Kesadaran
Jean Couteau ; Penulis Kolom”UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
06 Desember 2015
Seminggu lalu, di
tengah gelap-gulitanya situasi internasional, tiba-tiba tampil di peta dunia
beberapa kedipan sinar harapan. Dari mana dipancarkannya? Dari delapan
perwakilan Indonesia di Amerika dan Eropa. Ya, pada 28 November 2015, mereka
serentak merayakan jatuhnya Hari Raya Saraswati, hari raya Hindu Bali yang
menyambut ”turunnya” pengetahuan untuk mencerahkan manusia. Pancasila ternyata
berfungsi: hari raya Hindu pun dirayakan secara besar-besaran di perwakilan
luar negeri, lengkap dengan pidato dan kegiatan budaya. Suatu tanda
pencerahan luar biasa.
Namun, hal-ihwal
Saraswati dan ”pencerahan” tidak terhenti pada segi etnis-religius Bali saja.
Perayaan Saraswati melambangkan Pengetahuan bukan hanya sebagai ilmu,
melainkan lebih jauh lagi sebagai ”kesadaran”, sikap ”eling” yang hendaknya
menghuni pikiran manusia. Sikap itu ”diajarkan” melalui salah satu mitos
kunci dari tradisi Jawa-Bali—mitos pengadaban yang sebanding dengan mitos
Oedipus di dalam tradisi Yunani.
Simak inti mitos
tersebut: Ditinggal oleh ayahnya, Giriswara, Watugunung diasuh oleh ibu
kandungnya, Sinta, dan Landep, ibu tirinya. Dia bersikap ”raksasa”. Maka
ibunya memukul kepalanya. Watugunung meninggalkan Sinta dan Landep dan
akhirnya bertapa. Tapanya sedemikian hebat sehingga kahyangan oleng-kemoleng.
Terganggu, Batara Siwa turun dan bertanya kepada Watugunung: ”Apakah kau
ingin suatu anugerah?” Titahnya, ”Maka kau akan mengalahkan ke-27 raja yang
berkuasa atas negeri-negeri di Mayapada, tetapi kau akhirnya akan dikalahkan
makhluk berkepala penyu….”
Watugunung memang
menjadi penguasa ke-27 negeri. Akan tetapi, keserakahan terus
menghinggapinya. Ketika diberi tahu bahwa ”di seberang gunung hidup dua ratu
cantik”. Watugunung memeranginya, demi menikahi kedua ratunya…. Loh, apa
hasil kemenangannya? Ketika di peraduan, apa yang dilihat oleh ratu pertama,
yang tiada lain adalah Sinta, sebuah parut luka yang aneh: astaga, insyaflah
dia telah bersetubuh dengan anaknya! Menyadari aib takdirnya, Sinta dan
Landep mencari jalan keluar. Ditantanglah Watugunung: ”O Watugunung, kami hanyalah wanita biasa. Yang pantas kamu nikahi
bukanlah kami, melainkan sang dewi Nawang Ratih, istri dari Batara Wisnu?”
Dewa Wisnu murka.
Menyusullah perang dahsyat. Wisnu menampakkan diri sebagai makhluk berkepala
penyu. Lalu Watugunung terbunuh. Namun, berkali-kali menyongsong ajal, sang
raksasa dihidupkan kembali berkat intervensi Siwa yang akhirnya bersabda: ”Hai Wisnu, janganlah kau membunuh
Watugunung. Jadikanlah dia penguasa kalender dan berikan namanya pada minggu
penutup kalender, dan nama ibu serta ibu tirinya pada kedua minggu awal
kalender, disusul raja-raja taklukannya. Lebih penting lagi, jadikanlah hari
terakhir kalender ini sebagai hari Pengetahuan, Hari Saraswati…”.
Hari Saraswati
melambangkan pencerahan, yaitu timbulnya kesadaran adab multi-bentuk pada
diri manusia, yaitu kesadaran tentang pantangan seksual, terutama inses;
kesadaran tentang perlunya pembagian waktu, melalui kalender; serta kesadaran
tentang pentingnya aturan sosial dan agama. Ajaran ini menarik dibandingkan
dengan sekilas dengan ajaran mitos Oedipus dari tradisi Yunani. Keduanya
sama-sama mengutuk inses. Namun, berbeda dengan Oedipus yang membutakan diri
setelah tahu telah meniduri ibunya, Wutugunung sebaliknya tercerahkan. Lalu
bila Oedipus berontak terhadap takdir dan para dewata—jalur pengadaban
antroposentris kebudayaan Barat, sebaliknya Watugunung membuka jalur
pengadaban dalam dan melalui agama (Dewi Saraswati)—jalur pengadaban kosmo
dan agama sentris dari kebudayaan Timur.
Maka, jangan keliru,
yang utama pada Saraswati bukanlah segi Hindu-nya, bukanlah pula pengetahuan
sebagai jumlah ajaran yang harus diketahui, melainkan lebih jauh pengetahuan
sebagai ”kesadaran” nan eling, sebagai upaya mengatasi keraksasaan dan
mengangkat hasrat spiritual yang hadir terbenam di dalam jati diri kita
setiap manusia. Kesadaran tersebut hadir pada Pancasila dan telah hadir pula
pada keputusan Deparlu untuk merayakan Saraswati di Eropa dan Amerika sana.
Maka, bravo Indonesia.
Namun, ketahuilah pula
Saudaraku bahwa di mana pun kita berada, apakah di sini dalam diri ataupun di
Paris, Suriah atau Poso sana, tetap berkeliaran aneka raksasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar