Merancang Ulang Kebijakan Perberasan
Khudori
; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Desember 2015
TAHUN 2015
segera berlalu. Ini saatnya melakukan evaluasi. Salah satu yang bisa
dievaluasi ialah pengadaan gabah/beras dalam negeri oleh Bulog. Per 16
Desember 2015, pengadaan Bulog mencapai 1,96 juta ton setara beras. Sampai
akhir tahun ini diperkirakan pengadaan beras Bulog maksimal hanya 2 juta ton,
0,9 juta ton di antaranya disumbang beras premium.
Pengadaan ini
di bawah dari target internal 2,7 juta ton, apalagi target pemerintah sebesar
4 juta ton. Sejak awal tahun muncul keraguan Bulog bisa menyerap gabah dan
beras dalam jumlah besar. Inpres Perberasan yang digadang-gadang menjadi
stimulan tidak hanya telat dirilis, diktum-diktum di dalamnya juga mandul.
Inpres
Perberasan terakhir, Inpres No 5/2015, menggantikan Inpres No 3/2012 tentang
Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Substansi isi tidak berbeda. Inpres merupakan kebijakan presiden yang
ditujukan kepada menteri terkait (8 kementerian) dan para
gubernur/bupati/wali kota untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap
kementerian dalam rangka kebijakan perberasan.
Inpres
mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksana, mengatur hasil pembelian untuk
keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi.
Yang tak diatur ialah pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab
apabila terjadi kerugian.Harga gabah kering panen di petani Rp3.700/kg
(sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp4.650/kg
(sebelumnya Rp4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300kg (sebelumnya
Rp6.600/kg). Ratarata naik 11%.
Kebijakan
perberasan, terutama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu
kualitas), tidak mengalami perubahan sejak beleid itu diberlakukan 46 tahun lalu. Padahal, selama lebih
empat dekade pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. Harga
pembelian pemerintah (HPP) tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim
dan kualitas beras tidak lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit
pemerintah dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar: harga naik
atau turun.
Tanam padi
yang serentak telah menghasilkan irama panen ajeg, hampir tidak mengalami
perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60%-65%
dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25%-30%
dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga
gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen: harga rendah saat panen raya
(Februari-Mei), naik di musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi
saat paceklik (Oktober-Januari).
Pergerakan
harga gabah/ beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran berlakunya hukum
supply-demand, melainkan juga terkait dengan kualitas gabah/beras: kualitas
gabah/ beras rendah saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat
paceklik. Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari
untuk mengeringkan gabah. Petani menjual hasil panen dengan kualitas
seadanya. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat panen gadu dan di musim
paceklik.
Kenyataan itu
menunjukkan kualitas gabah/beras bervariasi mengikuti irama panen.Artinya,
ada lebih satu kualitas gabah/beras. Inpres Perberasan yang selalu direvisi
secara ajeg dengan harga HPP gabah/beras hanya satu kualitas alias kualitas
tunggal tidak hanya `melawan' pergerakan harga gabah/beras musiman (Sawit,
2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras,
di kios-kios kelontong misalnya, ada 4-5 jenis beras, tidak hanya kualitas
medium seperti diatur Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang,
misalnya, ada 17 jenis (kualitas) beras. Jenis-jenis beras itu mencerminkan
perbedaan kualitas, yang harganya juga berbeda-beda.
Kebijakan
harga tunggal juga telah mengingkari kenyataan adanya segmentasi pasar beras
sesuai dengan preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang mengonsumsi
beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras medium.Lebih dari itu,
mempertahankan kebijakan harga tunggal semakin menyulitkan pemerintah dalam
menjalankan berbagai kebijakan, salah satunya intervensi harga melalui
operasi pasar.Dengan hanya satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok
lama, mustahil operasi pasar bi sa meredam instabilitas harga semua jenis
beras yang ada di pasar.
Selain
sejumlah faktor lain, inilah salah satu penyebab o perasi pasar akhir-akhir
ini tak efektif.
Oleh karena
itu, sudah saatnya kebijakan harga tunggal, baik untuk gabah maupun beras
medium, diakhiri. Opsinya mengganti dengan HPP multikualitas, multilokasi,
dan multivarietas. Kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan
meningkatkan pendapatan petani. Kebijakan HPP multikualitas pada beras diyakini
akan mendorong pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras
berkualitas lewat proses penggilingan yang lebih baik, dan perbaikan mesin
dan operator.
HPP
multikualitas dapat dirancang lewat kombinasi kriteria: kualitas gabah/beras,
musim panen, dan varietas (Sawit dan Halid, 2010). Pada tahap awal cukup
dwikualitas: medium dan premium. Setelah cukup berpengalaman, berikutnya bisa
dikembangkan menjadi lebih dari dua kualitas. Kebijakan HPP gabah dan beras
multilokasi sebaiknya dihindari. Meskipun biaya produksi padi bervariasi
antarlokasi, menerapkan HPP gabah dan beras multilokasi bakal menciptakan
diskriminasi. Akan lebih baik dan adil apabila faktor lokasi itu diakomodasi
dalam kriteria varietas. Hampir di semua daerah sentra produksi padi,
sebagian petani masih menanam varietas-varietas lokal (Winarto, 2011;
Soedjito, 1996). Varietas lokal bisa diakomodasi dalam kebijakan HPP yang
lebih tinggi. Kebijakan itu diperkirakan akan menjamin lestarinya plasma
nutfah padi lokal.
Pengalaman
selama puluhan tahun menunjukkan penyerapan beras atau gabah setara beras
oleh Bulog sebesar 60% terjadi di musim panen raya, 30% di musim gadu, dan 4%
saat paceklik. Besar-kecilnya penyerapan ini mengikuti irama panen dan pola
produksi padi, dengan demikian juga mengikuti pergerakan harga dan kualitas.
Dengan HPP gabah dan beras multikualitas, pola penyerapan bisa disesuaikan
dengan irama panen: menyerap gabah dan beras secara besar-besaran pada panen
raya untuk memenuhi kuota beras kualitas medium.
Pada saat panen
gadu dan musim paceklik, penyerapan gabah dan beras ditu jukan untuk memenuhi
kuota beras kualitas pre mium. Sebagian beras kualitas medium masih bisa
diserap pada saat panen gadu. Dengan pola seperti itu, penyerapan gabah dan
beras bisa dimungkinkan akan berlangsung sepanjang tahun. Cara itu akan
membantu pemerintah dalam mengendalikan harga gabah/ beras, dan inflasi.
Penyerapan
beras kualitas medium ditujukan untuk memenuhi kebutuhan program raskin.
Sebaliknya, beras kualitas premium untuk penyaluran nonraskin, khususnya
untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP). Besaran beras medium dan
premium harus dijaga seimbang, terutama terkait dengan stok akhir Bulog agar
lembaga penyangga harga ini tidak terbebani beban bunga komersial yang besar.
Sebagai perusahaan
umum, Bulog juga harus efisien dan mampu menyetorkan keuntungan kepada
negara. Ketika Bulog merugi karena beban bunga komersial dalam menjalankan
fungsi-fungsi sosial (public service
obligation/ PSO), seperti menyangga harga gabah/beras, menyerap gabah/
beras domestik, mengelola CBP, dan menyalurkan raskin, direksi bisa dinilai
tidak perform dan setiap saat kursinya terancam tergusur. Ini membuat
direksi gamang. Output-nya, kinerja Bulog dalam
menjalankan tugas-tugas sosial menjadi tidak optimal. Dengan serangkaian
reformulasi itu, dimungkinkan beleid pemerintah lebih operasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar