Pelajaran dari Donald Trump
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif MAARIF Institute;
Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah
|
KOMPAS,
29 Desember 2015
Masyarakat Muslim kini dilanda ”fitnah besar”. Ia menjadi
pesakitan, bahan propaganda politik murahan hingga sasaran ocehan kebencian.
Proposal bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald
Trump, untuk melarang pemeluk Islam memasuki Amerika Serikat mencerminkan
masih mengakarnya mentalitas Islam-fobia yang menihilkan Islam. Sosok
kontroversial yang pernah ditemui Ketua DPR Setya Novanto ini menyebut Muslim
sebagai sumber ketakutan yang menghantui warga AS. Mantan Perdana Menteri
Australia Tony Abbott pun menilai Islam tidak menjalani reformasi versinya
sendiri dan tidak menerima pluralisme. Ia menyerukan superioritas budaya
Barat di atas budaya yang menjustifikasi pembunuhan atas nama agama. Pesannya
jelas: Islam tidak bisa duduk setara dengan Barat.
Mengerasnya gerakan Islam- fobia dan meluasnya pengaruh
pandangan-pandangan yang mendiskreditkan identitas Muslim dalam wacana
politik kewargaan di Barat telah menimpakan beban ganda kepada masyarakat
Muslim belakangan ini. Namun, wajah dunia Barat tidaklah tunggal. ”Sebagai
seorang Yahudi, orangtua saya selalu mengajarkan untuk membela serangan
terhadap semua komunitas. Jika Anda seorang Muslim dalam komunitas ini,
sebagai pemimpin dari Facebook saya ingin Anda tahu bahwa Anda selalu
diterima di sini (Amerika) dan kami akan berjuang untuk melindungi hak-hak
Anda,” ungkap Mark Zuckerberg di dinding Facebook- nya merespons Trump.
Bakal calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton,
menyebut Trump sebagai sosok paranoid dengan gagasan memalukan sekaligus
membahayakan. Provokasi Trump dikhawatirkan menyulut lebih besar lagi api
kebencian kaum teroris atas AS.
Hillary menyuruh kandidat kuat calon presiden dari partai
pesaingnya itu membaca ulang surat Presiden Washington tahun 1790 untuk
komunitas Yahudi di Pulau Rhode. Sang presiden menjamin bahwa negara Amerika
Serikat akan selalu melindungi kebebasan beragama mereka. Mantan Menteri Luar
Negeri AS ini menegaskan, komunitas Muslim AS adalah bagian dari ”keluarga
kita” yang telah menunjukkan nilai-nilai patriotik warisan para pendiri
bangsa Amerika.
”Tidak ada keraguan pikiran pemilik Tower Trump itu salah dan
sama sekali tidak menolong,” kritik Perdana Menteri Inggris David Cameron.
Bermunculan petisi daring menolak Trump di beberapa negara, memperlihatkan
solidaritas global terhadap masyarakat Muslim.
Beban ganda
Benang kusut konflik di Timur Tengah, gelombang kekerasan dan
bom bunuh diri di Afrika dan Asia Selatan, serta teror yang membayangi Eropa
dan Amerika berakumulasi jadi ”fitnah besar”, yang dalam pengalaman sejarah
Islam telah menuntun pada urgensinya kesinambungan dan keberlanjutan
pembaruan Islam. Bagi Abdou Filali-Ansary dalam Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana (Mizan, 2009),
bagian terbesar sejarah masyarakat Muslim mencerminkan situasi sintesis khas
zaman pramodern. Kelahiran dan ekspansi komunitas Muslim telah dan akan
selalu berlangsung dalam konteks yang dicirikan dengan
konfrontasi-konfrontasi internal. Ia menggambarkannya sebagai fitnah besar.
Periode ini sudah berlangsung beberapa abad, pasca-Nabi Muhammad hingga
kemunculan modernitas sebagai kelanjutan invasi kolonialisme Eropa.
Abdou menyebut paling tidak masyarakat Muslim telah menghadapi
dua fitnah besar. Pertama, perubahan sistem kepemimpinan pasca-Nabi Muhammad
dari sistem khilafah yang bertumpu pada pemilihan di antara sahabat Nabi
telah dihapuskan oleh sistem politik atas dasar monarki. Perubahan ini
dinilai sebagai bentuk pemerkosaan terhadap cita-cita Islam. Kedua,
intervensi kekuatan Eropa pada abad ke-19 ke dalam masyarakat Muslim sehingga
menimbulkan guncangan radikal. Sistem politik dan tatanan sosial tradisional
masyarakat Muslim rontok, tak mampu menghadapi transformasi fundamental yang
diperkenalkan kekuasaan kolonial.
Gerakan pembaruan Islam pada abad IX-XX merupakan respons
terhadap krisis saat itu. Tantangan ini memaksa masyarakat Muslim untuk
mempertanyakan ulang sintesis-sintesis yang mendasari konsep dan sikap mereka
selama ratusan tahun.
Menjamurnya kelompok-kelompok takfiri-ekstrem yang menonjolkan
cara-cara teror dan kekerasan dengan membajak atribusi Islam di awal abad ke-21
merupakan fitnah besar berikutnya. Sebut saja Al Qaeda, Jemaah Islamiyah,
Taliban, NIIS, Boko Haram, dan pelbagai ormas keagamaan yang tidak
berkarakter sipil. Mereka memproduksi kebrutalan yang sangat berlawanan
dengan risalah Islam.
Fenomena inilah yang ditanyakan kepada Buya Syafii dalam satu
diskusi terbatas yang difasilitasi RAND, lembaga think tank berbasis di AS.
Perlu diingat, ada peran dan tanggung jawab AS di balik kelahiran
gerakan-gerakan teror itu. Inilah jawaban lugas mantan Ketua PP Muhammadiyah
ini. Akarnya bukan semata-mata adanya kesalahan di tubuh masyarakat Muslim,
melainkan juga dampak dari kebijakan-kebijakan politik Barat yang timpang dan
berwatak imperialistis.
Sikap fobia dan kebencian terhadap Islam memicu kontraksi bahkan
konfrontasi yang menimbulkan konflik, instabilitas, dan ketidakamanan. Ini
berlaku bagi semua agama, sistem keyakinan, dan aliran keagamaan yang
diperlakukan tak adil. Dalam posisi di buritan peradaban di tengah persaingan
antarkekuatan global, tak mudah bagi masyarakat Muslim mencapai keseimbangan
titik-titik sintesis sebagai jawaban atas deraan fitnah (ujian) besar yang
kini dihadapinya.
Perspektif yang mengeksklusi eksistensi satu kelompok keyakinan
dari prinsip-prinsip kewargaan seperti nalar Trump telah terbukti
berkontribusi terhadap proses represi, alienasi sosial, dan peminggiran
politik. Anarkisme dan ekstremisme salah satu muaranya. Pada titik inilah
masyarakat Muslim memikul dua beban mahaberat yang mengimpitnya secara
bersamaan dari dua arah: internal dan eksternal.
Beban pertama kehadiran kelompok-kelompok takfiri dan
ekstremisme yang tumbuh dari rahim masyarakat Muslim. Memakai bahasa Khaled
Abou El Fadl, kelompok Muslim arus utama harus merebut Islam dari kelompok
ekstremis. Kita akan dengan mudah menemukan kelompok-kelompok sipil dan
keagamaan yang menganut pandangan satu kluster dengan ”ideologi Trump”
(Trump-isme). Mereka mudah memvonis sesat setiap kelompok yang berbeda.
Menjadi Muslim tidak seperti keyakinannya dianggap menyimpang. Sikap seperti
ini sangat rentan memancing aksi inkuisisi dan persekusi tatkala disulut
agitasi politik, krisis sosial, dan perebutan ekonomi. Benih-benih semacam
inilah yang menyuburkan tumbuhnya ideologi NIIS, Boko Haram, dan Talibanisme
melampaui batas-batas ruang di mana ideologi itu lahir.
Organisasi-organisasi Islam arus utama perlu bekerja keras
menyingkirkan kondisi-kondisi dan justifikasi keagamaan atas pola pikir dan
perilaku paranoid dan gampang menyesatkan orang lain. Saat masyarakat Muslim
Indonesia ramai-ramai menolak kegilaan Trump seperti disuarakan Muhammadiyah
dan NU, kedua ormas moderat ini mesti pula memastikan di lingkungannya tak
ada orang-orang yang bernalar Trump-isme.
Keberadaan kelompok-kelompok fobia dan anti-Islam di Barat
merupakan beban kedua. Gelombang anti-Islam ini, terutama pasca-Peristiwa 11
September 2001, disokong beragam kalangan, mulai dari intelektual, politisi,
pengusaha, tokoh agama, hingga aktivis. Aksi teror Paris yang dihubungkan
dengan jaringan NIIS telah mengobarkan gerakan anti- imigran dan anti-Islam
di daratan Eropa di tengah membanjirnya ratusan ribu pengungsi dari
negara-negara Timur Tengah.
Pemimpin politik di Polandia dan Ceko mendukung gerakan PEGIDA,
organisasi anti-Islam yang berbasis di Jerman. Tokoh politik Perancis, Marine
Le Pen, mengingatkan negaranya sudah tidak lagi aman. Di AS, anggota Kongres
dari Partai Republik, Candice Miller, menginisiasi draf undang-undang guna
merevisi UU Imigrasi dan Kewarganegaraan Amerika. Menurut Hamid Dabashi dari
Universitas Columbia, jika draf Miller lolos, penduduk Amerika keturunan
Arab, Iran, dan yang beragama Islam akan menjadi warga kelas dua
(Aljazeera.com, 9/12).
Relasi
Barat-Islam
Dinamika relasi Barat dan Islam di Amerika dan Eropa akan sangat
berpengaruh terhadap persepsi dan sikap masyarakat Muslim di luar dua benua
tersebut. Begitu pula sebaliknya, hubungan Islam dan non-Islam di
negara-negara berpenduduk Muslim akan menentukan pandangan Barat terhadap
Islam.
Dalam banyak kesempatan diskusi lintas agama, penulis mengatakan
penting sekali perjuangan Muslim arus utama didukung oleh kelompok-kelompok
non-Muslim yang sevisi (inklusif dan nondiskriminatif).
Sering kali kegagalan usaha- usaha dialog dan pembaruan yang
dilakukan kalangan Muslim arus utama di internal masyarakatnya berkorelasi
dengan faktor agresivitas, kesalahpahaman, bahkan kebencian para
aktor/kelompok di pihak non-Muslim.
Pandangan Trump tidaklah mewakili Kristen dan Amerika. Namun,
menjelaskan hal ini kepada masyarakat Muslim dunia yang sangat heterogen
bukan perkara gampang, sebagaimana sulitnya menjernihkan wajah Islam di mata
masyarakat Barat dari citra NIIS dan Boko Haram. Kejujuran dan keseriusan
dari kedua pihak adalah kuncinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar