Energi Terbarukan dan
Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
A Sonny Keraf ; Anggota Dewan Energi Nasional,
mewakili unsur pemangku kepentingan
lingkungan hidup
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Desember 2015
NIATAN Indonesia untuk
berkontribusi da lam penurunan emisi gas rumah kaca dengan komitmen sebesar
29% agar kenaikan suhu bumi ditahan tetap di bawah 2 derajat celsius pada
2030, kiranya patut kita dukung sebagai komitmen dan kerja bersama pemerintah
serta semua pemangku kepentingan lainnya. Akan tetapi, komitmen tersebut
sejak awal dibayangi kegagalan karena berbagai alasan.
Kita cenderung memberikan komitmen
dan janji yang mulukmuluk di tingkat global, sementara di tingkat nasional
berbagai sektor tidak menjalankan komitmen serta tanggung jawabnya secara
serius dan konsisten.
Sementara itu, birokrasi
pemerintah tersandera penyakit kronis berupa ego sektoral yang cenderung
berjalan sendiri-sendiri, bahkan mengunci satu sama lain.Belum lagi penegakan
hukum yang begitu lemah menyebabkan degradasi dan deforestasi hutan, termasuk
pembukaan lahan dengan cara membakar oleh perusahaan besar, semakin
menyumbang terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca kita.
Bayang-bayang kegagalan pemenuhan
komitmen itu bahkan sangat jelas terlihat pada sektor energi, salah satu
sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar selain sektor kehutanan dan
pertanian.
Di saat begitu banyak negara telah
begitu serius mengoptimalkan pengembangan dan pemanfaatan energi bersih
terbarukan, Indonesia yang sedemikian kaya akan sumber energi terbarukan
justru tertatih-tatih dan dibelenggu pasokan energi fosil.
Harga
energi
Sejalan dengan komitmen untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor energi, dalam Peraturan Pemerintah
No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) telah diamanatkan agar
kita beralih dari ketergantungan pada energi fosil secara perlahan-lahan
dengan mengembangkan pasokan energi dari sumber energi baru terbarukan
sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050 dari total kebutuhan energi pada
tahun yang bersangkutan. Ini sebuah target yang sangat ambisius, tetapi itu
harus kita dukung, termasuk demi pemenuhan komitmen penurunan emisi gas rumah
kaca.
Akan tetapi, sebagaimana pada
kasus sektor kehutanan yang tersandera dengan berbagai persoalan sinergisitas
pelaksanaan program dan penegakan hukum yang lemah, target pencapaian energi
bersih terbarukan juga dikhawatirkan akan gagal karena masalah yang sama.
Salah satu hambatan terbesar ialah
pemerintah tidak serius membeli harga energi terbarukan yang jauh lebih mahal
dari harga energi fosil. Bahkan, PT PLN (persero) sebagai satu-satunya
pemasok listrik, tidak mau membeli energi terbarukan karena hanya mau membeli
energi dengan harga termurah, sekaligus menghindari jebakan hukum yang
dianggap merugikan negara dengan risiko penjara.
Bagaimana mungkin kita berkomitmen
menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi, sementara pada saat yang
sama kita tidak mau membeli energi terbarukan yang memang harganya masih
lebih mahal jika dibandingkan dengan harga energi fosil. Harusnya PT PLN
(persero) sebagai agen pembangunan pemerintah yang berperan mewujudkan visi
pembangunan rendah karbon dari pemerintah, wajib mengembangkan dan membeli
energi terbarukan dengan harga berapa pun.
Lebih parah lagi, PP KEN telah
mengamanatkan untuk subsidi energi dialihkan kepada subsidi harga energi
terbarukan ketika harga energi terbarukan lebih mahal, tapi kita tetap
bersikap business as usual lebih
memilih subsidi untuk energi fosil. Bagaimana bisa dipahami kita berkomitmen
di tingkat global untuk menurunkan emisi karbon, sementara di pihak yang lain
di dalam negeri, kita tidak serius beralih ke energi terbarukan dengan segala
pengorbanan. Komitmen pembangunan rendah karbon tanpa pengorbanan ialah cek
kosong yang sia-siia.
Kalau memang benar bahwa kita
serius dan konsisten dengan komitmen penurunan emisi, kita bahkan harus
mengembangkan seluruh mata rantai industri pendukung energi terbarukan dari
hulu sampai hilir, termasuk berani membeli energi terbarukan yang memang masih
lebih mahal harganya. Kesan kuat bahwa bangsa ini masih disandera
pedagang-pedagang minyak karena didukung dan dilindungi pengambil kebijakan
politik, sulit terhindarkan. Para pedagang minyak sudah sangat lama tidak
ingin negeri ini mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan yang
sumbernya sedemikian banyak di negeri ini, hanya karena kepentingan egoistis
mereka akan sangat terganggu.
Pemerintah
harus memaksa
Demi kepentingan masa depan bumi
yang lebih sehat melalui visi pembangunan rendah karbon, pemerintah harus
berani memaksa¬ atau dalam bahasa hukum¬ mewajibkan penggunaan energi bersih
terbarukan. Pertama, PT PLN (persero) harus diwajibkan membeli energi terbarukan
dengan harga berapa pun. Bahkan, selisih harganya dengan energi fosil akan
ditanggung pemerintah melalui skema subsidi atau skema lainnya. Melalui cara
ini, energi terbarukan akan berkembang pesat dengan sendirinya karena sektor
swasta di bidang energi terbarukan akan dengan sukarela berbondong-bondong
berinvestasi mengembangkan energi terbarukan karena yakin pemerintah melalui
PT PLN persero) pasti membeli energi terbarukan tersebut dengan harga yang
menguntungkan bagi investasi mereka.
Kedua, pemerintah mewajibkan
pemasokan dan penggunaan bioenergi, baik untuk kendaraan bermotor maupun
untuk pembangkit listrik dengan memanfaatkan CPO kita yang sedemikian
berlimpah sambil mengembangkan bioenergi dari sumber-sumber lain yang masih
melimpah. Teknologi untuk itu sudah sangat jauh berkembang sehingga kewajiban
penggunaan B-50 sampai mendekati B-100 untuk biodisel pun sesungguhnya sudah
bisa diterapkan. Untuk itu, industri otomotif dipaksa untuk menyesuaikan
produksinya. Ini sejalan dengan janji kampanye Presiden Jokowi untuk serius
mengembangkan bioenergi dengan melibatkan rakyat banyak. Dengan cara itu,
alih-alih `memberi sedekah' pedagang bahan bakar minyak dari luar negeri,
Presiden Jokowi bertekad `menyedekahkan' rakyat sendiri sebagai penghasil bahan
bakar nabati dalam negeri.
Ketiga, pemerintah mewajibkan
pengembangan clean coal (batu bara
bersih) baik dalam bentuk gas maupun cair. Ini digunakan baik untuk kendaraan
bermotor, pembangkit listrik, maupun untuk bahan baku industri. Kewajiban ini
sesuai dengan UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan
pemrosesan dan pemurnian mineral serta batu bara di dalam negeri.
Keempat, pemerintah mewajibkan
pengenaan pajak emisi bagi semua kendaraan bermotor yang menggunakan bahan
bakar fosil dan memberikan insentif bagi semua kendaraan yang menggunakan
bioenergi atau energi terbarukan. Pajak ini diberlakukan pada harga energi
fosil sehingga harga energi fosil menjadi lebih mahal jika dibandingkan
dengan bahan bakar nabati. Kebijakan ini akan dengan sendirinya memaksa
konsumen beralih ke energi bersih.
Kelima, pemerintah mewajibkan
pemasangan panel surya pada semua kantor pemerintah di pusat dan daerah
dengan pendanaan oleh negara, tetapi harus disertai perawatan yang penuh
disiplin agar energi surya tidak dibiarkan rusak sejak pemasangan. Bersamaan
dengan itu, pemerintah mewajibkan semua perumahan kelas menengah ke atas
untuk memasang panel surya di perumahan-perumahan tersebut. Intinya,
pengembangan energi surya harus menjadi salah satu program prioritas
pemerintah di seluruh daerah dengan pendanaan pemerintah dikombinasi
pendanaan swasta secara komersial.
Keenam, dalam jangka panjang,
pemerintah harus mengembangkan industri energi terbarukan, mulai dari hulu sampai
ke hilir dengan mengandalkan pengguasaan teknologi energi terbarukan oleh
bangsa kita sendiri. Untuk itu negara harus menyediakan dana penelitian dan
pengembangan teknologi energi terbarukan baik untuk panas bumi, solar cell,
bioenergi (termasuk biomassa dari sawit, kelapa, bambu, dan tanaman kayu),
energi bayu, energi samudra (arus dan gelombang laut serta perbedaan suhu
laut), dan hidro.
Demi mengakomodasi beberapa usulan
di atas¬ selain berbagai usulan rencana aksi yang dapat ditambahkan¬
pemerintah harus merevisi Peraturan Presiden No 61 tentang Rencana Aksi
Nasional Gerakan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, khususnya untuk sektor
energi. Selain rencana aksi yang tercantum dalam Perpres tersebut sangat
sumir, normatif, dan tidak menyentuh persoalan pokok, terlihat sekali bahwa
untuk bidang energi pemerintah memang tidak serius ingin mengembangkan energi
terbarukan dengan kebijakan yang fundamental.
Terbayang sekali pemerintah
masih belum beranjak jauh dari mengurangi secara drastis penggunaan energi
fosil penghasil utama emisi gas rumah kaca. Karena itu, janji yang
disampaikan presiden dalam berbagai forum COP Perubahan Iklim masih akan
tetap menjadi janji, sebagaimana juga sikap berbagai negara maju penghasil
emisi gas rumah kaca.
Tentu, ada konsekuensi logis bagi
komitmen penurunan emisi karbon di sektor energi ini. Pemerintah harus
menanggung seluruh beban pendanaan atau pelambatan ekonomi untuk jangka
pendek dan menengah akibat pelaksanaan pengembangan energi terbarukan,
kecuali pemerintah berhasil memperoleh kompensasi pendanaan untuk pelaksanaan
mitigasi perubahan iklim. Pilihannya kita mau serius dengan risiko yang harus
ditanggung atau sekadar gagah-gagahan untuk mendapat pendanaan global, tetapi
abai dengan komitmen dan pekerjaan rumah kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar