Freeport, CSR, dan Kebatilan
Bahruddin ; Pengajar Jurusan Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan, Fisipol UGM
|
KOMPAS,
07 Desember 2015
Rekaman dugaan
perselingkuhan antara Ketua DPR dan Freeport sudah diperdengarkan dalam
sidang Mahkamah Kehormatan Dewan. Sebelum skandal itu dibuka ke publik, Ketua
DPR menyatakan bahwa pertemuannya dengan Freeport dalam rangka meneruskan
pesan Presiden terkait kesejahteraan rakyat Papua, yakni bagi hasil dan
program tanggung jawab sosial perusahaan (Kompas, 17/11/2015).
Meski kenyataannya
dalam rekaman itu soal tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) hanya
disinggung sepintas, dana CSR berpotensi disalahgunakan karena jumlahnya
besar, apalagi yang dianggarkan Freeport. Namun, hal ini sekaligus
memunculkan pertanyaan, di mana peran CSR PT Freeport selama ini? Dalam CSR: Evolution of Definitional Construct
(1999), Carroll menyusun piramida tipologi CSR yang dapat menjadi kerangka
menganalisis program CSR.
Pertama economic responsibility. Pada
tingkatan paling dasar ini, tujuan CSR untuk meningkatkan keuntungan
perusahaan. Program-program CSR berorientasi meningkatkan efisiensi dalam
siklus produksi atau diolah sedemikian rupa untuk menjadi bahan pemasaran.
Iklan yang memuat substansi CSR sudah menjadi kelaziman dalam bisnis modern. "Converting social issues into
business opportunity" menjadi nilai dasar dalam tipologi ini.
Kedua, legal responsibility. Beberapa negara,
termasuk Indonesia, menempatkan CSR sebagai bentuk kewajiban. Hal ini tecermin
dalam beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Migas, UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No 25/2007 tentang
Penanaman Modal. Perusahaan ramai-ramai melaksanakan CSR demi menggugurkan
kewajiban regulasi.
Ketiga, ethical responsibility.
Program-program CSR pada tipe ini berorientasi mengurangi dampak negatif
produk perusahaan. Misalnya, perusahaan migas dan otomotif berlomba menanam
pohon guna menyerap CO2, dampak bahan bakarnya.
Keempat, philanthropic responsibility. Pada
tingkatan paling tinggi ini, perusahaan menempatkan diri sebagai agen yang
turut aktif menyelesaikan masalah-masalah global melalui program CSR.
Kebatilan CSR
Walaupun pada
tingkatan yang berbeda-beda, keempat tipologi di atas memiliki satu prinsip
dasar yang sama, yakni "menciptakan kebaikan". Untuk perusahaan
melalui peningkatan profit dan pemenuhan kewajiban hukum, sedangkan bagi
lingkungan dan sosial melalui program yang berprinsip pembangunan
berkelanjutan.
Keberlimpahan manfaat
CSR dapat ditemui di berbagai sudut aktivitas perusahaan. Meski demikian, CSR
juga menyimpan potensi kebatilan yang dapat menggerogoti sisi
kebermanfaatannya. Sisi gelap CSR dalam bentuk korupsi ataupun suap kini
terkuak perlahan-lahan.
Masih segar di ingatan
publik terkait penggeledahan Polri di kantor Pertamina Foundation karena
indikasi tindak korupsi dalam pengelolaannya (Kompas, 1/9/2015). Pertamina
Foudation yang dilahirkan dari visi "kebaikan CSR" terjerembap
dalam kubangan kebatilan.
Makin tragis, kebatilan
CSR juga menyeret rektor, pembantu rektor, dan kepala unit penerbitan
Universitas Jenderal Soedirman. Mereka dihukum kurungan 4 tahun oleh
Pengadilan Tinggi Semarang karena terbukti korupsi dana hibah CSR Rp 2,154
miliar dari Aneka Tambang (Kompas, 11/7/2014).
Sebelum dua kasus
tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah menemukan indikasi
penyimpangan dana tanggung jawab sosial di industri migas hulu 2000-2006.
Sepanjang tahun itu, ada penyimpangan Rp 18 triliun dari keseluruhan anggaran
Rp 122,68 triliun (BPK, 2007). Temuan ini memicu polemik kepantasan biaya
pengembangan masyarakat yang menjadi bagian cost recovery. Akhirnya, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan
Menteri No 22/2008 yang mengeluarkan biaya community development dari daftar tanggungan negara dalam bentuk cost recovery.
Pendekatan sistem
Menjadikan CSR sebagai
topik pertemuan elite politik dan perusahaan merupakan indikator pendekatan "endorsing" (World Bank,
2002). Kekuatan politik memang menjadi mesin utama pendorong aktivitas CSR.
Pendekatan ini efektif memaksa dalam waktu cepat, tetapi memiliki kelemahan
krusial terkait politisasi, korupsi, dan keberlanjutan program. Maka,
pendekatan ini tidak direkomendasikan.
Para penganut teori
sistem meyakini bahwa tujuan yang baik harus disertai dengan tata kelola
kelembagaan yang baik pula. Tanpa itu, visi kebaikan berpotensi menjadi alat
legitimasi untuk menguntungkan diri atau kelompok tertentu. CSR sangat rentan
disalahgunakan karena merupakan ruang perjumpaan kepentingan antara
perusahaan dan pemangku kepentingan.
Pembangunan sistem
mendesak menjadi agenda perbaikan tata kelola CSR. Revisi regulasi yang hanya
berorientasi output based menjadi system
based. CSR mendesak untuk dilakukan. Misalnya UU No 40/2007 Pasal 74 Ayat
(2) yang mengatur tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan terminologi
"kepatutan dan kewajaran".
Dalam Peraturan
Menteri BUMN No 09/2015 tentang Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) di BUMN,
pada Pasal 8 Ayat (1) butir 2 dijelaskan bahwa pendanaan program PKBL
bersumber dari penyisihan laba setelah pajak maksimal 4 persen. Kedua
ketentuan tidak memenuhi prinsip dasar regulasi yang bersifat memaksa karena
tak ada batas minimal (threshold)
apakah perusahaan melaksanakan mandat regulasi atau tidak. Akibatnya, tidak
ada sanksi bagi perusahaan yang abai melaksanakan CSR.
Pilihan mandat tidak
relevan lagi dengan iklim bisnis modern. Oleh sebab itu, pemerintah perlu
mendorong partisipasi korporasi melalui pendekatan fasilitasi. Pendekatan ini
semakin banyak digunakan di berbagai negara (World Bank, 2012), menekankan
relasi antara negara dan korporasi dalam bentuk regulasi partisipatif dan
kemitraan program. Perusahaan yang menjalankan mendapat insentif berupa
kebijakan pengurangan pajak atau promosi melalui penghargaan negara, seperti
Proper dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pendekatan fasilitasi
ini lebih mengakomodasi kepentingan negara dan korporasi. Hal ini terbukti
dengan meningkatnya peserta Proper, mencapai 2.142 tahun 2015. Selain itu,
arah program pengembangan masyarakat juga sesuai dengan prinsip-prinsip
pemberdayaan.
Program yang
berorientasi pemberdayaan memang semakin menjadi pilihan perusahaan. Sampai pertengahan
tahun 2015, persentasenya mencapai 72,98 persen. Proporsi ini meningkat 92
persen dari tahun sebelumnya yang hanya 37,96 persen.
Proper menggunakan
pendekatan sistem sebagai panduan perusahaan untuk menjalankan CSR dengan
baik. Sistem penilaiannya tidak semata-mata melihat implementasi dan manfaat,
tetapi juga tata kelola yang terdiri dari aspek kebijakan, anggaran, struktur
organisasi, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan knowledge management internal dan eksternal.
Proper KLHK dapat menjadi
best practice peran negara untuk
mendorong komitmen korporasi sekaligus meminimalkan potensi kebatilan CSR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar