Pekerja Seks (Seharusnya) Bukan Korban
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University
of Melbourne
|
JAWA
POS, 16 Desember 2015
AKAL sehat terasa jungkir balik pasca penetapan status
korban oleh kepolisian terhadap artis yang ditangkap dalam kasus prostitusi
online. Polisi mendasarkan penetapan itu pada Undang-Undang Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UU TPPO).
Memang di Indonesia, sebagaimana tecermin dalam UU TPPO,
pelacuran dianggap sebagai bentuk perdagangan orang. Konvensi PBB 1949
tentang Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi mewarnai
posisi UU tersebut. Intinya, perdagangan orang dan salah satu bentuknya,
yakni prostitusi, dipandang sebagai praktik eksploitasi.
Tapi, hari ini UU TPPO terasa tak lagi sesuai dengan
realitas. Sebelumnya perlu diketahui, terdapat dua klasifikasi pelacur
sebagaimana diangkat pada The 1995
Platform of Action from the Beijing World Conference on Women. Yakni
forced (involuntary) prostitution
dan voluntary prostitution.
Tipe pertama adalah lelaki maupun perempuan yang
terjerumus ke dalam dunia prostitusi karena tereksploitasi. Mereka tidak
kuasa menghindari situasi tereksploitasi tersebut, betapapun mereka ingin
keluar dari situ. Pelacur seperti itu tepat disebut sebagai budak seks.
Tipe kedua adalah orang-orang yang secara sengaja
menggeluti dunia prostitusi sebagai sumber penghasilan. Ada kalkulasi
pragmatis yang membuat mereka sama sekali tidak mengerahkan keberdayaan
mereka untuk menghindari dunia pelacuran. Bahkan malah terus menggeluti dan
melakukan ekspansi bisnis esek-esek tersebut.
Sebutan pekerja seks hanya tepat dikenakan kepada pelacur
tipe kedua, bukan tipe pertama. Pelacur yang termasuk dalam golongan pekerja
seks bertolak belakang dengan asumsi UU TPPO bahwa pelacuran adalah identik
dengan perdagangan orang. Perdagangan orang, serupa dengan budak seks,
berciri eksploitasi. Sedangkan pekerja seks –sekali lagi– nihil dari unsur
eksploitasi.
Klasifikasi itu memberikan dasar bagi otoritas terkait
untuk mengenakan penindakan yang berbeda satu sama lain, menyesuaikan dengan
tipe pelacur yang tengah mereka tangani. Pelacur
bertipe pekerja seks sudah sepantasnya dipidana, seperti yang juga dikenakan
terhadap mucikari dan konsumen. Dengan kata lain, terhadap prostitusi semacam
itu, diberlakukan kriminalisasi total.
Untuk merealisasikan gagasan tersebut, perlu dilakukan
revisi terhadap UU TPPO. Dua poin yang menjadi fokus perubahan adalah,
pertama, sebutan eksploitasi tidak diterapkan terhadap semua bentuk
prostitusi. Hanya budak seks yang disetarakan sebagai eksploitasi sehingga
pantas masuk dalam UU TPPO.
Kedua, karena pekerja seks bukan korban, mereka tidak
berhak memperoleh restitusi. Sebaliknya, hanya budak seks yang berhak atas
restitusi. Bahkan, apabila menjadi budak seks merupakan akibat kesalahan
sistemik penguasa (pemerintah), patut diwacanakan upaya pemberian kompensasi
oleh negara sebagai bentuk pemulihan kemanusiaan para orang malang tersebut
Revisi UU dipastikan memakan waktu tidak sebentar. Sanksi
pidana pun, harus diakui, kerap tidak memunculkan efek jera. Atas liputan
masif tentang artispelacur online, sebagaimana warta-warta kemesuman di dunia
selebriti lainnya, saat ini bisa saja publik meresponsnya dengan
geleng-geleng kepala.
Namun, tak berselang lama, berita yang sama justru
secara ajaib menjadi mesin pelontar popularitas yang bersangkutan. Respons
berubah menjadi angguk-angguk kepala.
Tapi, tidak boleh ada bendera putih yang dikibarkan untuk
melawan pekerja seks, mucikari, dan konsumen pelacuran. Ganjaran sosial
adalah cara tercepat untuk menutupi kelambanan dan kelemahan proses
pemidanaan.
Media sesungguhnya punya posisi strategis untuk berperan
sebagai mesin
sanksi sosial itu. Pasal 42 poin 5 Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebenarnya sudah menjadi pintu masuk yang
memadai, walau belum ideal. Poin tersebut berbunyi bahwa lembaga penyiaran
dilarang menyajikan program yang memuat pembenaran bagi berlangsungnya
hubungan seks di luar nikah.
Bertitik tolak dari poin tersebut, seluruh media
sepantasnya bersepakat tidak mengekspos artis-artis (dan siapa pun) yang
kedapatan melakukan tindak pelacuran, setidaknya untuk jangka waktu tertentu.
Kecuali apabila ekspose dilakukan dengan pesan inti terus-menerus
mengingatkan pemirsa akan kelakuan buruk si artis sembari menggarisbawahi
kelakuan tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki ruang pembenaran sama
sekali.
Pemberhentian ekspose ataupun muatan ekspose sedemikian
rupa diharapkan akan menimbulkan efek jera terhadap si artis sekaligus
edukasi bagi audiens. Agar lebih kuat, kesepakatan semacam itu patut
dituangkan secara tertulis dalam P3SPS. Semakin ideal jika poin tersebut juga
dicantumkan pada peraturan perundang-undangan terkait penyiaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar