
belanja pemerintah yang masih dianggap akan bisa menjadi sumber pertumbuhan
Indonesia pada tahun 2016, meskipun Indonesia masih akan terombang-ambing
di tengah tingginya tekanan ekonomi global yang bisa menghambat kinerja
ekspor dan aliran investasi.
Bagaimanapun, investasi pemerintah yang lebih
banyak diarahkan untuk membangun infrastruktur, terutama infrastruktur pelayanan
dasar seperti layanan kesehatan dan program bantuan sosial diperkirakan akan
menjadi dasar yang memperkuat proyeksi pertumbuhan ke depan disatu sisi dan
dapat membantu masyarakat miskin dan rentan disisi yang lain. Jika dilihat
dari data kementerian keuangan misalnya, Belanja modal Indonesia akan
meningkat menjadi 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto pada tahun 2016,
dibanding tahun 2015 yang hanya sebesar 2,2 persen. Bahkan salah satu pagu
belanja modal, yakni belanja infrastruktur, mencapai angka Rp313,4 triliun.
Namun demikian, ada yang disayangkan yang akan
menghalangi proyeksi ini, yakni penerimaan negara yang kian seret. Tingginya
belanja modal di tahun 2016 tentu harus diimbangi dengan upaya pemerintah
dalam menggenjot penerimaan, terutama dari sektor pajak. Masalahnya, rencana
pendapatan negara tahun depan yang sebesar Rp1.822 triliun bisa sangat sulit
tercapai karena tekanan ekonomi global dan pelandaian harga komoditas yang
masih menghantui. Jika penerimaan pemerintah pada tahun 2016 tetap lemah,
momentum belanja infrastruktur publik untuk mendorong percepatan
perekonomian nasional justru bisa terancam karena ketidakpastian faktor
pembiayaan akibat seretnya penerimaan.
Lihat saja shortfall tahun
ini, penerimaan pajak juga meleset jauh dari target yang
ditetapkan. Target pajak yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 adalah
sebesar Rp 1.294 triliun. Sampai 22 November, penerimaan baru tercatat
sekitar 828,93 triliun atau 64% dari target. Selisih dana yang harus dikejar
dalam satu bulan mencapai Rp 465 triliun, yang diakui atau tidak, akan sangat
tidak mungkin dicapai dengan rentang waktu yang tersisa.
Mau tak mau, tahun depan pemerintah harus benar-benar
menetapkan skala
prioritas pembiayaan yang sesuai dengan prediksi yang
sesuai pula dengan rencana penerimaan negara. Pembiayaan untuk infrastruktur
utama yang akan menggenjot pertumbuhan harus dikombinasikan dengan
pembiayaan-pembiayaan proyek kesejahteraan sosial yang akan membantu
meningkatkan daya beli masyarakat agar tingkat konsumsi bisa dipertahankan,
bahkan ditingkatkan. Selain itu, pemerintah harus terus mencari terobosan
baru peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak yang terus terancam seret,
baik dengan perluasan diversifikasi komoditas ekspor andalan yang akan
menghasilkan tambahan pajak maupun dengan konsesi-konsesi ekonomi politik
yang akan memperluas basis objek pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar