Memahami Difabel, Menerima Perbedaan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Desember 2015
KATA lain dari penyandang cacat,
baik mental maupun fisik, ialah difabel, sebuah kata yang merupakan gabungan
dari kata different dan abilities yang berarti perbedaan
kemampuan. Penggunaan kata difabel sebenarnya memiliki makna pengajaran yang
baik, yaitu agar setiap orang bisa menghargai sekaligus menerima perbedaan
yang dimiliki setiap orang karena secara alamiah perbedaan ialah given dan kehendak Allah, Tuhan Yang
Maha Esa. Sebagaimana halnya perbedaan warna kulit, etnik, agama, budaya, dan
tradisi yang melekat pada diri seseorang, melihat perbedaan fisik dan
kemampuan seseorang juga harus dalam kerangka menghargai perbedaan kemampuan
yang diberikan Tuhan.
Namun, lebih dari sekadar
penghalusan bahasa, difabel digunakan berdasarkan realitas bahwa setiap
manusia diciptakan berbeda sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah
perbedaan bukan kecacatan. Setiap manusia diciptakan berbeda satu sama lain.
Saya, kamu, dan kita semua pasti beda. Tidak ada yang sama. Hanya masalah
kemampuan yang berbeda. Bukan berarti mereka tidak mampu sama sekali. Mereka
(para difabel) dalam kenyataannya mampu melakukan apa yang biasa kita
lakukan. Hanya, cara mereka yang berbeda.
Meskipun isu difabel relatif baru
bagi publik Indonesia, kata lain yang sudah digunakan masyarakat Indonesia
seperti penyandang cacat dan ‘luar biasa’ jelas memengaruhi cara pandang kita
terhadap para difabel. Penyandang cacat selama ini disebut dengan ragam kata
seperti tunarungu, tunawisma, dan tunagrahita. Bahkan, ketika bersekolah,
anak-anak dengan kebiasaan dan kemampuan berbeda ini dikelompokkan dan dididik
dalam sebuah sekolah luar biasa (SLB). Ini artinya kita belum cukup bijak
dalam melihat kenyataan ini, apalagi mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam. Hal itu menarik untuk dicerna, yaitu bagaimana sebenarnya pandang an
Islam tentang per bedaan kemampuan ini.
Pandangan
Islam
Sebenarnya tidak mudah menemukan
kata difabel dalam tradisi pemikiran dan
ajaran Islam. Sebagai agama yang
memiliki cara pandang universal tentang kemanusiaan, Islam tidak membedakan
suku, etnik, budaya, tradisi, dan bahkan agama. Bagi Islam, yang membedakan
seseorang dengan yang lain hanya terletak pada ketakwaannya, pada hatinya,
bukan pada simbol-simbol yang bersifat fisik. Di dalam Alquran jelas
dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan beragam suku bangsa dan perbedaan,
tetapi yang paling mulia di mata Allah ialah takwa dan kebaikan hati. Bahkan,
di dalam sebuah hadis, Nabi juga diingatkan bahwa Allah tidak memandang
kelebihan seorang manusia dari aspek yang melekat pada diri seseorang,
seperti pakaian dan bentuk fisiknya, tapi kebaikan hati (in nallaha la yanzuru ila suarikum, wa la ila ajsamikum,
walakinnallahi yanzuru ila qulubikum).
Tuhan dalam pandangan Islam
menciptakan manusia bukan hanya dengan kemampuan berbeda-beda (different able), melainkan juga dengan
rencana yang berbeda-beda. Penegasan itu sangat gamblang dan terang benderang
dijelaskan dalam Alquran Surah Alhujurat 49:13. Karena itu, alangkah baiknya jika perbedaan
itu tidak ditafsirkan sebagai kesialan/ke kurangan dengan istilah cacat. Dari
cara pandang ini, jelas Islam melihat difabel sebagai sesuatu yang wajar,
bukan mitos atau karena kutukan, bahkan takdir Tuhan semata, tetapi lebih
kepada upaya agar manusia lebih bisa belajar untuk saling menghargai
perbedaan satu dengan lainnya. Karena itu, wajar kalau persoalan difabel
tidak pernah secara spesifik disebut dan mendapat perhatian serta kajian,
baik dalam literatur utama umat Islam, Alquran dan hadis maupun dalam
kitab-kitab yang ditulis ulama. Dengan kata lain, Islam lebih memandang hal
yang subtantif daripada hal-hal yang bersifat artifisial serta lebih
menekankan amal atau perbuatan baik. Karena itu, ada yang menyebut Islam
ialah agama amal atau kerja, bukan agama wacana atau oral.
Perlakuan
seimbang
Jika cara pandang Islam terhadap
difabel sedemikian baiknya, pada tataran kebijakan, implementasinya
seharusnya juga demikian. Perlakuan seimbang terhadap para difabel di tengah
masyarakat perlu diterjemahkan secara konkret ke dalam sebuah kebijakan. Misalnya,
sekolah harus sudah mulai menerima anak-anak difabel ke dalam ruang belajar
yang sama dengan anak-anak lainnya. Pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, rumah
sakit, kantor polisi, dan area publik lainnya juga harus menyediakan
fasilitas yang sama terhadap para difabel karena pada dasarnya mereka juga
manusia yang sama dengan lainnya. Artinya, praktik diskriminasi terhadap para
difabel harus diminimalkan dengan penyediaan akses dan sarana yang sama
besarnya dengan nondifabel.
Penyediaan akses dan sarana bagi
para difabel kita pandang penting karena menurut data World Health Organization (WHO) jumlahnya mencapai 10% dari total
populasi, yang terdiri atas tunanetra (blind),
tunawicara (dumb), tunarungu (deaf), lumpuh (paralyze), dan lain-lain. Ini artinya, jika pembiayaan pendidikan
kita saja memiliki anggaran hampir 20% dari total RAPBN, berapa persen yang
sudah dialokasikan untuk para difabel? Jelas sekali perlakuan
nondiskriminatif diperlukan dalam menanganai isu dan masalah difabel ini,
bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga pada bidang kesehatan,
sosial, dan keagamaan.
Secara umum, agar masyarakat Indonesia menjadi lebih
familier dengan istilah difabel, sebaiknya Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengambil inisiatif untuk membuat semacam handbook tentang difabel yang menjelaskan antara lain tata cara
berkomunikasi dengan para difabel, petunjuk tentang hal-hal yang dibutuhkan
para difabel sesuai dengan perbedaannya, kiat praktis tentang cara agar
masyarakat bisa membantu meningkatkan kemampuan para difabel, serta hal-hal
apa yang sensitif dan sebaiknya dihindari masyarakat ketika berhadapan dengan
para difabel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar