Penanganan Ujaran Kebencian
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The Political
Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 28 November 2015
Operasionalisasi
penanganan ujaran kebencian masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Hal
tersebut menarik minat akademisi komunikasi dan sejumlah insan media untuk
memperbincangkan topik ini dalam Seminar Program Pascasarjana Komunikasi
Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta dengan topik ”Hate Speech, Kenapa
Diributkan?”, Sabtu (21/11).
Sebagai salah seorang
narasumber, penulis bersama-sama pihak Mabes Polri, wakil Kementrian Kominfo,
dan akademisi beragam kampus menyoroti (ulang) urgensi Surat Edaran Kapolri
No SE/06/X/2015. Meski isu ini mulai menepi dalam bingkai pemberitaan, secara
akademis sangat penting dan relevan kita telaah kembali makna, konteks, dan
kritik seputar surat edaran ini. Tujuannya agar penanganan ujaran kebencian
yang memang penting ini tidak dimaknai secara salah kaprah, terutama saat
diletakkan dalam bingkai hukum dan demokrasi.
Konteks Penanganan
Menyikapi surat edaran
soal penanganan ujaran kebencian ini, harus dipahami dulu tiga konteks
penting. Pertama, Indonesia menganut sistem demokrasi. Oleh karenanya,
kebebasan berpendapat harus diposisikan sebagai hal esensial, fundamental dan
konstitusional dalam demokrasi. Universal
Declaration of Human Right, pada Sidang PBB 10 Desember 1948, menjamin
kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Landasan
konstitusional di UUD 1945 Pasal 28 berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.” Jaminan tentang kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum pun secara khusus telah dilindungi melalui UU No 9
Tahun 1998.
Dalam Pasal 1 UU
tersebut eksplisit dinyatakan, ”Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak
setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan
sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.” Meski kebebasan dilindungi, pemanfaatan
kebebasan harus bertanggung jawab dan menghormati hukum, etika, serta
keadaban publik.
Dengan demikian
kebebasan tidak berjalan serampangan dan melahirkan kekacauan sosial. Dalam
konteks inilah upaya untuk menangani ujaran kebencian oleh Polri masih bisa
dipahami. Kedua, konteks hukum. Sesungguhnya kalau kita tempatkan secara
proporsional di ranah hukum, surat edaran Kapolri ini pada dasarnya adalah
petunjuk dan panduan bagi kepolisian di lapangan ketika terjadi dugaan ujaran
kebencian.
Oleh karenanya surat
edaran ini berlaku internal, dengan tujuan memberi tahu anggota Polri hingga
satuan wilayah agar memahami langkah-langkah penanganan perbuatan ujaran
kebencian. Oleh karena itu, surat edaran bukan peraturan perundangan-undangan
(regeling), bukan pula keputusan
tata usaha negara (beschikking),
melainkan peraturan kebijakan (beleidsregel).
Jauh sebelum surat
edaran ini muncul, sesungguhnya ketentuan soal larangan berujar kebencian
sebenarnya telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Misalnya
saja dalam UU No 1 Tahun 1946 tentang KUHP, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM,
UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, UU No 40
Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial serta Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2013
tentang Teknik Penanganan Konflik Sosial.
Oleh karenanya, ada
atau tidaknya surat edaran sesungguhnya tidak berpengaruh pada penanganan
ujaran kebencian ini karena perangkat hukum yang bisa dipakai sudah banyak
tersedia. Ketiga, konteks politik. Surat edaran ini menjadi sangat politis
karena terpublikasi luas ke masyarakat, padahal maksud awalnya untuk
membangun kesepahaman di lingkup internal Polri saja.
Masyarakat kita punya
pengalaman buruk soal peran negara yang eksesif dalam membatasi kebebasan,
terutama saat Orde Baru. Pelibatan komponen repressive stateapparatus (RSA)
dan ideological state apparatus (ISA) membungkam kritisisme publik selama
kurang lebih 32 tahun.
Karena itu, ketika
muncul surat edaran ini, wajar ada yang curiga dan khawatir bisa memunculkan
”penunggang gelap” yang dapat memanfaatkan celah penafsiran hukum atas
perangkat aturan untuk kepentingan politik. Praktik abuse of power sering
dilakukan oleh kelompok yang memiliki akses ke kekuasaan. Meskipun untuk
konteks kekinian, kekhawatiran semacam ini rasanya berlebihan.
Kritik Substansi
Ada tiga persoalan
substansial yang harus dikritik dari surat edaran Polri soal ujaran kebencian
ini. Pertama, belum ada konsensus yang ajek soal pendefinisian ujaran
kebencian (hate speech) itu
sendiri. Pada No 2 huruf (f) SE/6/X/ 2015 disebutkan bahwa ”ujaran kebencian
dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan ketentuan lainnya di luar KUHP”.
Bentuk ujaran
kebencian terdiri atas tujuh hal, yakni penghinaan, pencemaran nama baik,
penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan
menyebarkan berita bohong. Dalam literatur akademis, misalnya di buku Kent
Greenawalt, Fighting Words:
Individuals, Communities, and Liberties of Speech (1996), didefinisikan
bahwa ujaran kebencian adalah ucapan dan atau tulisan yang dibuat seseorang
di muka umum untuk tujuan menyebar atau menyulut kebencian sebuah kelompok
terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama keyakinan, gender,
etnisitas, kecacatan, dan orientasi seksual.
Jika menggunakan
definisi hate speech dari Greenawalt tersebut, ada masalah ketika memasukkan
bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, karena
bentuk-bentuk tersebut bersifat individual subjeknya. Sementara ciri utama
ujaran kebencian adalah menyebar dan menyulut kebencian kelompok terhadap
kelompok lainnya.
Kedua, salah satu
bentuk ujaran kebencian dalam surat edaran masih menggunakan frase yang
secara hukum sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan
sebagian permohonan uji materi Pasal 335 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 tentang
KUHP mengenai delik perbuatan tidak menyenangkan. Frase perbuatan tidak
menyenangkan dibatalkan MK atas permohonan uji materi yang diajukan Oei
Alimin Sukamto Wijaya, warga Surabaya yang sempat ditahan Agustus 2012 dengan
menggunakan pasal tersebut.
Yang mengherankan,
kenapa surat edaran Polri masih memasukan frase perbuatan tidak menyenangkan
dalam bentuk ujaran kebencian? Surat edaran seharusnya taat pada aturan yang
lebih tinggi dalam hal ini UU. Ketiga, surat edaran di bagian huruf (h)
menyebutkan secara eksplisit media massa cetak maupun elektronik sebagai
salah satu media yang mungkin dipakai dalam ujaran kebencian selain orasi,
spanduk atau banner, media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, dan
pamflet.
Namun surat edaran
tersebut tak mencantumkan rujukan UU yang berhubungan dengan media massa
seperti UU No 40 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2002 soal penyiaran. Wajar
jika Dewan Pers dan insan media curiga surat edaran ini bisa menjadi ancaman.
Ujaran kebencian memang harus ditangani agar kebebasan tidak kebablasan.
Tapi jangan sampai
memunculkan permasalahan baru, yakni ketidakjelasan batasan ujaran kebencian
yang dimaksud, sehingga rawan dimanfaatkan siapa pun yang tidak menyukai
adanya kebebasan itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar