Senin, 21 Desember 2015

Memahami Difabel, Menerima Perbedaan

Memahami Difabel, Menerima Perbedaan

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 07 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KATA lain dari penyandang cacat, baik mental maupun fisik, ialah difabel, sebuah kata yang merupakan gabungan dari kata different dan abilities yang berarti perbedaan kemampuan. Penggunaan kata difabel sebenarnya memiliki makna pengajaran yang baik, yaitu agar setiap orang bisa menghargai sekaligus menerima perbedaan yang dimiliki setiap orang karena secara alamiah perbedaan ialah given dan kehendak Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana halnya perbedaan warna kulit, etnik, agama, budaya, dan tradisi yang melekat pada diri seseorang, melihat perbedaan fisik dan kemampuan seseorang juga harus dalam kerangka menghargai perbedaan kemampuan yang diberikan Tuhan.

Namun, lebih dari sekadar penghalusan bahasa, difabel digunakan berdasarkan realitas bahwa setiap manusia diciptakan berbeda sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Setiap manusia diciptakan berbeda satu sama lain. Saya, kamu, dan kita semua pasti beda. Tidak ada yang sama. Hanya masalah kemampuan yang berbeda. Bukan berarti mereka tidak mampu sama sekali. Mereka (para difabel) dalam kenyataannya mampu melakukan apa yang biasa kita lakukan. Hanya, cara mereka yang berbeda.

Meskipun isu difabel relatif baru bagi publik Indonesia, kata lain yang sudah digunakan masyarakat Indonesia seperti penyandang cacat dan ‘luar biasa’ jelas memengaruhi cara pandang kita terhadap para difabel. Penyandang cacat selama ini disebut dengan ragam kata seperti tunarungu, tunawisma, dan tunagrahita. Bahkan, ketika bersekolah, anak-anak dengan kebiasaan dan kemampuan berbeda ini dikelompokkan dan dididik dalam sebuah sekolah luar biasa (SLB). Ini artinya kita belum cukup bijak dalam melihat kenyataan ini, apalagi mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hal itu menarik untuk dicerna, yaitu bagaimana sebenarnya pandang an Islam tentang per bedaan kemampuan ini.

Pandangan Islam

Sebenarnya tidak mudah menemukan kata difabel dalam tradisi pemikiran dan 
ajaran Islam. Sebagai agama yang memiliki cara pandang universal tentang kemanusiaan, Islam tidak membedakan suku, etnik, budaya, tradisi, dan bahkan agama. Bagi Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lain hanya terletak pada ketakwaannya, pada hatinya, bukan pada simbol-simbol yang bersifat fisik. Di dalam Alquran jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan beragam suku bangsa dan perbedaan, tetapi yang paling mulia di mata Allah ialah takwa dan kebaikan hati. Bahkan, di dalam sebuah hadis, Nabi juga diingatkan bahwa Allah tidak memandang kelebihan seorang manusia dari aspek yang melekat pada diri seseorang, seperti pakaian dan bentuk fisiknya, tapi kebaikan hati (in nallaha la yanzuru ila suarikum, wa la ila ajsamikum, walakinnallahi yanzuru ila qulubikum).

Tuhan dalam pandangan Islam menciptakan manusia bukan hanya dengan kemampuan berbeda-beda (different able), melainkan juga dengan rencana yang berbeda-beda. Penegasan itu sangat gamblang dan terang benderang dijelaskan dalam Alquran Surah Alhujurat 49:13.  Karena itu, alangkah baiknya jika perbedaan itu tidak ditafsirkan sebagai kesialan/ke kurangan dengan istilah cacat. Dari cara pandang ini, jelas Islam melihat difabel sebagai sesuatu yang wajar, bukan mitos atau karena kutukan, bahkan takdir Tuhan semata, tetapi lebih kepada upaya agar manusia lebih bisa belajar untuk saling menghargai perbedaan satu dengan lainnya. Karena itu, wajar kalau persoalan difabel tidak pernah secara spesifik disebut dan mendapat perhatian serta kajian, baik dalam literatur utama umat Islam, Alquran dan hadis maupun dalam kitab-kitab yang ditulis ulama. Dengan kata lain, Islam lebih memandang hal yang subtantif daripada hal-hal yang bersifat artifisial serta lebih menekankan amal atau perbuatan baik. Karena itu, ada yang menyebut Islam ialah agama amal atau kerja, bukan agama wacana atau oral.

Perlakuan seimbang

Jika cara pandang Islam terhadap difabel sedemikian baiknya, pada tataran kebijakan, implementasinya seharusnya juga demikian. Perlakuan seimbang terhadap para difabel di tengah masyarakat perlu diterjemahkan secara konkret ke dalam sebuah kebijakan. Misalnya, sekolah harus sudah mulai menerima anak-anak difabel ke dalam ruang belajar yang sama dengan anak-anak lainnya. Pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, rumah sakit, kantor polisi, dan area publik lainnya juga harus menyediakan fasilitas yang sama terhadap para difabel karena pada dasarnya mereka juga manusia yang sama dengan lainnya. Artinya, praktik diskriminasi terhadap para difabel harus diminimalkan dengan penyediaan akses dan sarana yang sama besarnya dengan nondifabel.

Penyediaan akses dan sarana bagi para difabel kita pandang penting karena menurut data World Health Organization (WHO) jumlahnya mencapai 10% dari total populasi, yang terdiri atas tunanetra (blind), tunawicara (dumb), tunarungu (deaf), lumpuh (paralyze), dan lain-lain. Ini artinya, jika pembiayaan pendidikan kita saja memiliki anggaran hampir 20% dari total RAPBN, berapa persen yang sudah dialokasikan untuk para difabel? Jelas sekali perlakuan nondiskriminatif diperlukan dalam menanganai isu dan masalah difabel ini, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga pada bidang kesehatan, sosial, dan keagamaan.

Secara umum, agar masyarakat Indonesia menjadi lebih familier dengan istilah difabel, sebaiknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengambil inisiatif untuk membuat semacam handbook tentang difabel yang menjelaskan antara lain tata cara berkomunikasi dengan para difabel, petunjuk tentang hal-hal yang dibutuhkan para difabel sesuai dengan perbedaannya, kiat praktis tentang cara agar masyarakat bisa membantu meningkatkan kemampuan para difabel, serta hal-hal apa yang sensitif dan sebaiknya dihindari masyarakat ketika berhadapan dengan para difabel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar