Pola Acak Komunikasi Politik
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 28 Desember 2015
Salah satu penanda proses politik yang riuh rendah sepanjang
2015 adalah pola acak dalam komunikasi politik. Politisi yang bertarung tak
selalu ajek dalam posisi politiknya, melainkan berubahubah seiring konteks
kepentingan politik yang mereka miliki.
Karena itu, kita melihat meski di atas kertas ada polarisasi
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), sejatinya dalam
praktik politik sangat cair, dinamis, dan mengedepankan politik konsensus.
Beragam peristiwa politik yang hadir sepanjang tahun ini menjadi bukti peran
signifikan komunikasi politik dalam mengatasi kebuntuan hubungan.
Hubungan Semu
Realitas politik menggambarkan bahwa hubungan kekuasaan belum
atau mungkin tak lagi dipandu oleh pilihan ideologis. Dalam keacakan beragam
peristiwa politik, proses komunikasi politiknya lebih dominan mengarah ke
lobi dan transaksi. Di panggung politik kekinian, Jokowi-JK pun berkutat
dengan beragam tekanan yang harus diselesaikan lewat komunikasi antarpribadi
dan lobi yang intens.
Pertama, pola hubungan DPR dengan pemerintah yang mengalami
dialektika relasional. Awal tahun ini, kita mencatat tesis Juanz Linz dalam
tulisannya, The Failure of Presidential
Democracy: Comparative Perspectives (1994), bahwa sistem presidensial
memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis akibat minimnya konsultasi dua
lembaga, tidak sepenuhnya tepat.
Lizn percaya akan ada dual legitimacy karena eksekutif dan
legislatif yang merasa pilihan rakyat samasama merasa berhak menentukan arah
kebijakan nasional sehingga memunculkan ancaman disintegrasi, terutama saat
dua lembaga ini berbeda orientasinya. Dalam perspektif Linz, sistem
pemerintahan Indonesia bisa dikategorikan sebagai presidensialisme dengan
sistem multipartai yang terfragmentasi kuat (a highly fragmented multiparty system) dan ini dipandang sebagai
kombinasi rumit yang diprediksi mengalami kebuntuan politik.
Di awal perjalanan Jokowi-JK dan saat terjadi perebutan
kekuasaan alat kelengkapan dewan yang dipicu oleh perubahan UU MD3, tesis
kebuntuan politik hampir nyata adanya. Terutama, saat mengemukanya istilah
pemerintahan yang terbelah. Hanya, situasiinitakberlangsung lama, ketika
muncul inisiatif dari politisi untuk mengambil pola lama yang dikembangkan
hampir semua presiden pascareformasi yakni model konsensus di tengah pola
acak yang terjadi.
Jokowi mengakomodasi tekanan partai penyokong utama kekuasaan
yakni PDIP dengan melakukan reshuffle pertama di beberapa pos dan mendepak
beberapaorangyangtidakterlalu kuat back up politiknya untuk memuluskan langkah
konsensus. Tak berhenti di situ, komunikasi dua tahap pun dijalankan Jokowi
dengan hampir semua kekuatan nyata di DPR lewat pengendalian orang-orang
kunci yang bisa mengubah konfigurasi kekuatan di DPR.
Jokowi membangun kerja public relations politik dan persuasif
memasukan PAN ke dalam gerbong partai-partai pendukung kekuasaan. Gayung
bersambut, PAN pun menerima dan mendeklarasikan secara simbolik dukungannya
kepada pemerintah di Istana. Tapi, “tak ada makan siangyanggratis!”
Keberlanjutan dukungan PAN pun akan sangat dipengaruhi konsesi politik dari
pihak Jokowi.
Akankah reshuffle kabinet kedua berlangsung segera untuk
mengakomodasi PAN dalam kekuasaan? Perubahan peta sepanjang 2015 pun sangat
dipengaruhi oleh konflik internal yang dialami partai-partai di luar
kekuasaan misalnya yang terjadi di Partai Golkar dan PPP. Hingga sekarang dua
partai tersebut belum mencapai rekonsiliasi yang utuh. Variabel ini pun
menjadi bacaan penting untuk melihat pola acak yang terjadi di jagat politik
nasional.
Sangat mungkin, awal 2016 akan ada kejutan perubahan kongsi
politik di antara partaipartai setelah melalui fase turbulensi tahun ini.
Tentu, memiliki efek domino pada pola hubungan kuasa antara Jokowi-JK dan
eksekutif yang dipimpinnya dengan legislatif yang saat ini berada di titik
nadir akibat kisruh persoalan etika dan pertarungan politik di MKD yang
meniscayakan Ketua DPR Setya Novanto mengundurkan diri.
Kedua, pola acak juga terjadi dalam penyelenggaraan demokrasi
elektoral di daerah. Pilkada serentak di 265 daerah dari 269 yang
direncanakan memperlihatkan koalisi partai politik di level nasional tidak
berimbas pada peta kekuatan di daerahdaerah. Tak ada koalisi permanen, yang
ada kongsi politik pragmatis. Tak ada KIH dan KMP di pilkada, pun demikian tak
ada basis ideologi maupun kongsi berdasarkan platform partai, yang ada adalah
pendekatan struktur peluang.
Basis struktur peluang itu selalu tiga variabel dominan yakni
probabilitas perolehan suara dari paket yang didorong, biaya pertarungan (cost of entry) yang akan ditanggung
siapa, dan skema keuntungan kekuasaan (benefit
of office).
Realitas tersebut meneguhkan bahwa di satu sisi keacakan pola
membuat hubungan-hubungan politik tidak buntu, tetapi juga di sisi lain
berpotensi kuatnya pragmatisme berbasis politik transaksional. Hubungan untuk
tidak saling menegasikan, melainkan saling merangkul dan mengakomodasi bisa
juga semakin meneguhkan hubungan semu, palsu, artifisial, dan saling
menelikung!
Mengelola
Hubungan
Beragam pertarungan yang mengemuka sepanjang 2015 dikhawatirkan
berimbas pada rakyat di tengah the clash of the titans. Misalnya, makin
mulusnya revisi UU KPK yang tidak bermotif penguatan, melainkan pelemahan.
Diusungnya para komisioner KPK oleh politisi Senayan yang tidak
terlalu memuaskan publik sehingga melemahkan dukungan arus bawah pada
institusi ini. Tetap diakomodasinya dana aspirasi, anggaran gedung baru DPR,
dan lain-lain hasil negosiasi untuk memuluskan pengesahan APBN 2016. Pun
demikian dengan reshuffle kabinet. Sejatinya, alasan terjadi perombakan
adalah perbaikan kinerja dan performa kabinet.
Karena itu, standar yang digunakan seharusnya indeks performa
kinerja para menteri yang harus dipantau oleh Jokowi selaku pemilik hak
prerogatif. Keliru jika perombakan sekadar memuaskan para pemburu kekuasaan,
terutama untuk memberi kursi pada para “pedagang” yang datang kemudian. Tak
salah jika pemerintah berupaya mencari titik keseimbangan politik dengan
mengelola hubungan. Tetapi, sejarah membuktikan koalisi besar partai politik
dalam kekuasaan pun belum menjamin tak ada gangguan dari mereka yang diberi
jatah di pemerintahan.
Banyak partai yang berjalan dengan rasionalitas dan
kepentingannya sendiri-sendiri sehingga tak merasa punya tanggung jawab moral
dan organisasional untuk loyal serta berkhidmat pada rakyat melalui kejelasan
posisi politiknya. Kekuasaan memang selalu memberi pilihan dilematis antara
mengelola keseimbangan politik berbasis zona nyaman elite dan mengelola
hubungan dengan poros utama kerja untuk rakyat.
Akar kekuasaan bagaimanapun bersumber dari mandat rakyat. Karena
itu, jangan sampai mengelola hubungan di tengah keacakan pola hubungan
membuat penguasa abai pada ikrarnya yakni bekerja untuk rakyat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar