Membenahi Data Pangan
Toto Subandriyo ;
Pengamat Sosial Ekonomi Pertanian
Lulusan IPB Universitas Jenderal
Soedirman
|
KOMPAS,
02 Desember 2015
Akurasi data pangan
kembali mendapat sorotan publik. Ada indikasi data pangan direkayasa untuk kepentingan
justifikasi keberhasilan program.
Keluhan terkait
kredibilitas data pangan sudah muncul sejak lama, tetapi tak pernah ada upaya
serius membenahinya. Akibatnya fatal. Gejolak harga pangan yang terjadi
sepanjang 2015 adalah juga akibat tidak akuratnya data yang masuk karena
kesalahan dalam mengumpulkan dan mengolah data di lapangan (Kompas, 27/11).
Mau tak mau, suka
tidak suka, pemerintah harus secepatnya melakukan pembenahan data pangan
nasional. Semua pemangku kepentingan duduk bersama satu meja untuk mencari
solusi, bukan malah saling menyalahkan seperti yang terlihat secara kasatmata
dalam pemberitaan media beberapa hari terakhir.
Konvensional
Memang hingga kini
pola pengumpulan data produksi yang merupakan hasil kali antara luas panen
dan produktivitas per satuan luas masih konvensional. Dalam praktik di
lapangan, data menyangkut luas tanam, luas panen, dan luas gagal panen (puso)
dikumpulkan oleh petugas dinas pertanian. Sementara data menyangkut
produktivitas dikumpulkan petugas kantor statistik.
Pengumpulan data luas
panen masih dengan perkiraan pandangan mata (eye estimate). Begitu pula
pengumpulan data produktivitas dilakukan dengan cara ubinan petak sampel 2,5
meter x 2,5 meter dengan keterbatasan sarana dan peralatan. Ketersediaan alat
ukur kadar air gabah bisa dihitung dengan jari. Ketiadaan alat ukur ini
membuat angka kadar air sering ditentukan melalui perkiraan saja. Akibatnya,
tonase hasil ubinan setelah dikonversi ke dalam kuintal/hektar bisa di atas
atau di bawah estimasi kondisi sebenarnya.
Bias data hasil
pengukuran ini secara berantai berimbas pada data produksi nasional. Oleh
karena itu, pemerintah harus segera memperbaiki cara pengumpulan data. Pada
era digital seperti sekarang, petugas pertanian dan statistik harus sudah dibekali
peralatan-peralatan modern dan diajari cara penggunaannya.
Peralatan seperti alat
ukur kadar air gabah, global positioning system (GPS), serta peralatan
penting lain harus tersedia dalam jumlah cukup dan dapat beroperasi dengan
baik. Penggunaan pesawat tanpa awak (drone) dan penginderaan jauh melalui
satelit akan sangat membantu memperoleh data pangan yang lebih akurat.
Di masa lalu,
pengukuran luas tanam, luas panen, ataupun pengukuran produktivitas sering
ditumpangi berbagai kepentingan dan kental nuansa asal bapak senang (ABS).
Dalam penentuan luas baku sawah di suatu hamparan antara dinas pertanian dan
dinas pekerjaan umum/pengairan, misalnya, terjadi perbedaan. Dinas pertanian
akan mencatat luas lahan sawah yang bisa ditanami secara riil, sedangkan
dinas pekerjaan umum/pengairan lebih melihat dari status lahan. Semua orang
tahu, makin luas lahan irigasi teknis, makin besar pula biaya eksploitasi dan
pemeliharaannya (E & P).
Ada kejadian lucu yang
pernah penulis alami saat jadi anggota tim teknis program Iuran Pelayanan
Irigasi (Ipair) pada pertengahan 1990-an. Di atas surat tagihan Ipair masih
tertulis status lahan sawah irigasi teknis. Namun, ketika didatangi, ternyata
di atas lahan tersebut sudah berdiri bangunan sekolah.
Kasus seperti ini sangat
mungkin terjadi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Banyak pemerintah
kabupaten/kota/provinsi yang menindaklanjutinya dengan membuat Peraturan
Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara
fisik banyak sawah sudah berubah peruntukan jadi rumah, sekolah, jalan, serta
fasilitas umum/sosial lain. Namun, karena belum ada izin perubahan penggunaan
tanah, status lahan tersebut masih tertulis sawah irigasi teknis dan tetap
mendapatkan biaya E & P.
Kita berharap
pembenahan data pangan dilakukan secara menyeluruh, termasuk data konsumsi
beras. Perbedaan data konsumsi beras per kapita yang mencolok antara
Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) akan
menyulitkan dalam menghitung neraca beras. Data konsumsi beras per kapita per
tahun versi Kementan 139,15 kilogram, sedangkan versi BPS 113,48 kilogram.
Jadi, sangat bisa dimaklumi kalau pemerintah mengalami kesulitan ketika akan
mengeksekusi kebijakan importasi pangan.
Kita tak ingin
praktik-praktik tidak terpuji model ABS di masa lalu diulangi lagi di era
keterbukaan sekarang. Hanya untuk justifikasi keberhasilan sebuah program
kemudian petugas berbuat curang. Cukup menambahkan beberapa genggam gabah
yang diambil dari luar petak sampel 2,5 meter x 2,5 meter ke dalam timbangan
gabah hasil ubinan, angka produktivitas dapat disulap sesuai keinginan.
Rencana peluncuran
satelit pertanian Lisat yang merupakan kerja sama Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional dengan Institut Pertanian Bogor (Kompas, 6/2) jadi kabar
baik bagi kita semua. Data statistik pangan yang akurat sangat membantu
pemerintah dalam menentukan berbagai kebijakan strategis di bidang ketahanan
dan kedaulatan pangan. Sebutlah kebijakan apa saja yang harus segera ditempuh
untuk pengamanan produksi dan cadangan pangan, perlu atau tidak dilakukan
impor, kapan waktu paling tepat impor dilakukan, berapa jumlahnya, dan
sebagainya.
Pertanyaan publik
seperti itu wajar mengemuka karena pada 2 November lalu BPS baru saja merilis
angka ramalan (aram) II produksi padi nasional. Data aram II ini merupakan
realisasi produksi Januari-Agustus dan angka ramalan produksi
September-Desember berdasarkan luas tanaman akhir Agustus 2015.
Menurut aram II BPS,
produksi padi nasional tahun ini akan mencapai 74,99 juta ton gabah kering
giling. Terjadi peningkatan produksi 5,85 persen dibandingkan dengan 2014.
Setelah dikurangi angka kehilangan hasil dan untuk kebutuhan lain (benih dan
kebutuhan nonpangan lain), angka produksi tersebut setara dengan 43,5 juta
ton beras.
Untuk mengetahui
neraca beras nasional, harus dihitung besar kebutuhan beras nasional yang
merupakan perkalian antara angka konsumsi beras per kapita per tahun dan
total jumlah penduduk. Untuk menghitung neraca beras, kita menggunakan data
konsumsi beras versi Kementan, yakni 139,15 kilogram per kapita per tahun dan
asumsi jumlah penduduk Indonesia saat ini 253 juta orang.
Berdasarkan data
tersebut, jumlah kebutuhan beras nasional mencapai 35,2 juta ton per tahun.
Jadi, di atas kertas, tahun ini produksi beras surplus 8,2 juta ton. Data
konsumsi beras versi Kementan dipilih karena angkanya paling besar
dibandingkan versi BPS (113,48 kilogram per kapita per tahun) ataupun versi
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2012 (98 kilogram per kapita per tahun).
Sebab, jika digunakan dua versi data tersebut, surplus beras akan makin
besar.
Dari orang awam
kemudian muncul beberapa pertanyaan. Jika data produksi tersebut benar-benar
valid, surplus produksi beras benar-benar nyata, mengapa harga beras di
pasaran tetap stabil tinggi hingga sekarang? Mengapa pemerintah tetap
mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
bisa dijelaskan hanya dengan hitung-hitungan neraca beras di atas kertas,
tetapi harus dijelaskan dengan kondisi sosiokultural kita yang unik serta
manajemen perberasan.
Konsumen murni
Para penentu kebijakan
akan mengalami sesat pikir jika hanya menggunakan data perhitungan neraca
beras di atas kertas untuk mengambil keputusan strategis. Hal itu disebabkan
secara sosiokultural sistem produksi beras di negeri ini memang unik,
berbasis pada jutaan petani kecil dengan luas lahan yang sangat kecil. Data
Sensus Pertanian 2013 menyebutkan bahwa sebagian besar petani kita adalah
petani gurem yang menggarap sawah kurang dari 0,5 hektar.
Pada musim paceklik
seperti sekarang, beras tidak lagi ada di rumah tangga petani gurem. Cadangan
beras yang dimiliki telah habis dikonsumsi keluarga. Pada saat seperti ini,
mereka menjadi konsumen murni beras. Untuk mencukupi keluarga, mereka harus
membeli beras layaknya konsumen lain. Harga beras yang tinggi saat ini hanya
jadi gula-gula bagi mereka.
Kontroversi impor
beras juga tidak dapat dilepaskan dari kegagalan Bulog memenuhi target
pengadaan 3,2 juta ton beras. Situs Perum Bulog melaporkan, hingga 4 November
2015, realisasi pengadaan beras berdasarkan harga pembelian pemerintah baru
1,887 juta ton.
Dari jumlah tersebut,
sebagian besar disalurkan sebagai beras untuk rakyat miskin (raskin, sekarang
beras sejahtera/rastra) kepada 15,53 juta rumah tangga. Pagu penyaluran
rastra setahun mencapai 2,795 juta ton atau sekitar 232.000 ton per bulan.
Hingga 4 November 2015 telah tersalurkan 2,55 juta ton rastra. Saat ini, stok
beras Bulog keseluruhan tinggal 1,39 juta ton, 700.000 ton adalah beras
pengadaan komersial.
Jika impor tidak
dilakukan, stok beras pemerintah pada akhir tahun dipastikan tak aman.
Berdasarkan kajian Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), metodologi
stok beras yang cocok untuk Indonesia adalah stock to utilization ratio.
Metode ini menyarankan agar cadangan beras pemerintah minimal 5 persen dari
total konsumsi penduduk. Untuk kondisi saat ini, jumlah cadangan beras
pemerintah minimal mencapai 1,5 juta ton.
Inilah beberapa
justifikasi mengapa pemerintah tetap bersikeras melakukan impor beras.
Pemerintah tidak ingin kecolongan karena bagi bangsa ini komoditas beras
tidak hanya strategis, tetapi juga sensitif. Profesor Toru Yano dari Tokyo
University pernah mengingatkan bahwa ancaman terbesar bangsa Indonesia saat
ini justru datang dari dalam negeri. Cukup disulut dengan isu kelangkaan dan
kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, kerusuhan sosial mudah sekali
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar