Senin, 21 Desember 2015

Nilai Kebangsaan Dasar Bela Negara

Nilai Kebangsaan Dasar Bela Negara

Budi Susilo Soepandji  ;  Guru Besar Universitas Indonesia Bekerja di Lemhannas RI
                                           MEDIA INDONESIA, 17 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BAHASAN dan diskusi tentang kebangsaan umumnya mengesankan topik yang normatif, tidak populer, dan menjemukan dari perspektif apa pun. Di tengah ingar-bingar politik, sosial budaya, dan pemikiran yang serbapragmatis dewasa ini, tidaklah mudah menempatkan isu kebangsaan sebagai pedoman utama dalam proses pembangunan bangsa. Isu politik maupun ekonomi seperti halnya korupsi, isu yang menyoroti kinerja pemerintah atau pro-kontra berbagai persoalan aktual yang punya ‘nilai’ jual tersendiri, umumnya lebih disukai. sering kali terlupakan, bahwa di balik berbagai persoalan yang tampaknya menyita waktu, tenaga, dan pikiran bangsa ini, masalah kebangsaan merupakan inti permasalahan sesungguhnya.

Tidak dapat ditawar-tawar lagi bahwa semangat dan jiwa kebangsaan wajib dibangun agar bangsa ini dapat keluar dari kegalauan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, di tengah ingar-bingar isu politik dan tekanan pelemahan perekonomian global, ada baiknya dilakukan refleksi dan kontemplasi sejenak. Tujuannya untuk menata kembali roh dan cita-cita perjuangan kemerdekaan sejati yang diwariskan para pendahulu dan pendiri bangsa.

Kebangsaan, kemerdekaan

Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei dan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus selalu di peringati setiap tahun dengan serangkaian upacara seremonial yang meriah, penuh warna merah putih. Kemeriahan seremonial seolah-olah sebuah pembenaran bahwa kita semua sudah berperilaku pada koridor kebangsaan yang benar. Namun, kemeriahan upacara peringatan ber bagai hari besar nasional masih sebatas ritual dan upacara peringatan semata, belum sepenuhnya membuat kita semua memahami esensi di balik upacara peringatan tersebut. Sebagai bangsa yang berideologi Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika dapat dilihat dan dirasakan bahwa perlahan tapi pasti, dari waktu ke waktu nilai-nilai Pancasila semakin jauh dari praktik kehidupan masyarakat.

Konflik di antara warga masyarakat hingga para elite politik semakin mencuat terbuka ke ruang publik. Musyawarah untuk mufakat dan semangat kegotongroyongan semakin langka ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan hanya menjadi hak kalangan yang memiliki kekuasaan, koneksi politik, maupun kemampuan ekonomis. Kelompok kuat menekan serta menguasai kelompok lemah.

Apakah ini ialah tujuan dan citacita kemerdekaan? Bung Karno pada 1933 dalam salah satu risalah politiknya berjudul Mencapai Indonesia Merdeka menyatakan, membangun Indonesia merdeka tidak hanya melepaskan diri dari belenggu penjajah asing, tetapi juga lepas dari segenap sistem penindasan yang mungkin dijalankan bangsa Indonesia sendiri setelah negara ini merdeka. Itulah konsep kemerdekaan yang diimpikan Bung Karno selama 12 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, sebuah konsep kemerdekaan yang meniadakan penindasan manusia atas manusia. Inilah yang seharusnya terus diperjuangkan agar kita memiliki martabat di negeri sendiri dan memiliki wibawa di negeri orang.

Tantangan dan harapan

Bangsa ini punya rasa, karsa, tekad, hasrat, dan punya segalanya untuk pembangunan. Kita hanya membutuhkan semangat kebangsaan yang mengedepankan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan. Karena pelemahan kebangsaan dapat dinetralisasi dengan semangat kebersamaan yang berlandaskan cinta Tanah Air dan proses gotong royong di antara simpul-simpul kekuatan bangsa, seperti akademisi, kaum pro fesional, generasi muda, TNI, Polri, tokoh agama, partai politik, serta masyarakat lainnya.

Namun, proses gotong royong yang kukuh hanya bisa dibangun berdasarkan proses komunikasi yang lancar dan penuh kekeluargaan. Hal inilah yang perlu menjadi prioritas saat kita menginginkan arsitektur kebangsaan yang kuat dan kukuh.

Kuat atau tidaknya kadar kebangsaan tentu tidak dapat hanya dibebankan kepada institusi negara atau pemerintah. Program-program penguatan kebangsaan yang telah dilakukan negara dan berbagai ka langan lainnya, tentu tidak berpengaruh besar apabila tidak disertai kebangkitan kesadaran politik masyarakat dan kesadaran tanggung jawab elite pemimpin di berbagai tataran akan tugas dan tanggung jawabnya. Pada titik ini, kebangsaan menghadapi tantangan terbesarnya mengingat ego sektoral dan ego kelompok semakin menguat. Sementara, pemahaman kebangsaan generasi penerus cenderung pragmatis dan begitu cair.

Mengapa? Karena, kini kita berhadapan dengan generasi Y dan ge nerasi Z yang dibesarkan oleh kefanatikan dunia maya dan media sosial. Tantangannya, di tengah menguatnya ego sektoral dan kelompok, bagaimana mentransformasikan semangat kebangsaan kepada generasi yang interaksi sosialnya didominasi oleh gawai (gadget), dan tidak pernah merasakan semangat gotong royong secara fisik? Dengan demikian, menjadi keharusan bahwa teladan dan pendidikan yang punya faktor konstan nilai-nilai kebangsaan, harus memikirkan variasi, bentuk, dan model dinamis yang disesuaikan dengan perubahan karakteristik setiap generasi ke depan.

Yang jelas, esensi kebangsaan tidak pernah terpengaruh perubahan jaman maupun generasi. Kita hanya membutuhkan konsistensi pemahaman atas konsep kebangsaan yang kita yakini. Di atas itu semua, yang terpenting adalah keteladanan yang tulus dari para elite pemimpin sebagai pembawa pesan-pesan kebangsaan dan bukan keteladanan yang bernuansa pencitraan belaka.
Bila kita mampu melakukan revolusi mental terhadap diri sendiri dan menjadi teladan bagi lingkungan terkecil di sekitar kita, di saat itulah ukuran kebangsaan rakyat kita bukan lagi hanya pada hitungan-hitungan ekonomis dan prestise semu, melainkan pada situasi dan kondisi yang saling percaya, melindungi, menjaga, dan saling membangun.

Pada 19 Desember 2015, diperingati sebagai Hari Bela Negara. Nilai-nilai kebangsaan sepatutnya menjadi roh dan perlu ditanamkan serta dibangkitkan dalam program bela negara. Bela negara ialah soft power yang harus terus dibangun untuk menyongsong Indonesia jaya pada 2045. Ketika Republik Indonesia mencapai usia 100 tahun, hendaknya menjadi momentum pencapaian bangsa sebagai buah dari semangat kebangsaan, yang secara nyata diejawantahkan dalam hidup dan kehidupan kita sebagai manusia merdeka dalam perjuangan roh demi kemerdekaan sejati. Selamat Hari Bela Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar