Kamis, 17 Desember 2015

Pekerja Seks (Seharusnya) Bukan Korban

Pekerja Seks (Seharusnya) Bukan Korban

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
                                                    JAWA POS, 16 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKAL sehat terasa jungkir balik pasca penetapan status korban oleh kepolisian terhadap artis yang ditangkap dalam kasus prostitusi online. Polisi mendasarkan penetapan itu pada Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

Memang di Indonesia, sebagaimana tecermin dalam UU TPPO, pelacuran dianggap sebagai bentuk perdagangan orang. Konvensi PBB 1949 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi mewarnai posisi UU tersebut. Intinya, perdagangan orang dan salah satu bentuknya, yakni prostitusi, dipandang sebagai praktik eksploitasi.

Tapi, hari ini UU TPPO terasa tak lagi sesuai dengan realitas. Sebelumnya perlu diketahui, terdapat dua klasifikasi pelacur sebagaimana diangkat pada The 1995 Platform of Action from the Beijing World Conference on Women. Yakni forced (involuntary) prostitution dan voluntary prostitution.

Tipe pertama adalah lelaki maupun perempuan yang terjerumus ke dalam dunia prostitusi karena tereksploitasi. Mereka tidak kuasa menghindari situasi tereksploitasi tersebut, betapapun mereka ingin keluar dari situ. Pelacur seperti itu tepat disebut sebagai budak seks.

Tipe kedua adalah orang-orang yang secara sengaja menggeluti dunia prostitusi sebagai sumber penghasilan. Ada kalkulasi pragmatis yang membuat mereka sama sekali tidak mengerahkan keberdayaan mereka untuk menghindari dunia pelacuran. Bahkan malah terus menggeluti dan melakukan ekspansi bisnis esek-esek tersebut.

Sebutan pekerja seks hanya tepat dikenakan kepada pelacur tipe kedua, bukan tipe pertama. Pelacur yang termasuk dalam golongan pekerja seks bertolak belakang dengan asumsi UU TPPO bahwa pelacuran adalah identik dengan perdagangan orang. Perdagangan orang, serupa dengan budak seks, berciri eksploitasi. Sedangkan pekerja seks –sekali lagi– nihil dari unsur eksploitasi.

Klasifikasi itu memberikan dasar bagi otoritas terkait untuk mengenakan penindakan yang berbeda satu sama lain, menyesuaikan dengan tipe pelacur yang tengah mereka tangani. Pelacur bertipe pekerja seks sudah sepantasnya dipidana, seperti yang juga dikenakan terhadap mucikari dan konsumen. Dengan kata lain, terhadap prostitusi semacam itu, diberlakukan kriminalisasi total.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, perlu dilakukan revisi terhadap UU TPPO. Dua poin yang menjadi fokus perubahan adalah, pertama, sebutan eksploitasi tidak diterapkan terhadap semua bentuk prostitusi. Hanya budak seks yang disetarakan sebagai eksploitasi sehingga pantas masuk dalam UU TPPO.

Kedua, karena pekerja seks bukan korban, mereka tidak berhak memperoleh restitusi. Sebaliknya, hanya budak seks yang berhak atas restitusi. Bahkan, apabila menjadi budak seks merupakan akibat kesalahan sistemik penguasa (pemerintah), patut diwacanakan upaya pemberian kompensasi oleh negara sebagai bentuk pemulihan kemanusiaan para orang malang tersebut
Revisi UU dipastikan memakan waktu tidak sebentar. Sanksi pidana pun, harus diakui, kerap tidak memunculkan efek jera. Atas liputan masif tentang artispelacur online, sebagaimana warta-warta kemesuman di dunia selebriti lainnya, saat ini bisa saja publik meresponsnya dengan geleng-geleng kepala. 
Namun, tak berselang lama, berita yang sama justru secara ajaib menjadi mesin pelontar popularitas yang bersangkutan. Respons berubah menjadi angguk-angguk kepala.

Tapi, tidak boleh ada bendera putih yang dikibarkan untuk melawan pekerja seks, mucikari, dan konsumen pelacuran. Ganjaran sosial adalah cara tercepat untuk menutupi kelambanan dan kelemahan proses pemidanaan.

Media sesungguhnya punya posisi strategis untuk berperan sebagai mesin 
sanksi sosial itu. Pasal 42 poin 5 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebenarnya sudah menjadi pintu masuk yang memadai, walau belum ideal. Poin tersebut berbunyi bahwa lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat pembenaran bagi berlangsungnya hubungan seks di luar nikah.

Bertitik tolak dari poin tersebut, seluruh media sepantasnya bersepakat tidak mengekspos artis-artis (dan siapa pun) yang kedapatan melakukan tindak pelacuran, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Kecuali apabila ekspose dilakukan dengan pesan inti terus-menerus mengingatkan pemirsa akan kelakuan buruk si artis sembari menggarisbawahi kelakuan tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki ruang pembenaran sama sekali.

Pemberhentian ekspose ataupun muatan ekspose sedemikian rupa diharapkan akan menimbulkan efek jera terhadap si artis sekaligus edukasi bagi audiens. Agar lebih kuat, kesepakatan semacam itu patut dituangkan secara tertulis dalam P3SPS. Semakin ideal jika poin tersebut juga dicantumkan pada peraturan perundang-undangan terkait penyiaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar