Kangen
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
20 Desember 2015
Teman saya
mengirimkan pesan terbuka di sebuah media sosial bahwa ia kangen sama saya.
Ia bukan seorang teman lama, tetapi kami sudah lama tak berjumpa. Belakangan,
beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Satu di antara mereka adalah
yang memang sudah lama sekali tidak berjumpa.
Sibuk
Setelah
membaca beberapa pesan itu, saya melakukan usaha agar kekangenan itu dapat
segera terpenuhi. Kata segera itu lahir karena otak saya yang berpikir
demikian. Namanya juga kangen, artinya bukan sekadar ingin bertemu.
Nah, karena
pikirannya begitu, eksekusinya adalah mengirim pesan langsung alias japri
kepada mereka yang katanya kangen itu. Tetapi, apakah hasilnya? Sampai
tulisan ini saya buat, saya belum berjumpa dengan mereka. Kalau dihitung,
sudah nyaris dua minggu sejak berita rindu itu berada di ruang publik.
Kalau ditanya
mengapa masih juga belum melepas rindu? Yang satu menjawab masih sibuk dan
yang satu lagi tidak menjawab sama sekali sampai artikel ini saya tulis.
Peristiwa inilah yang memberi inspirasi menuliskan artikel untuk kolom
mingguan ini. Ternyata bingung itu bisa menjadi sumber inspirasi menulis.
Saya bingung
karena mulut bilang kangen, tetapi niat untuk melepas rindu tak ada sama
sekali. Karena saya takut salah mengartikan kata kangen, maka saya melihat
kamus bahasa Indonesia. Siapa tahu kalau ternyata kata kangen itu sama sekali
tidak menunjukkan adanya sense of
urgency.
Kangen dalam
kamus besar yang saya lihat secara online penjelasannya singkat sekali, tegas
dan jelas. Kangen itu ingin sekali bertemu; rindu. Nah, kalau demikian
artinya, maka derajat keinginan berjumpa di atas rata-rata. Kata sekali dalam
kalimat ingin sekali bertemu menunjukkan bahwa inginnya itu bukan ingin yang
ecek-ecek, bukan hanya sekadar ucapan bibir semata. Ya, kan?
Nah, kalau
kemudian saya mendapat jawaban sibuk, apakah kira-kira yang ada di benak
mereka ketika menuliskan pesan rindu itu? Sungguh saya tak tahu. Buat saya
yang lebih penting, di lain waktu kalau ada yang menuliskan atau menyuarakan
kangen banget, saya tak perlu terlalu gegabah menanggapinya.
Penipu
Kejadian itu
persis seperti banyak manusia yang mengirimkan pesan untuk menanyakan sesuatu
kepada saya, dan ketika yang sesuatu itu sudah didapati, beberapa di antara
mereka mengakhiri percakapan dengan kalimat super basi, cliché dan munafik, I miss
you dear.
Saya
mengelompokkan sebagai ucapan yang tak bermakna sama sekali. Saya sungguh
yakin mereka sama sekali tidak merasa kangen dan rindu, yang penting apa yang
mereka butuhkan sudah ada di tangan. Kalimat penuh kepalsuan itu adalah
kalimat penutup yang kelihatan santun dan melibatkan emosi ke dalamnya.
Padahal, sama sekali itu bukan emosi. Itu penipuan.
Nah, karena
saya ditipu, selama ini saya menipu balik dengan membalas I miss you too. Padahal, saya miss mereka saja tidak. Saya tahu,
Anda mungkin berpikir, elo gak ada bedanya. Dua-duanya penipu. Saya menerima
dengan senang hati kalau Anda berpikir demikian. Sejujurnya saya melakukan
penipuan dengan kalimat I miss you
itu sudah berjuta-juta kali.
Mengapa saya
ikut-ikutan jadi penipu, karena saya sungkan. Masak orang bilang aku kangen
kamu, saya tidak membalas dengan kalimat yang sama? Sama seperti kalau orang
menutup percakapan dengan emoticon
mencium, maka saya membalas dengan hal yang sama.
Kan katanya
menurut etika pergaulan, harus demikian adanya. Tidak sopan kalau tidak
membalas. Meski dalam kenyataannya, saat saya berjumpa dengan beberapa
manusia berpredikat socialite,
ciuman pipinya pun hanya basa-basi. Artinya tidak bersentuhan. Mereka memberi
istilah air kiss. Jadi yang dicium
udara, bukan sentuhan dua pipi manusia.
Menipunya
karena tidak ada kesungguhan di dalamnya. Tidak sungguh-sungguh kangen, tidak
sungguh-sungguh ingin sekali bertemu, tidak sungguh-sungguh ingin mencium
sebagai sebuah bentuk mengungkapkan perasaan. Tidak sungguh-sungguh melakukan
sebuah kebaikan.
Kalimat
kangen atau I miss you itu seperti
rambut palsu. Kelihatan cantik, tetapi toh tetap palsu. Kemudian nurani saya
menyerang di saat yang tepat. "Makanya,
kalau kamu berdoa, juga jangan palsu. Berdoa itu dengan perasaan rindu
berjumpa dengan Tuhan, dengan cinta. Jangan basa-basi, jangan cuma berdoa
kalau ada maunya doang."
"Berhenti
jadi penipu. Gak usah bilang kangen kalau kagak kangen. Jadi manusia itu
mukanya cukup satu, enggak usah sampai punya dua. Kayak sepasang sepatu aja.
Emang sana sepatu?" Kalau nurani sudah sebawel seperti ini, saya mending
mengalah saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar