Pasang Surut Partisipasi Politik di Dunia Maya
Antony Lee ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
15 Desember 2015
Dugaan pelanggaran etika Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto menjadi perhatian netizen atau publik
pengguna internet. Sejumlah petisi dan diskusi ramai dilakukan di dunia maya
terkait masalah itu. Seberapa besar potensi gerakan sosial di dunia maya itu
untuk bertranformasi di dunia offline?
Jika beberapa petisi daring soal
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan Novanto di Change.org digabungkan, ada
lebih dari 150.000 netizen jadi penandatangannya. Di Twitter, diskusi soal
MKD dan Novanto berkali-kali menjadi topik hangat (trending topic) di Indonesia. Pertanyaan sejumlah anggota MKD
dalam sidang MKD yang terkesan mengada-ada dan menyudutkan pengadu, yaitu
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, dijadikan bahan
olok-olok netizen lewat tagar #PertanyaanMKD. Saat MKD memeriksa Novanto
secara tertutup, tagar #MKDBobrok bahkan sempat bertengger di topik hangat
Twitter dunia.
Namun, gerakan sosial yang amat
deras di dunia maya itu tidak banyak bertransformasi di dunia offline. Memang
bermunculan respons dari tokoh politik dan masyarakat sipil, tetapi tak
tampak gerakan kelompok penekan dalam skala besar turun ke jalan saat tuntutan
di dunia maya tidak didengar oleh MKD.
Kondisi ini berbeda dengan gerakan
sosial daring di awal tahun 2015, misalnya. Ketika komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto ditangkap aparat kepolisian, netizen
ramai-ramai membela Bambang. Selain di dunia maya, pembelaan terhadap Bambang
juga muncul dalam gerakan kopi darat yang cukup besar.
Lalu mengapa pada kasus MKD,
netizen tidak kopi darat? Apakah aktivisme daring mulai menyurut? Tidak juga.
Tidak semua gerakan sosial daring bisa populer. Jika kemudian menjadi
populer, belum tentu semua gerakan itu bisa bertransformasi jadi gerakan di
ranah offline dalam bentuk ”kopi darat”.
Kompleks
Merlyna Lim (2013) dalam artikel
”Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia” menyebut
karakteristik aktivisme di ranah daring yang berhasil memobilisasi massa.
Menurut dia, konten yang disampaikan harus sederhana, berkaitan dengan aksi
berisiko rendah, serta sejalan dengan narasi besar, seperti nasionalisme dan
keagamaan. Narasi yang disebarkan juga tak bertentangan dengan narasi media
massa arus utama. Bagi peneliti komunikasi politik Effendi Gazali, poin
pertama yang disampaikan Merlyna sudah menjelaskan mengapa ”gemuruh” di dunia
maya soal MKD belum bisa berubah jadi ”kopi darat”. Kasus MKD amat kompleks
karena bisa menimbulkan banyak faksi di ranah offline maupun di dunia maya.
Di satu sisi ada yang membela
Sudirman. Sudirman dianggap sebagai pengungkap kasus (whistle blower) dugaan pelanggaran etika oleh Novanto yang diduga
meminta sesuatu dari PT Freeport Indonesia (FI) dengan mencatut nama Presiden
Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Di sisi lain, kata Effendi, ada
pula yang menyerang Sudirman karena khawatir ada kepentingan tertentu di
belakangnya. Lebih kompleks lagi, ada yang mempertanyakan, apakah motivasi
Presiden Direktur PT FI Maroef Sjamsoeddin merekam pembicaraannya dengan
Novanto benar demi kepentingan bangsa Indonesia. Ada pula faksi yang melihat
kasus ini sebagai pertarungan sejumlah media yang pemiliknya punya pandangan
politik berseberangan. ”Makin kompleks sebuah kasus, makin terbelah faksinya,
makin lama pula aktivisme daring bisa jadi offline,” katanya.
Hal ini memang berbeda dari narasi
kasus-kasus aktivisme daring yang sukses di dunia maya dan offline. Untuk
kasus kriminalisasi KPK, narasinya sederhana; yakni antara KPK sebagai korban
dan pihak lain sebagai ”pelaku” kriminalisasi. Masyarakat dengan mudah
menangkapnya dalam fenomena biner; hitam dan putih. Apalagi, seperti ditulis
Merlyna, dalam kasus KPK, ”si korban” bisa dengan mudah diasosiasikan sebagai
”kita” orang- orang biasa.
Jika kasus MKD dianalisis dalam
perspektif serupa, publik sulit mencari siapa yang jadi korban untuk dibela
dan siapa pelaku yang harus dilawan karena banyak narasi muncul. Sebagian
besar netizen memang menilai Novanto melanggar etika, tetapi siapa yang
menjadi korbannya? Jika Presiden dan Wapres ditempatkan sebagai ”korban”, tak
mudah mengasosiasikannya sebagai ”kita” dan kemudian perlu dibela. Ini karena
Presiden dan Wapres dinilai publik punya kekuasaan.
Partisipasi
Kendati gerakan sosial di media
sosial mengalami pasang-surut, tidak berarti keterlibatan publik di media
sosial bisa dikecilkan, dianggap artifisial dan tak terdampak. Media sosial
sebagai wadah partisipasi publik merupakan sebuah keniscayaan di era digital.
Sebagai sebuah alat, media sosial punya potensi luar biasa untuk membangun
demokrasi deliberatif dengan menginklusi sebanyak-banyaknya warga untuk aktif
terlibat dalam berbagai kebijakan publik.
Apalagi pertumbuhan pengguna
internet di Indonesia amat tinggi. Layanan analisis statistik media sosial
Statista.com memprediksi pengguna internet di Indonesia mencapai 133,5 juta
jiwa di tahun 2019. Di tahun yang sama diperkirakan ada 105,1 juta pengguna
Facebook, dan 22,8 juta pengguna aktif Twitter. Artinya, ini merupakan
peluang yang amat besar.
Direktur Komunikasi Change.org
Desmarita Murni optimistis penggunaan media sosial untuk partisipasi politik,
termasuk gerakan sosial daring, akan terus berkembang di Indonesia. Dia
mencontohkan, pada pertengahan 2012, baru ada 8.000 pengguna petisi daring
Change.org di Indonesia. Sementara pada Oktober 2015, sudah ada 1,5 juta
pengguna di Indonesia.
”Hanya saja, dunia digital
(Indonesia) memang berkembang belum lama. Masih banyak pengambil kebijakan
yang masih baru atau bahkan belum mengenal dunia digital sehingga ada
resistensi dan ketidakpercayaan,” kata Desmarita.
Ia teringat saat Change.org
menyerahkan hasil cetak salah satu petisi daring beberapa waktu lalu, ada
seorang pejabat publik nyeletuk ”emang berapa hari kalian kerja ngumpulin
tanda tangan?” Pejabat itu masih menganggap partisipasi politik masyarakat
sebagai sesuatu yang artifisial jika tidak berubah bentuk jadi kopi darat.
Padahal, di beberapa negara maju
pejabat publiknya tidak gamang dengan partisipasi politik daring. Di Inggris,
misalnya, Majelis Rendah Inggris dan Pemerintah Inggris bahkan sudah
membentuk layanan petisi daring. Jika penanda tangan mencapai 10.000,
pemerintah wajib merespons. Jika penandatangan sudah mencapai 100.000,
parlemen akan membahasnya.
”Ada banyak yang bisa kami lakukan
untuk membangun kepercayaan terhadap kinerja Majelis Rendah dan kami harus
terus berupaya mencari cara baru untuk mendorong masyarakat untuk terlibat,”
kata pemimpin Majelis Rendah Inggris Sir George Young, seperti tertulis dalam
Briefing Paper E-Petitions tertanggal 20 Oktober 2015.
Berkaca dari komentar itu, para
pengambil kebijakan di Indonesia tampaknya perlu merekonstruksi pemahaman
mereka terhadap partisipasi politik di dunia maya. ”Sebenarnya sudah ada
beberapa pemimpin muda yang memanfaatkan media sosial untuk mendapat masukan
dari rakyat,” kata Desmarita optimistis.
Tentu besar harapan model pemimpin
macam itu bakal terus bertambah sehingga masa depan demokrasi deliberatif di
Indonesia bakal semakin cerah di tahun-tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar