Kehadiran
Negara di Tanah Papua
Neles Tebay
; Pengajar pada STF Fajar Timur;
Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura
|
KOMPAS,
30 Desember 2015
Presiden Joko Widodo mempunyai perhatian yang besar terhadap
Papua.
Hal ini diperlihatkan, sekali lagi, melalui pernyataannya bahwa
kehadiran negara harus dirasakan masyarakat di tanah Papua melalui
pelaksanaan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, kawasan
industri, dan juga pembangunan pasar tetap, serta pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan pelayanan sosial yang amat diharapkan warga Papua. Untuk itu,
presiden meminta para menterinya agar dalam tahun 2016 seluruh kementerian,
termasuk TNI/Polri, dapat secara terintegrasi menjalankan programnya dan pola
pembangunan ke depan harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat Papua (Kompas.com, 3/12).
Kompleksitas
masalah
Pembangunan Papua menuntut adanya pemahaman menyeluruh tentang
kompleksitas permasalahan di Papua. Papua mempunyai masalah keterisolasian
wilayah. Jokowi akan mengatasi masalah ini melalui pembangunan infrastruktur,
seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan kawasan industri, dan lain-lain.
Pembangunan perekonomian di tanah Papua pun berjalan lambat.
Sudirman Said selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
mengumumkan (20/9/2015) komitmen pemerintah mengatasi masalah ini melalui
percepatan pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam. Konon suatu badan
atau lembaga baru akan—atau bahkan sudah—dibentuk untuk mendorong percepatan
pembangunan di sektor ekonomi.
Berbagai pertemuan, seperti seminar, diskusi grup fokus,
lokakarya, konsultasi publik, pertemuan eksploratif tentang Papua yang
diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) sejak 2010 hingga kini memperlihatkan adanya kompleksitas
permasalahan di tanah Papua. Masalah yang dihadapi rakyat Papua tidak hanya
terbatas pada bidang infrastruktur dan perekonomian, tetapi juga mencakup
bidang lain.
Pada sosial budaya, JDP dan LIPI menemukan masalah, antara lain,
terabaikannya hak-hak dasar sosial budaya orang asli Papua, perusakan dan
penghancuran tempat sakral, stigma dan diskriminasi terhadap orang Papua,
kurangnya pengakuan pemerintah terhadap sistem dan struktur pemerintahan
adat, dan perampasan tanah ulayat masyarakat adat secara sistematis atas nama
pembangunan.
Pada pendidikan ditemukan, antara lain, masalah keterbatasan dan
tak meratanya tenaga pengajar dan sarana prasarana pendidikan yang
berkualitas, serta belum terakomodasinya nilai-nilai budaya Papua dalam
kurikulum pendidikan.
Dalam kesehatan dijumpai masalah, antara lain, terbatasnya dan
tak meratanya tenaga kesehatan yang berkualitas, terbatasnya sarana prasarana
kesehatan, rendahnya gizi masyarakat, tingginya angka kematian ibu hamil dan
anak, tingginya angka pengidap HIV/AIDS, TB, dan malaria.
Pada politik, hukum, dan keamanan, JDP dan LIPI merekam, antara
lain, adanya konflik vertikal antara pemerintah dan orang Papua yang
mengasosiasikan dirinya dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), stigma
separatis terhadap orang Papua, stigma penjajah terhadap pemerintah,
kekerasan yang dilakukan baik TNI dan Polri maupun Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat yang merupakan sayap militer dari OPM, adanya kekerasan
politik dalam pemilihan kepala daerah, korupsi, dan kebijakan keamanan yang
masih berorientasi pada state security
dan belum pada human security. Selain itu, Papua masih menyimpan masalah
marjinalisasi orang asli Papua, masalah sosial, sejarah, keamanan, hukum,
masalah HAM, lingkungan hidup, dan kependudukan.
Solusi
komprehensif
Kompleksitas permasalahan Papua menuntut adanya suatu solusi
komprehensif yang mencakup berbagai sektor kehidupan, seperti yang
digambarkan di atas. Solusi tersebut mesti ditetapkan bersama oleh semua
pemangku kepentingan. Solusi parsial/sektoral, tambah lagi tanpa adanya
koordinasi dan sinergi antarkementerian dan lembaga, tak akan berhasil
mengatasi kompleksitas permasalahan Papua.
Solusi komprehensif dapat ditemukan melalui dialog inklusif yang
melibatkan semua pemangku kepentingan. Dialog mesti dimulai dari kampung/desa
untuk mengakomodasi aspirasi rakyat Papua tentang pembangunan dan perdamaian.
Dalam suatu Dialog Internal Papua (DIP) yang diadakan di setiap
kabupaten/kota, segala permasalahan, harapan, aspirasi yang telah diakomodasi
dapat dibahas bersama dan selanjutnya ditetapkan sebagai aspirasi rakyat
sekabupaten.
Semua aspirasi kabupaten/kota selanjutnya dipresentasikan pada
suatu Konferensi Perdamaian Rakyat Papua yang dihadiri wakil-wakil orang asli
Papua dan paguyuban (non-Papua) yang hidup di tanah Papua. Setelah didalami
melalui diskusi kelompok dan dibahas bersama melalui pleno, aspirasi semua
kabupaten dipadukan menjadi aspirasi bersama rakyat Papua setanah Papua.
Aspirasi ini mencakup masalah yang mesti diatasi, kebutuhan yang perlu
dipenuhi, dan harapan yang perlu dicapai lewat pembangunan berkelanjutan.
Aspirasi rakyat Papua ini selanjutnya dibahas melalui dialog
sektoral yang dihadiri wakil dari kementerian terkait, instansi terkait
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, organisasi nonpemerintah yang bergerak
di sektor terkait, dan para pakar. Dialog sektoral ini diakhiri melalui suatu
pertemuan nasional yang diadakan untuk memadukan dan menyinergikan semua
hasil dialog sektoral sehingga menghasilkan suatu kebijakan komprehensif.
Melalui mekanisme yang inklusif ini, semua pihak akan merasa
dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan dan memiliki isinya
sehingga terpanggil bertanggung jawab atas implementasi kebijakan tersebut.
Dengan cara ini rakyat Papua akan merasakan manfaat kehadiran negara di Bumi
Cenderawasih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar