Jalur Etika dan Hukum
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 28 November 2015
Melalui media dan
rubrik ini saya sudah pernah menulis tentang jalur penyelesaian kasus
pelanggaran etika dan hukum serta makna asas praduga tak bersalah yang sering
kali disalahartikan.
Setelah mencuatnya
kasus perpanjangan kontrak Freeport, masalah tersebut menjadi bahan
perdebatan lagi yang isinya cenderung keliru atau dikelirukan. Misalnya, ada
yang mengatakan, proses dugaan pelanggaran hukum oleh Setya Novanto harus
menunggu keputusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di DPR. Ada juga usul agar
Menteri ESDM Sudirman Said diproses secara hukum karena telah melanggar UU.
Tapi ada yang mengatakan, Sudirman baru bisa diproses hukum jika ”peradilan”
etika atas Novanto atau atas dirinya sudah diputus oleh Dewan Etik atau
Majelis Kehormatan.
Haruslah dipahami,
jalur peradilan etika dan peradilan pidana tak saling bergantung. Keduanya
bisa dilakukan secara simultan. Pelanggaran etika yang berhimpit dengan
pelanggaran pidana tidak harus diselesaikan salah satunya lebih dulu
melainkan bisa diproses secara bersamaan. Sebab produk vonisnya berbeda.
Produk terburuk vonis peradilan etika dan peradilan disiplin adalah
pemberhentian tidak dengan hormat, sedangkan produk vonis peradilan pidana
adalah hukuman pidana seperti penjara, denda, hukuman mati, dan pencabutan hak-hak
tertentu.
Ketentuan ini berlaku
bagi semua profesi, bukan hanya pada politisi. Untuk pejabat negara dan
pegawai negeri hal ini berlaku berdasar Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 dan No
VIII/MPR/2001. Kalau pejabat negara dan pegawai negeri melakukan pelanggaran
etika dan disiplin, maka bisa ditindak secara administratif lebih dulu tanpa
harus menunggu vonis pengadilan. Bisa juga dijatuhi mereka hukuman pidana
sebelum dijatuhi sanksi administratif atau etik.
Dalam kasus Freeport,
Novanto dan Sudirman oleh publik dinilai patut diduga melakukan pelanggaran
etika dan hukum yang tak perlu saling digantungkan. Keduanya bisa diadili
melalui pengadilan etik dan pengadilan pidana secara simultan, ”tanpa harus”
menunggu selesai salah satunya.
Sudirman diduga melakukan
pelanggaran hukum karena membuat izin ekspor konsentrat yang jelas-jelas
dilarang oleh UU No 4 Tahun 2009. Sementara Novanto diduga melakukan
pelanggaran hukum karena menegosiasikan perpanjangan kontrak Freeport sambil
meminta bagian saham dan fasilitas lain.
Menurut UU No 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti diatur dalam Pasal
11 dan Pasal 12 butir a, pegawai negeri atau penyelenggara negara diancam
dengan hukuman penjara atau denda yang lumayan berat apabila menerima hadiah
atau janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan jabatannya atau patut diduga begitu. Menjanjikan sesuatu
(ikut mengurus perpanjangan kontrak) sambil mengusulkan pembagian saham atau
fasilitas lain adalah melanggar ketentuan UU No 20 Tahun 2001 tersebut.
Hal yang sama bisa
dikenakan Sudirman Said karena dengan jabatannya, melalui surat resmi
tertanggal 7 Oktober 2015, dia menjanjikan, bahkan menjamin, perpanjangan
kontrak dengan Freeport begitu peraturan perundang-undangan selesai direvisi.
Seharusnya Sudirman tidak memberi jaminan seperti itu, melainkan cukup
menyatakan akan mempertimbangkan kembali jika hasil revisi peraturan
perundang-undangan memungkinkan untuk itu. Isi surat itu memberi kesan,
peraturan perundang-undangan akan diubah agar bisa langsung memperpanjang
kontrak Freeport.
Dalam hal memberi
janji perpanjangan otomatis yang digantungkan pada rencana diubahnya
peraturan perundang-undangan itu Sudirman patut diduga telah melakukan
pelanggaran yang berhimpit yakni pelanggaran hukum (menggunakan kewenangan
untuk mengubah peraturan perundang-undangan untuk bisa memperpanjang kontrak
Freeport) dan pelanggaran etika (karena memihak Freeport dengan nada memberi
jaminan perpanjangan).
Adapun Novanto diduga
kuat melakukan pelanggaran etika karena menegosiasi masalah kontrak Freeport,
menyerobot tugas pihak eksekutif. Alasan bahwa hal itu dilakukan demi rakyat
Papua tetaplah tak bisa diterima, sebab kalau nego-nego seperti itu bisa dia
lakukan, maka Ketua MA, Ketua DPD, Ketua BPK, Ketua MK, Ketua MPR bisa juga
melakukannya. Padahal secara etika hal itu salah.
Harap dimengerti, jika
ada orang menganalisis dan berkesimpulan bahwa Sudirman dan Novanto telah
melanggar etika dan hukum, janganlah dicap melanggar asas praduga tak
bersalah. Asas praduga tak bersalah bukanlah asas yang melarang orang untuk
menganalisis, beropini, bahkan berkesimpulan bahwa seseorang berdasar fakta
lapangan telah bersalah. Orang diproses secara hukum pun, menurut hukum,
harus didahului dugaan dan kemudian sangkaan.
Jadi sebenarnya,
menduga orang bersalah itu bukan hanya boleh melainkan ”harus”. Tak mungkin
ada proses hukum tanpa diduga lebih dulu tentang kesalahannya. Asas praduga
tak bersalah hanya berarti seseorang tak boleh diperlakukan sebagai orang
yang ”seolah-olah” sudah divonis bersalah secara inkracht oleh pengadilan, padahal belum divonis. Misalnya, belum
boleh dipecat, belum boleh disebut terpidana, hartanya belum boleh dilelang,
belum harus ditahan, dan sebagainya. Kalau hanya menganalisis dan beropini
berdasar fakta umum bahwa seseorang itu bersalah maka hal itu bukan melanggar
asas praduga tak bersalah. Itu boleh saja dan selalu terjadi di mana-mana di
seluruh dunia.
Tapi, tentu saja
Novanto dan Sudirman mempunyai hak penuh untuk membela diri agar nantinya
tidak sampai benar-benar dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan maupun
oleh Dewan Etik. Itu juga adalah hak konstitusional keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar