Menteri Penghubung dan Masalah Investasi
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 02 Desember 2015
Investasi, investasi,
investasi. Demikian pesan utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke mana pun dan
di mana pun. Mencari suntikan dana untuk kegiatan ekonomi yang mempekerjakan
ribuan atau bahkan jutaan penduduk melalui investasi adalah pekerjaan rumah hampir
semua pemimpin di dunia hari ini; dari Indonesia sampai Jepang, dari Spanyol
sampai Amerika Serikat.
Begitu pentingnya arti
investasi hingga Presiden Jokowi menerbitkan instruksi presiden. Instruksi
presiden ini menugaskan beberapa menteri di dalam kabinet untuk berfungsi
sebagai menteri penghubung. Tugas menteri penghubung sejauh yang diperoleh
dari media adalah mencari dan mengawal semua komitmen investasi agar
terealisasi.
Meskipun kita
menyambut niat baik Presiden yang tertuang di dalam instruksi tersebut,
sejumlah pertanyaan perlu juga kita ajukan sebagai bagian dari penghargaan
positif kita terhadap kebijakan tersebut. Misalnya tentang sejauh mana
pengawalan itu akan dilakukan? Wewenang apa yang dimiliki? Apakah para
menteri penghubung dapat menggunakan sumber daya manusia dari kementerian
lain seperti dari Kementerian Luar Negeri?
Bila dapat, anggaran
siapa yang akan digunakan karena kita mengetahui bahwa anggaran tiap bagian
dalam departemen telah diperuntukkan sesuai dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya. Keterangan resmi pemerintah mengatakan bahwa penunjukan tersebut
untuk menyelesaikan masalah investasi yang tersumbat. Mengacu kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi ke Indonesia masih
rendah.
Selama periode
2005-2014 terdapat rencana investasi senilai USD427,99 miliar, namun
realisasinya hanya USD168,23 miliar atau rasio investasi rata-rata hanya
39,4%. China adalah negara yang paling besar menanamkan investasi ke
Indonesia. Realisasi investasi Tiongkok rata-rata tumbuh 66% per tahun dari
USD174 juta pada 2010 menjadi lebih dari USD800 juta pada 2014.
Sayangnya, jumlah
tersebut masih jauh dari rencana investasi yang ingin mereka tanamkan sebesar
USD36 miliar. Dengan kata lain, dari 10 investor China, hanya 1 yang
benar-benar merealisasikan investasinya. Sementara untuk Jepang dan Korea
Selatan, dari 10 calon investor setidaknya 6 investor Jepang dan 7 dari Korea
Selatan akan merealisasikan investasi.
Saya yakin
faktor-faktor yang menghambat itu tidak sama satu dengan yang lain. Oleh
sebab itu, mungkin memang dibutuhkan menteri penghubung yang dapat
menguraikan masalahnya dan langsung melaporkannya kepada Presiden.
Harapannya, Presiden segera dapat memutuskan jalan keluarnya.
Permasalahannya,
faktor yang menghambat investasi mulai hal yang sifatnya mikro seperti
lambannya proses birokrasi hingga masalah yang sifatnya struktural atau
makro, seperti kewenangan pemerintah daerah (pemda) dalam mengeluarkan izin
seperti izin pertambangan atau perkebunan, masalah tanah, akses listrik,
masalah logistik dan transportasi, atau masalah hubungan industrial.
Pemda misalnya, juga
punya wewenang untuk mengambil retribusi yang kerap dianggap memberatkan bagi
para investor. Saya dapat membayangkan para menteri penghubung akan menerima
banjir ”curhat” para investor asing yang tentang praktik-praktik yang belum
pernah mereka temukan di negara asalnya.
Sejauh mana kemudian,
para menteri penghubung bisa ”menjanjikan” penyelesaiannya apabila wewenang
yang diberikan sebatas mengidentifikasi dan mengawal komitmen? Beberapa duta
besar juga pernah mengalami hal tersebut, namun sering kali sulit
menyampaikan jawabannya karena bukan wewenang mereka.
Misalnya masalah yang
terkait dengan adanya persaingan tidak sehat, praktik suap atau korupsi dalam
tender, birokrasi yang lambat, infrastruktur yang tidak memadai, atau tidak
adanya kepastian hukum ketika masalah timbul. Sebagai pejabat publik dan
perwakilan RI, para diplomat menghadapi suasana dilematis karena mereka
meyakini itu terjadi, tetapi mengakuinya di depan publik luar negeri seperti
mencoreng arang di wajah sendiri.
Investasi yang
terhambat terjadi sering kali tidak berdiri sendiri namun juga refleksi atas
kebijakan di tingkat nasional. Dalam beberapa hari ini, saya berjumpa dengan
pengusaha dari berbagai skala bisnis dan jenis usaha dari Indonesia maupun
Australia. Ada beberapa kesimpulan dapat didiskusikan di sini.
Pertama-tama,
rata-rata pengusaha Indonesia maupun pengusaha asing masih ragu-ragu tentang
bentuk kongsi (joint venture) yang
tepat untuk usahanya. Undang-undang di Indonesia mensyaratkan di hampir semua
sektor, investasi asing wajib berkongsi dengan pengusaha Indonesia.
Sistemnya bagi modal
supaya ada bagi hasil. Pengusaha dalam negeri yang skala usahanya kecil dan
menengah kerap tidak diuntungkan karena terbatasnya informasi dan
ketidakpastian tentang faktor-faktor biaya yang harus ditanggung. Para
pengusaha dalam negeri yang diuntungkan biasanya adalah mereka yang sudah
berpengalaman bekerja sama dengan pihak asing, sehingga mereka tahu dan
percaya diri untuk menghadapi kemitraan dengan pihak asing secara sejajar!
Ironisnya, mereka ini
adalah tipe pengusaha yang tidak mau dibantu pemerintah dan yang mereka
butuhkan hanyalah kondisi ekonomi-politik yang ramah dan menjamin persaingan
yang sehat. Di sinilah saya lihat Indonesia masih sangat kurang. Belum ada
kebijakan pemerintah yang mendukung pengusaha-pengusaha Indonesia untuk: 1)
membangun keterampilan untuk bermitra dengan pihak asing; 2) menciptakan
inovasi produk yang punya nilai tambah (value
added) signifikan di bidang masing-masing; dan 3) mengemas produk-produk
bermutu dan inovatif sebagai merek (brand)
terdepan bagi Indonesia.
Dalam penelitian saya
tentang UMKM, kebutuhan tersebut sebetulnya sudah disadari dan bahkan menjadi
program kerja Kementerian Koperasi. Kementerian lain seperti Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Perindustrian juga memiliki program kerja serupa.
Namun, hasilnya hingga saat ini masih belum dirasakan.
Kasus yang saya angkat
mungkin hanya sebagian kecil dari kasus yang terkait dengan masalah investasi
dan menteri penghubung yang ditunjuk tentu akan mendengar masalah yang lebih
banyak dan lebih rumit. Bagi Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri,
masalah-masalah tersebut mungkin sudah sering didengar dan mungkin juga
mereka sudah menyampaikan dan mengusulkan jalan keluarnya.
Oleh sebab itu, sangat
baik apabila menteri penghubung dapat menghimpun dan mencerna masalahmasalah
yang dikumpulkan oleh KBRI di luar negeri sehingga kerja mereka lebih efisien
dan efektif. KBRI dan Konsuler Jenderal juga memiliki peran dan wewenang yang
strategis untuk melakukan fungsi pengawasan dan pendorong implementasi
perjanjian perdagangan.
Mereka juga telah
melakukan koordinasi terkait dengan beberapa kementerian terkait dengan isu
di sektor-sektor tertentu. Optimalisasi fungsi ini dalam bentuk peningkatan
kapabilitas sumber daya manusia untuk menguasai materi-materi yang terkait
dengan hukum perdagangan internasional, hak asasi manusia (HAM), lingkungan, perjanjian
perdagangan, globalisasi dan sebagainya tentu akan membantu ketajaman kerja
para menteri penghubung.
Wewenang menteri
penghubung juga perlu diperjelas secara vertikal dan horizontal. Apakah dapat
langsung berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia di luar negeri dan
melakukan negosiasi atau melalui menteri luar negeri? Bagaimana pula hubungan
para menteri penghubung dengan BKPM? Karena bagaimanapun juga publik perlu
juga diberi informasi tentang perubahan yang sedang didorong oleh Presiden.
Semakin banyak pengusaha yang paham akan peluang baru yang tersedia, semakin
optimal pula hasil instruksi presiden tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar