Menakar KPK Jilid IV
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua Pukat Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Desember 2015
SEJARAH telah
menorehkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid III berakhir cukup
tragis, bahkan menyedihkan. Ketuanya terpental karena perkara ‘ecek-ecek’
yang tak jelas, satu komisioner diperkarakan dengan hal yang kabur. Sisanya,
dua terpenjara dengan ancaman kriminalisasi, sedangkan satu sudah berhenti
setahun sebelumnya. Prestasi yang cukup banyak, hilang seketika hanya karena
berhadapan dengan perkara yang penat dengan kepentingan politik. Panas
setahun dihapus hujan dalam sehari.
Dalam proses
‘hujan’ tersebut, dilantiklah tiga komisioner pelaksana tugas yang mengisi
jabatan pimpinan KPK hingga berakhirnya masa jabatan KPK Jilid III. Meskipun
langkah Perppu No 1 Tahun 2015 itu baik, tetapi terkesan sangat dipaksakan.
Dengan sengaja, Perppu mengenyampingkan batas usia 65 tahun sehingga Taufiequrachman
Ruki masuk. Entah untuk alasan apa, tetapi yang jelas sulit diterima dengan
logika konstitusi yang mengatakan harus ada hal ihwal kegentingan memaksa,
bahwa Perppu mengisi jabatan kosong, tentu memenuhi klausula ke gentingan
memaksa. Namun, apakah umur 65 tahun harus dikesampingkan, sulit diterima
logika hukumnya. Apakah sudah tidak ada lagi penduduk Indonesia yang berusia
kurang dari 65 tahun bisa dimasukkan menjadi Plt Komisioner KPK selain Ruki?
Apa pun itu,
Dewan Perwa kilan Rakyat (DPR) menerima secara aklamasi Perppu No 1 Tahun
2015 menjadi UU No 10 Tahun 2015. Kemudian, dimulailah persepsi bahwa terjadi
pelemahan di KPK. Berbagai pernyataan, cara pandang, posisi, bahkan tindakan
yang tak tepat diperlihatkan oleh pemimpin baru di KPK. Di situlah pembacaan
publik, semisal oleh M Busyro Muqoddas yang menduga bahwa ada proses
‘titipan’ Plt KPK yang membantu pelemahan dari dalam yang melengkapi serangan
dari luar.
Mudah untuk
menilai bahwa kondisi KPK dalam satu terakhir
masa jabatan Jilid III memang cukup menyedihkan. Di tengah kondisi itu, tentu
menjadi pertanyaan paling mendasar bagi kita semua ialah apakah KPK Jilid IV
mampu membalik kembali arus arah yang kelihatannya sudah berbelok?
KPK Jilid IV
Komposisi KPK
Jilid IV ini menawarkan kemungkinan yang agak beragam. Dari pilihan nama oleh
Pansel yang dikirim ke DPR, sebenarnya ada tiga skenario komposisi yang mungkin,
yakni ‘komposisi lemah, komposisi moderat’, dan
‘komposisi
ideal’. Hasil pilihan DPR yang sudah di umumkan sebenarnya memperlihatkan komposisi
yang tidak juga harus ditangisi (komposisi lemah),
tetapi
mustahil untuk dicintai (komposisi ideal). Komposisinya terlihat moderat yang
punya potensi besar menjadi melemah dan masih ada potensi menjadi ideal.
Jika dilihat
dari latar belakang pendapat dan analisis yang mereka sampaikan dalam proses
tim seleksi serta fit and proper test
di DPR, terlihat jauh dari pas memahami dan menggedor pemberantasan korupsi.
Mayoritas yang terpilih ialah orang-orang yang masih menganggap bahwa KPK
sejatinya ialah lebih bercorak pencegahan. Ada juga di antara mereka yang
tidak mendukung adanya penyidik independen di KPK. Ada juga di antara mereka
yang sering berpandangan aneh dalam beberapa putusan perkara korupsi. Tentu
sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan membuat kemungkinan penegakan hukum
antikorupsi kuat akan terhalangi.
Akan tetapi,
jangan juga dilupakan bahwa di antara yang terpilih ada yang sangat kuat
analisis membangun konsep melawan problem pengadaan barang dan jasa yang
masih sangat banyak dalam perkara korupsi di Indonesia, juga orang yang
membangun sistem pengawasan dengan basis masyarakat sipil. Artinya, masih
tetap ada harapan kuat pada KPK dengan tentunya beberapa prasyarat.
Pertama,
menggunakan model kolegial kolektif yang menjadi ciri dari lembaga ne gara independen
seperti KPK. Kolegial kolektif menjadikan pengambilan keputusan tidaklah
diambil dalam tendensi kepentingan pribadi tetapi harus kepentingan kolektif.
Dalam hal inilah, maka akan ada saling mengawasi antarkomisioner KPK. Jika
ada satu komisioner yang berperilaku dan berpendapat ‘aneh’, sesungguhnya ada
empat lainnya yang akan mengontrol kualitas tersebut. Artinya, sepanjang
kolegial kolektif dikuatkan, pengawasan kualitas akan tetap terjaga.
Kedua, meski
komisioner KPK tentu saja ialah sangat penting di KPK, akan tetapi masih ada
unsur lain yang sangat menentukan ‘haru-biru’ KPK. Ada Dewan Penasihat, ada
pegawai KPK dengan berbagai unsur yang ada di dalamnya. Sepanjang komisioner
KPK tidak bertindak otoriter, peran unsur lain di KPK akan nampak dan dapat
berperan serta ikut mewarnai KPK. Kerja KPK pun kemudian akan bersangkutan
dengan kerja kolektif tersebut.
Ketiga, satu
keunggulan yang ada dalam komposisi yang tak ideal ini sebenarnya ialah
mereka relatif belum memiliki persoalan menonjol yang bisa disandera dan
diganggu demi kepentingan tertentu. Bayangkan saja jika Johan Budi yang
terpilih, meski sangat ideal untuk digunakan melanjutkan kerja KPK secara
berkesinambungan karena merupakan orang lama. Akan tetapi, Johan Budi yang
memiliki laporan di kepolisian akan sangat mudah untuk diancam dan
dikendalikan dengan ber bagai trik kriminalisasi.
Keempat,
tentu saja prasyarat untuk melakukan upaya cepat menyesuaikan dengan ritme
KPK. Tidak satu pun komisioner ini yang merupakan orang dalam KPK. Artinya,
keberhasilan mereka akan sangat bergantung pada seberapa cepat mereka
melakukan konsolidasi dan penyesuaian. Jika cepat, jelas akan menarik. Jika
lambat, justru akan menahan laju pemberantasan korupsi.
Harapan tetap disemai
Tentunya, tak
ada yang benar-benar bisa menjamin apa yang mungkin dan akan terjadi dalam
KPK Jilid IV ini. Komposisi yang tak terlalu kuat menawarkan efek
menggembirakan ini tetap saja memiliki peluang untuk lebih baik. Orang bisa
silih
berganti dengan berbagai kemampuan dan pandangannya. Akan tetapi, KPK
tetaplah lembaga yang penting untuk dikuatkan. Jika sistem negara tetap
mendukung pemberantasan korupsi secara kuat, KPK akan tetap berjalan damai
tanpa
gangguan berarti di UU KPK.
Namun, jika
KPK dengan seideal apa pun komposisi komisionernya, tapi tak mendapat dukungan
political will negara, tetap akan
mengalami kesulitan untuk berhasil. Mengharap tetap menjadi penting. Di
situlah peran publik tetap menjadi penting untuk ikut mengawal negara dalam menentukan
political will-nya dan mengawal KPK
dalam kerja-kerjanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar