Senin, 21 Desember 2015

Energi Terbarukan dan Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Energi Terbarukan dan

Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

A Sonny Keraf  ;  Anggota Dewan Energi Nasional,
 mewakili unsur pemangku kepentingan lingkungan hidup
                                           MEDIA INDONESIA, 09 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NIATAN Indonesia untuk berkontribusi da lam penurunan emisi gas rumah kaca dengan komitmen sebesar 29% agar kenaikan suhu bumi ditahan tetap di bawah 2 derajat celsius pada 2030, kiranya patut kita dukung sebagai komitmen dan kerja bersama pemerintah serta semua pemangku kepentingan lainnya. Akan tetapi, komitmen tersebut sejak awal dibayangi kegagalan karena berbagai alasan.

Kita cenderung memberikan komitmen dan janji yang mulukmuluk di tingkat global, sementara di tingkat nasional berbagai sektor tidak menjalankan komitmen serta tanggung jawabnya secara serius dan konsisten.
Sementara itu, birokrasi pemerintah tersandera penyakit kronis berupa ego sektoral yang cenderung berjalan sendiri-sendiri, bahkan mengunci satu sama lain.Belum lagi penegakan hukum yang begitu lemah menyebabkan degradasi dan deforestasi hutan, termasuk pembukaan lahan dengan cara membakar oleh perusahaan besar, semakin menyumbang terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca kita.

Bayang-bayang kegagalan pemenuhan komitmen itu bahkan sangat jelas terlihat pada sektor energi, salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar selain sektor kehutanan dan pertanian.

Di saat begitu banyak negara telah begitu serius mengoptimalkan pengembangan dan pemanfaatan energi bersih terbarukan, Indonesia yang sedemikian kaya akan sumber energi terbarukan justru tertatih-tatih dan dibelenggu pasokan energi fosil.

Harga energi

Sejalan dengan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor energi, dalam Peraturan Pemerintah No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) telah diamanatkan agar kita beralih dari ketergantungan pada energi fosil secara perlahan-lahan dengan mengembangkan pasokan energi dari sumber energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050 dari total kebutuhan energi pada tahun yang bersangkutan. Ini sebuah target yang sangat ambisius, tetapi itu harus kita dukung, termasuk demi pemenuhan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.

Akan tetapi, sebagaimana pada kasus sektor kehutanan yang tersandera dengan berbagai persoalan sinergisitas pelaksanaan program dan penegakan hukum yang lemah, target pencapaian energi bersih terbarukan juga dikhawatirkan akan gagal karena masalah yang sama.

Salah satu hambatan terbesar ialah pemerintah tidak serius membeli harga energi terbarukan yang jauh lebih mahal dari harga energi fosil. Bahkan, PT PLN (persero) sebagai satu-satunya pemasok listrik, tidak mau membeli energi terbarukan karena hanya mau membeli energi dengan harga termurah, sekaligus menghindari jebakan hukum yang dianggap merugikan negara dengan risiko penjara.

Bagaimana mungkin kita berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi, sementara pada saat yang sama kita tidak mau membeli energi terbarukan yang memang harganya masih lebih mahal jika dibandingkan dengan harga energi fosil. Harusnya PT PLN (persero) sebagai agen pembangunan pemerintah yang berperan mewujudkan visi pembangunan rendah karbon dari pemerintah, wajib mengembangkan dan membeli energi terbarukan dengan harga berapa pun.

Lebih parah lagi, PP KEN telah mengamanatkan untuk subsidi energi dialihkan kepada subsidi harga energi terbarukan ketika harga energi terbarukan lebih mahal, tapi kita tetap bersikap business as usual lebih memilih subsidi untuk energi fosil. Bagaimana bisa dipahami kita berkomitmen di tingkat global untuk menurunkan emisi karbon, sementara di pihak yang lain di dalam negeri, kita tidak serius beralih ke energi terbarukan dengan segala pengorbanan. Komitmen pembangunan rendah karbon tanpa pengorbanan ialah cek kosong yang sia-siia.

Kalau memang benar bahwa kita serius dan konsisten dengan komitmen penurunan emisi, kita bahkan harus mengembangkan seluruh mata rantai industri pendukung energi terbarukan dari hulu sampai hilir, termasuk berani membeli energi terbarukan yang memang masih lebih mahal harganya. Kesan kuat bahwa bangsa ini masih disandera pedagang-pedagang minyak karena didukung dan dilindungi pengambil kebijakan politik, sulit terhindarkan. Para pedagang minyak sudah sangat lama tidak ingin negeri ini mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan yang sumbernya sedemikian banyak di negeri ini, hanya karena kepentingan egoistis mereka akan sangat terganggu.

Pemerintah harus memaksa

Demi kepentingan masa depan bumi yang lebih sehat melalui visi pembangunan rendah karbon, pemerintah harus berani memaksa¬ atau dalam bahasa hukum¬ mewajibkan penggunaan energi bersih terbarukan. Pertama, PT PLN (persero) harus diwajibkan membeli energi terbarukan dengan harga berapa pun. Bahkan, selisih harganya dengan energi fosil akan ditanggung pemerintah melalui skema subsidi atau skema lainnya. Melalui cara ini, energi terbarukan akan berkembang pesat dengan sendirinya karena sektor swasta di bidang energi terbarukan akan dengan sukarela berbondong-bondong berinvestasi mengembangkan energi terbarukan karena yakin pemerintah melalui PT PLN persero) pasti membeli energi terbarukan tersebut dengan harga yang menguntungkan bagi investasi mereka.

Kedua, pemerintah mewajibkan pemasokan dan penggunaan bioenergi, baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk pembangkit listrik dengan memanfaatkan CPO kita yang sedemikian berlimpah sambil mengembangkan bioenergi dari sumber-sumber lain yang masih melimpah. Teknologi untuk itu sudah sangat jauh berkembang sehingga kewajiban penggunaan B-50 sampai mendekati B-100 untuk biodisel pun sesungguhnya sudah bisa diterapkan. Untuk itu, industri otomotif dipaksa untuk menyesuaikan produksinya. Ini sejalan dengan janji kampanye Presiden Jokowi untuk serius mengembangkan bioenergi dengan melibatkan rakyat banyak. Dengan cara itu, alih-alih `memberi sedekah' pedagang bahan bakar minyak dari luar negeri, Presiden Jokowi bertekad `menyedekahkan' rakyat sendiri sebagai penghasil bahan bakar nabati dalam negeri.

Ketiga, pemerintah mewajibkan pengembangan clean coal (batu bara bersih) baik dalam bentuk gas maupun cair. Ini digunakan baik untuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik, maupun untuk bahan baku industri. Kewajiban ini sesuai dengan UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemrosesan dan pemurnian mineral serta batu bara di dalam negeri.

Keempat, pemerintah mewajibkan pengenaan pajak emisi bagi semua kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil dan memberikan insentif bagi semua kendaraan yang menggunakan bioenergi atau energi terbarukan. Pajak ini diberlakukan pada harga energi fosil sehingga harga energi fosil menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan bahan bakar nabati. Kebijakan ini akan dengan sendirinya memaksa konsumen beralih ke energi bersih.

Kelima, pemerintah mewajibkan pemasangan panel surya pada semua kantor pemerintah di pusat dan daerah dengan pendanaan oleh negara, tetapi harus disertai perawatan yang penuh disiplin agar energi surya tidak dibiarkan rusak sejak pemasangan. Bersamaan dengan itu, pemerintah mewajibkan semua perumahan kelas menengah ke atas untuk memasang panel surya di perumahan-perumahan tersebut. Intinya, pengembangan energi surya harus menjadi salah satu program prioritas pemerintah di seluruh daerah dengan pendanaan pemerintah dikombinasi pendanaan swasta secara komersial.

Keenam, dalam jangka panjang, pemerintah harus mengembangkan industri energi terbarukan, mulai dari hulu sampai ke hilir dengan mengandalkan pengguasaan teknologi energi terbarukan oleh bangsa kita sendiri. Untuk itu negara harus menyediakan dana penelitian dan pengembangan teknologi energi terbarukan baik untuk panas bumi, solar cell, bioenergi (termasuk biomassa dari sawit, kelapa, bambu, dan tanaman kayu), energi bayu, energi samudra (arus dan gelombang laut serta perbedaan suhu laut), dan hidro.

Demi mengakomodasi beberapa usulan di atas¬ selain berbagai usulan rencana aksi yang dapat ditambahkan¬ pemerintah harus merevisi Peraturan Presiden No 61 tentang Rencana Aksi Nasional Gerakan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, khususnya untuk sektor energi. Selain rencana aksi yang tercantum dalam Perpres tersebut sangat sumir, normatif, dan tidak menyentuh persoalan pokok, terlihat sekali bahwa untuk bidang energi pemerintah memang tidak serius ingin mengembangkan energi terbarukan dengan kebijakan yang fundamental. 

Terbayang sekali pemerintah masih belum beranjak jauh dari mengurangi secara drastis penggunaan energi fosil penghasil utama emisi gas rumah kaca. Karena itu, janji yang disampaikan presiden dalam berbagai forum COP Perubahan Iklim masih akan tetap menjadi janji, sebagaimana juga sikap berbagai negara maju penghasil emisi gas rumah kaca.

Tentu, ada konsekuensi logis bagi komitmen penurunan emisi karbon di sektor energi ini. Pemerintah harus menanggung seluruh beban pendanaan atau pelambatan ekonomi untuk jangka pendek dan menengah akibat pelaksanaan pengembangan energi terbarukan, kecuali pemerintah berhasil memperoleh kompensasi pendanaan untuk pelaksanaan mitigasi perubahan iklim. Pilihannya kita mau serius dengan risiko yang harus ditanggung atau sekadar gagah-gagahan untuk mendapat pendanaan global, tetapi abai dengan komitmen dan pekerjaan rumah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar