Punished by Rewards(?)
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 November 2015
PENDIDIKAN dan pengajaran merupakan masalah
sepanjang hayat yang dihadapi setiap manusia, baik dalam kehidupan keluarga maupun
dalam lembaga pendidikan. Ada banyak teori psikologi kependidikan yang
menjelaskan makna hukuman yang diperbolehkan ketika anak-anak melakukan
kesalahan. Ada yang memercayai bahwa memberikan anak hukuman fisik akan
membawa dampak psikis yang tidak ringan bagi seorang anak ketika tumbuh
dewasa. Karena itu, sebaliknya ada juga yang meyakini hukuman tidak boleh
diberikan sama sekali dan cenderung membiarkan anak belajar dengan sendirinya
tentang sebuah kesalahan.
Alfie Kohn dalam Punished by Rewards (1993) ialah penentang proses belajar yang
mengedepankan pentingnya imbalan (rewards). Baginya, imbalan akan tidak
memiliki efek kedisiplinan yang terus-menerus, bahkan akan memperlonggar
ketergantungan seseorang terhadap setiap kesalahan. Meskipun pendapat ini
banyak yang menentang, setidaknya pola pikir Kohn itu menunjukkan jenis
hukuman ataupun imbalan dalam sebuah proses pendidikan karena kedua tindakan
tadi memiliki pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan kejiwaan seorang
anak.
Kohn menyatakan bahwa imbalan hanya dapat
membuat kepatuhan sementara, bukan perubahan mendasar dalam kinerja.
Pasalnya, ketika imbalan habis, orang cenderung kembali ke perilaku lama
mereka. Ini sama halnya dengan kasus atau masalah lainnya, seperti kebiasaan
merokok, menurunkan berat badan, dan menggunakan sabuk pengaman, ketika
diberikan insentif sama sekali tidak mengubah sikap yang mendasari perilaku
mereka serta tidak membuat komitmen abadi untuk setiap nilai atau tindakan.
Artinya, insentif hanya akan mengubah apa yang kita lakukan, tapi bersifat
sementara. “(Kohn, 1993, p 110)
Perspektif Islam
Bagi proses pendidikan, dua pendapat tadi
dalam praktiknya masih terus terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah. Hal
ini menunjukkan betapa pentingnya isu tentang hukuman yang mungkin diberikan
kepada setiap anak sambil tak melupakan bahwa proses belajar anak masih akan
terus berlangsung. Sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia,
Islam tentu saja memiliki pandangan yang menarik tentang isu ini. Misalnya,
dalam sebuah hadis sebagaimana diceritakan Muawiyah bin Salih, ada lelaki
datang menemui Rasulullah Muhammad SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ahli
keluargaku tidak taat kepadaku. Apakah yang patut aku gunakan untuk menghukum
mereka?” Lalu Rasulullah berkata, “Maafkanlah saja”. Kemudian Rasulullah SAW
menyebut hal yang sama kali kedua bahkan juga kali ketiga. Seterusnya
Rasulullah mengatakan, “Jika kamu perlu menghukum, hukumlah mengikuti kadar
kesalahan yang dilakukannya dan jauhilah dari memukul pada bagian muka” (Hadis riwayat at-Tabrani).
Hadis ini jelas menginginkan bahwa proses
pendidikan harus berlangsung tanpa kekerasan, baik fisik maupun lisan. Jika
penggunaan imbalan memiliki dampak yang juga kurang baik dalam jangka
panjang, apalagi penggunaan kekerasan. Itu pasti akan memiliki dampak yang
jauh lebih besar pada pertumbuhan jiwa seorang anak. Menghindari kekerasan
dengan melakukan permaafan jelas merupakan solusi generative dari fitrah kemanusiaan kita yang harus menghargai
tumbuh kembang fisik dan kejiwaan setiap anak.
Berisiko tinggi
Sejalan dengan hadis di atas, Daily Mail edisi
Oktober 2013 pernah menurunkan berita menarik tentang dampak buruk memukul
anak. Para peneliti menemukan bukti bahwa anak-anak yang dipukul orangtua
mereka pada usia 5 tahun cenderung menjadi lebih agresif dan tidak mematuhi
aturan ketika mereka memasuki usia sekolah. Penelitian yang dilakukan Micheal
Mackenzi dari Columbia University juga menemukan bukti bahwa anak yang
dipukul orangtuanya di usia 5 tahun akan lebih nakal dan agresif daripada
ketika dipukul pada usia 3 tahun.
Jelas sekali penggunaan kekerasan dalam proses
pendidikan, di keluarga maupun di sekolah, berisiko tinggi terhadap
agresivitas anak di kemudian hari. Jika kembali kepada hadis di atas, jelas
Nabi meminta umatnya untuk mengedepankan praktik sabar dalam mendidik dan
harus sesering mungkin mengenalkan kata maaf kepada anak-anak kita. Kalaupun
harus mengingatkan mereka dengan cara memukulnya, lakukan itu secara perlahan
dan sambil bercanda, tidak memukul wajah atau muka anak, serta tidak
memperlakukan anak-anak di depan orang lain atau teman-teman sekolahnya.
Mungkin ada baiknya kita harus senantiasa
waspada bahwa problem kekerasan terhadap anak, baik di rumah tangga maupun
sekolah, seolah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Modus
kekerasan terhadap anak sangat beragam, mulai problem psikologis orangtua
hingga kerusakan struktural masyarakat karena hilangnya rasa saling memiliki.
Pendek kata, bisa jadi kekerasan terhadap anak saat ini sudah menjadi epidemi
keempat setelah kemiskinan, kekurangan gizi, serta rendahnya kesempatan
belajar anak. Seperti kita ketahui, saat ini lebih dari 200 juta anak di
bawah usia 5 tahun di negara berkembang berisiko tidak mencapai potensi penuh
pembangunan mereka karena menderita konsekuensi negatif dari kemiskinan,
kekurangan gizi, dan kesempatan belajar yang tidak memadai (Lancet 2007).
Apakah kita akan menambahkannya dengan praktik kekerasan?
Selain itu, 165 juta anak-anak (satu dari
empat) yang terhambat, dengan 90% dari anak-anak, ialah mereka yang tinggal
di Afrika dan Asia (UNICEF et al, 2012). Jika data kematian anak diakumulasi
secara acak, dalam 6 juta kematian anak per tahun, itu ialah anak-anak yang
belum mencapai usia 5 tahun. Tragedi kemanusiaan ini harus segera dihentikan.
Jika kekerasan seperti ini ikut menyumbang angka kematian anak seperti
beberapa kasus terakhir yang terjadi di Indonesia, sudah saatnya negara,
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membuat strategi pembelajaran
berbentuk mass-education dalam
rangka menekan dan mengurangi angka kematian anak, terutama kematian yang
disebabkan kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar