Kebebasan Berekspresi di Era Pengintaian
Miftah Fadhli ;
Peneliti Hak Asasi Manusia
di Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat
|
KOMPAS,
03 Desember 2015
Dalam dunia di mana
penggunaan teknologi semakin canggih, Pramod K Nayar dalam buku Citizenship and Identity in the Age of
Surveillance (2015) melihat bahwa praktik pengintaian bukan lagi sekadar
ihwal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi belaka.
Pengintaian, menurut
Nayar, telah menjadi kultur, cara hidup, yang olehnya bisa digambarkan lewat
modifikasi adagium René Descartes yang terkenal itu: aku diintai, maka aku ada.
Sebagai sebuah kultur,
Nayar percaya bahwa fenomena pengintaian menciptakan tiga diskursus yang
saling terhubung sebagai fondasi ideologis dan ideasional dari kultur
pengintaian: kerentanan, keamanan, dan pengawasan. Praktik pengintaian
menciptakan ruang hidup yang baru, gaya hidup baru yang modern, yang tak
dapat dielakkan di satu sisi, tetapi juga dilematis di sisi lain.
Pertama-tama,
orang-orang harus percaya bahwa mereka hidup dalam kerentanan. Itulah
konstruksi, apa yang oleh Torin Monahan (2010) sebut ”subyek yang gelisah” (insecurity subjects). Kemudian mereka
akan menjadi percaya bahwa ruang publik, tempat orang-orang berkumpul dan
lalu lalang, harus steril dari sikap-tindak yang mengancam keselamatan diri.
Tindakan pengintaian
mengkreasikan diskursus ”keamanan publik” sebagai kebutuhan untuk menekan
perasaan tidak aman di ruang publik. Sejak saat itu, kota-kota mulai
dipasangi CCTV dan teknologi biometrik pada kartu identitas diterapkan.
Seluruh informasi tentang diri kita harus diketahui untuk memastikan kita
bukan ancaman bagi ruang publik.
Persoalannya, bagi
Nayar, orang-orang mulai bertingkah berlebihan ketika pertanyaan tentang
masalah ”keamanan sosial” dalam masyarakat—ketidaksetaraan, kemiskinan,
pengangguran, akses pendidikan, dan kesehatan—diterjemahkan melalui kebijakan
pemasangan metal detector atau pengembangan teknologi penyadapan demi
keamanan ruang publik belaka.
Masalah terorisme, misalnya,
semata-mata diselesaikan dengan menyadap seluruh percakapan komunikasi
penduduk dengan teknologi yang mampu mencuri seluruh informasi tentang diri
seseorang. Melupakan persoalan ketidaksetaraan sosio-ekonomi, untuk menyebut
salah satu, yang menggiring seseorang meledakkan dirinya di tempat umum. Atau
pemerkosaan di kendaraan umum diselesaikan justru dengan mengontrol cara
berpakaian orang lain tanpa melihat adanya persoalan relasi kuasa timpang
antara laki-laki dan perempuan.
Privasi, ekspresi, dan pengintaian
Kendati dapat menjadi
salah satu cara untuk mendeteksi tindak kejahatan, praktik pengintaian
sesungguhnya menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Martin Scheinin dalam laporan
Pelapor Khusus PBB untuk Pemberantasan Terorisme (2009) mengidentifikasi
empat efek samping yang ditimbulkan praktik pengintaian, yakni: (1)
menimbulkan ketakutan yang luar biasa terhadap kebebasan berekspresi, (2)
mengancam hak untuk berserikat dan berkumpul, (3) membatasi seseorang untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan (4) berpotensi menimbulkan
peradilan sesat jika pengintaian dilakukan kepada orang dan terhadap
informasi yang salah.
Pengaksesan informasi
pribadi melalui praktik pengintaian—penyadapan komunikasi, pengintaian
massal, penggalian data, pemantauan aktivitas internet—berkorelasi dengan
penikmatan hak untuk berekspresi dan berpendapat. Perlindungan terhadap
privasi memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri apa adanya.
Namun sebaliknya, pengintaian, sebagaimana diungkapkan Nayar, menuntun
individu bersikap semata-mata berdasarkan standar publik yang dikehendaki.
Pengintaian
mensyaratkan kategorisasi, pemilahan secara sosial, sehingga individu akan
dibagi-bagi berdasarkan kategori identitas yang banal: yang dikehendaki dan
yang tidak dikehendaki. Pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan, pengintaian
justru menggiring pada eksklusi sosial jika identitas kelompok—agama,
orientasi seksual, ras, suku bangsa, pandangan politik—terkategorisasi
sebagai ancaman publik.
Pengintaian: kebebasan
Peningkatan keamanan
publik bagi sejumlah negara Eropa dan Amerika telah menjadi hal yang
terus-menerus dipertimbangkan selama satu dekade terakhir. Setelah peristiwa
penyerangan di Paris, Perancis, baru-baru ini, sejumlah negara, seperti
Belgia dan Amerika Serikat, memperketat keamanan di ruang publiknya.
Indonesia sendiri meresponsnya dengan meningkatkan jumlah pasukan pengamanan
di beberapa tempat penting di Jakarta, termasuk di Kedutaan Perancis.
Di Amerika Serikat,
wacana untuk memperkuat strategi pengintaian—termasuk pengawasan terhadap
kode terenskripsi—kembali meningkat pasca ledakan bom di Paris. Enskripsi
baru-baru ini menjadi perhatian serius Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan
Berekspresi dan Berpendapat (David Kaye, 2015) karena kemampuannya untuk
melindungi privasi individu dan mendorong pemajuan hak atas kebebasan
berekspresi dan berpendapat.
Nyatanya, praktik
pengintaian tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pemberantasan terorisme.
Pengintaian juga dilakukan untuk kebutuhan penegakan hukum lain, seperti
korupsi, perdagangan narkoba, pencucian uang, perdagangan orang, dan
kejahatan siber. Pengintaian juga digunakan oleh sektor privat—bahkan
melampaui kepentingan konsumen—untuk menyeleksi populasi konsumen yang
menjadi target pemasaran produk.
Meningkatnya praktik
pengintaian harus ditanggapi bukan lagi sekadar sebagai kebutuhan untuk
menanggulangi kejahatan global yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia.
Pengintaian harus dimaknai sebagai ”salah satu cara” dan oleh karena itu
seharusnya mendukung kebutuhan masyarakat manusia untuk hidup berdampingan
secara demokratis.
Hal terpenting adalah
praktik pengintaian tidak dijadikan alat untuk mengabaikan persoalan esensial
kemanusiaan—kemiskinan, ketidaksetaraan, diskriminasi—yang memisahkan individu
dari kebebasannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar