Ketimpangan dan Reformasi Pasar
Muhammad Syarkawi Rauf ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KOMPAS,
29 Desember 2015
Manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
lebih banyak dinikmati segelintir orang terkaya. Bahkan, 1 persen orang
terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan Indonesia.
Ketimpangan kesejahteraan pun melebar (Kompas,
9/12/2015).
Peningkatan output nasional yang tecermin pada produk domestik
bruto (PDB) harga berlaku, yaitu dari Rp 1.646 triliun tahun 2001 menjadi Rp
3.950 triliun tahun 2007 dan Rp 10.094 triliun tahun 2014, lebih banyak
dinikmati kurang dari lima pemain besar di setiap sektor. Hal itu dapat
diamati pada semakin meningkatnya jumlah industri yang dikuasai hanya satu
sampai tiga pemain besar dengan penguasaan lebih dari 50 persen pangsa pasar.
Hasil olahan data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menunjukkan, dari sekitar 409 kegiatan usaha, sebanyak 55,25 persen (226)
kegiatan usaha memiliki tingkat konsentrasi lebih dari 75 persen, sebanyak
26,16 persen (107) kegiatan usaha memiliki konsentrasi 50-75 persen, dan
18,60 persen (76) kegiatan usaha memiliki konsentrasi kurang dari 50 persen. Tidak
terhindarkan, ketimpangan pendapatan yang tecermin pada indeks gini (gini
ratio) juga semakin melebar. Indeks gini secara nasional meningkat dari 0,308
tahun 1999 menjadi 0,329 tahun 2002, 0,364 tahun 2007, dan 0,413 tahun 2013.
Indonesia menjadi negara dengan ukuran PDB terbesar sekaligus mengalami
ketimpangan terparah di Asia Tenggara, setara dengan Etiopia dan Pantai
Gading (Kompas, 9/12/2015).
Konsentrasi
pasar
Ketimpangan melebar disebabkan oleh penguasaan pasar yang
semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan pada penguasaan pasar oleh kurang dari
lima pelaku usaha di komoditas pangan, obat, keuangan, pertambangan, dan
lainnya. Struktur oligopoli yang mengarah ke kartel telah merampas
kebahagiaan (surplus) yang seharusnya dinikmati masyarakat berpendapatan
menengah ke bawah.
Kartel adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang mengeksploitasi masyarakat miskin
dengan cara membatasi pasokan (output
restriction) dan menetapkan harga tinggi (price fixing). Hal ini berpotensi terjadi pada industri obat
nasional, khususnya obat paten dan generik bermerek, serta perdagangan
komoditas pangan, seperti beras yang dikuasai oleh kurang dari lima pedagang
besar di tiap-tiap provinsi.
Tingkat konsentrasi industri tinggi yang tecermin pada
penguasaan pasar oleh empat perusahaan terbesar di tiap-tiap sektor (CR4)
dapat diamati pada industri manufaktur nasional di mana CR4 industri
manufaktur meningkat menjadi 54 persen pada 2012.
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tanpa
sadar memfasilitasiterjadinya penguasaan pasar melalui kebijakan tata niaga
di sejumlah komoditas pangan. Pada sisi hulu dilakukan pembatasan melalui
kebijakan kuota, tetapi pada sisi hilir pemegang kuota impor dibiarkan tanpa
pengawasan ketat, seperti yang terjadi dalam kasus dugaan kartel daging sapi.
Selain itu, kebijakan pemerintah juga banyak mendorong
terjadinya integrasi vertikal dalam bentuk penguasaan pasar dari hulu ke
hilir. Kebijakan ini jelas menafikan kemitraan antara pelaku usaha besar dan
kecil. Bahkan, integrasi vertikal lebih mengarah proses monopolisasi (abused of monopoly position).
Reformasi
pasar
Daron Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas
Harvard dalam bukunya, Why Nations
Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty, berkesimpulan bahwa ketimpangan
di negara miskin lebih disebabkan kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang
bersifat ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir oligopolis.
Sesuai dengan fakta-fakta dan pandangan kedua ekonom di atas,
langkah strategis dan mendesak yang dapat dilakukan pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla adalah melaksanakan reformasi pasar (market reform).
Reformasi pasar difokuskan pada tiga agenda, yaitu regulatory review,
reformasi struktur pasar, dan perubahan perilaku.
Regulatory
review dimaksudkan untuk menilai ulang seluruh
UU, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah yang
menciptakan hambatan masuk (barrier to
entry) bagi pelaku usaha baru di setiap sektor strategis. Proses regulatory review menghasilkan
rekomendasi untuk mengubah seluruh produk kebijakan yang selama ini
memfasilitasi praktik monopoli.
Regulatory review tak dilakukan secara ad hoc ketika terjadi
krisis saja, seperti kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang sedang
berjalan. Pelembagaan regulatory review
berbasis pada tiga pilar: persaingan usaha sehat, pelayanan publik, dan tata
pemerintahan yang baik langsung berada di bawah Presiden dan Wakil Presiden
karena bersifat lintas sektor.
Pengalaman productivity commission di Australia, yang aktif
melakukan regulatory review terhadap seluruh regulasi yang jadi rujukan
pengambil kebijakan, proses ini telah mampu meningkatkan produktivitas yang
jadi basis pertumbuhan ekonomi Australia jangka panjang.
Agenda kedua adalah reformasi struktur pasar. Agenda ini diarahkan
untuk mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru di setiap sektor
strategis. Salah satu fokusnya adalah sektor jasa, mengingat sektor ini
merupakan sektor non tradable yang paling restriktif di Indonesia.
Reformasi struktur pasar tidak untuk mematikan pelaku usaha yang
sudah ada, tetapi mendorong munculnya pelaku usaha baru di setiap sektor. Hal
ini dapat dilakukan seiring semakin meningkatnya ukuran ekonomi nasional yang
diperkirakan sudah lebih besar dari Rp 11.000 triliun pada 2015.
Agenda ketiga adalah perubahan perilaku yang menekankan
pencegahan tanpa mengabaikan penegakan hukum persaingan. Tindakan pencegahan
dilakukan melalui advokasi kebijakan dengan prinsip, yaitu mencegah
terjadinya pelanggaran lebih baik dibandingkan menghukum, tanpa melupakan
penegakan hukum terhadap mereka yang terbukti bersalah.
Akhirnya, dalam jangka menengah, reformasi pasar diharapkan
mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomian nasional yang
akan menjadi basis pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Reformasi
pasar akan mengurangi penguasaan pasar dan selanjutnya mengurangi ketimpangan
pendapatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar