Kekuasaan dan Godaan
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional Jakarta
|
KOMPAS,
30 November 2015
Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a
man's character, give him power.
( Abraham Lincoln )
Kutipan dari salah
satu presiden legendaris Amerika Serikat di atas lazim dikemukakan dalam
pembicaraan tentang kekuasaan dan godaan.
Bahwa "semua
orang tahan dengan kesengsaraan, tetapi apabila ingin mengetahui karakter
seseorang, berilah dia kekuasaan". Lincoln menempatkan kekuasaan sebagai
ujian, apakah pemegang kekuasaan berkarakter pemimpin sejati atau imitasi.
Sudah banyak
"dalil kekuasaan" yang selaras dengan itu. Paling terkenal,
barangkali, aksioma Lord Acton, "Kekuasaan cenderung diselewengkan oleh
pemegangnya dan kekuasaan mutlak sudah pasti menyeleweng". Juga,
misalnya, Al Ghazali yang menyitir kekuasaan itu memabukkan, pemegangnya baru
sadar ketika kekuasaan sudah tidak lagi ada dalam genggaman.
Konflik kepentingan
Filsuf Immanuel Kant
mengibaratkan bahwa dalam diri seorang politisi ada dua binatang: ular dan
merpati (Thompson, 2001). Yang satu simbol kelicikan, yang satu lagi
ketulusan. Godaan akan muncul setiap hari apabila seseorang punya jabatan
politik atau kewenangan kekuasaan, apakah akan bertahan di posisi merpati
atau membiarkan ular mencaploknya.
Politisi, seorang yang
terpanggil berjuang di dunia politik untuk tujuan-tujuan kebaikan
bersama-setidaknya demikian pandangan Aristotelian-memang lazim dihadapkan
pada situasi dan pilihan-pilihan dilematis. Dilema politisi biasanya
dikaitkan, terutama, dengan konteks kebijakan atau pengambilan keputusan.
Pemimpin politik harus memutuskan, dan dengan begitu ia akan dinilai.
Yang juga paling
sering diingatkan kepada mereka terkait konflik kepentingan pemegang
kekuasaan, pemimpin politik, pengambil kebijakan tak bisa mengelak dari
prinsip-prinsip profesionalitas dan aturan konstitusi demokratis. Politisi
bisa datang dari mana saja, tetapi dalam konteks ini yang secara khusus banyak
diingatkan ialah politisi berlatar belakang pengusaha. Sudah banyak ulasan
yang menyinggung bahaya "dwifungsi penguasa-pengusaha". Tentu tidak
hanya jenis "politisi pengusaha" yang rentan godaan konflik
kepentingan, tetapi juga yang lain.
Empat dimensi kekuasaan
Sejak Robert H Dahl
menggulirkan definisi mengenai kekuasaan, wacana tentangnya berkembang. Dahl
menjelaskan, A memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat memengaruhi B untuk
melakukan sesuatu yang sebenarnya tak dikehendaki B. Dalam Concise Dictionary of Politics, McLean
dan McMillan (2003) memperjelas bahwa A punya pengaruh atas pilihan dan
tindakan B, selain A memiliki kapasitas menggerakkan pilihan dan langkah B,
sekaligus dalam mengesampingkan perlawanan B. Hubungan A dan B adalah bagian dari
suatu struktur sosial dan cenderung terus berlangsung.
Kekuasaan versi Dahl
ini dikategorikan sebagai pandangan satu dimensi kekuasaan (one-dimensional view of power).
Intinya, ia memfokuskan pengamatannya pada tingkah laku aktor politik dalam
proses pengambilan keputusan terhadap berbagai isu kunci, yang memunculkan
konflik aktual antar-kepentingan subyektif yang sifatnya bisa diamati.
Kepentingan dilihat sebagai pilihan-pilihan kebijakan yang diungkapkan
melalui partisipasi politik sehingga konflik kepentingan identik dengan
konflik preferensi kebijakan.
Pandangan dua dimensi
kekuasaan (two-dimensional view of
power) yang dikemukakan Bachrach dan Baratz, melihat kekuasaan tidak
sekadar melibatkan para pengambil keputusan, tetapi juga yang bukan pengambil
keputusan. Lantas, pandangan tiga dimensi kekuasaan (three-dimensional power), sebagaimana disampaikan Lukes, melihat
kekuasaan mungkin saja digunakan dalam situasi konflik potensial atau laten.
Lukes berpendapat penggunaan kekuasaan adalah suatu fungsi dari kekuatan
kolektif dan pengaturan sosial.
Selanjutnya, pandangan
dimensi keempat kekuasaan (four-dimensional
view of power), sebagaimana disampaikan Isaac dan Benton, melihat
kekuasaan pada individu sebagai bagian dari produk lingkungan sosialnya.
Karena itu, analisis kekuasaan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan dari
struktur sosial di mana aktor-aktor tersebut terlibat dan berpartisipasi.
Kekuasaan dimiliki dan digunakan oleh masing-masing sebagai individu, tetapi
oleh orang dalam kapasitasnya sebagai yang memiliki posisi dan peranan
tertentu dalam masyarakatnya.
Pandangan-pandangan
tersebut saling melengkapi. Kekuasaan itu, meminjam Daniel Dhakidae (2015),
"Begitu nyata, sekaligus juga begitu misterius". Dimensi kekuasaan
mengaitkannya dengan kebijakan dan tanggung jawab sosial. Apakah kekuasaan
itu tampak atau misterius, kalau sudah menyangkut kebijakan, urusannya publik
dirugikan atau tidak baik jangka pendek atau panjang.
Amanat dan deliberasi
Moralitas kekuasaan
selalu terkait tanggung jawab sosial. Para pejabat politik hakikatnya pelayan
pemberi amanat rakyat. Mereka pelayan rakyat. Pemimpin politik harus peka dan
tidak perlu menuding pengkritiknya sebagai membela "rakyat yang
mana". Lebih baik justru menyikapi kritik apa pun secara bijak dan
introspektif. Yang dikedepankan semestinya disiplin demokrasi deliberatif,
mengingat deliberasi (permusyawaratan) dapat meningkatkan kualitas kebijakan
publik.
Argumentasi itu
disampaikan Held (2007) karena adanya pertukaran informasi dan wawasan, meningkatkan
kemampuan pemahaman masalah. Selain itu, ia memetakan kepentingan pribadi
atau kelompok sekaligus berorientasi kepentingan bersama, dan mengganti
"bahasa kepentingan" dengan "bahasa rasionalitas".
Ketika pemimpin
politik meninggalkan "nalar publik" dan sibuk berselancar pada
urusan menyerempet-nyerempet bahaya (vivere
pericoloso) konflik kepentingan, maka ibarat tupai: sepandai-pandai ia
melompat, suatu saat akan gagal juga. Dan, nasihat Lincoln pun bisa kita
tambah, "Godaan datang setiap saat, maka wahai 'pemegang kekuasaan',
waspadalah." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar