Dirigen
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 Desember 2015
Di
sebut-sebut pada awal tahun 2016 Presiden Joko Widodo akan me-reshuffle lagi Kabinet Kerja. Jika reshufle itu benar-benar dilakukan,
tentunya akan menimbulkan banyak pertanyaan mengingat Presiden Jokowi baru
saja me-reshufle kabinetnya, 12
Agustus lalu.
Pada lima
bulan lalu, ada enam posisi menteri yang diganti, yakni Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Perdagangan, Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, dan Sekretaris Kabinet. Namun, hanya lima orang yang diganti karena
Sofyan Djalil melepas jabatan Menko Perekonomian dan menduduki jabatan
barunya sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas. Sementara Tedjo Edhy Purdijatno,
Indroyono Soesilo, Rachmat Gobel, Andrinov Chaniago, dan Andi Widjajanto
tersingkir.
Nama-nama
baru muncul. Darmin Nasution, Gubernur BI (2010-2014), menjadi Menko
Perekonomian; Rizal Ramli, Menteri Keuangan (12 Juni 2001-9 Agustus 2001),
menjadi Menko Kemaritiman; Luhut Binsar Pandjaitan pindah jabatan dari Kepala
Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam; Thomas Lembong, yang sebelumnya
malang melintang di sektor keuangan, menjadi Menteri Perdagangan; dan Pramono
Anung, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Wakil Ketua DPR
(2009-2014), menjadi Sekretaris Kabinet.
Pertanyaannya,
apakah lima bulan dianggap cukup untuk mengukur kinerja menteri? Sebagian
orang menganggap, lima bulan itu terlalu singkat. Apalagi, apabila dalam
waktu kurang dari satu setengah tahun memerintah, Presiden Jokowi dua kali
melakukan reshuffle.
Memang waktu
lima bulan itu terlalu singkat untuk menilai kinerja menteri. Akan tetapi,
siapa yang dapat mencegahnya. Jawaban yang akan diberikan, dan akan
diulang-ulang, melakukan reshuffle adalah hak prerogatif presiden sehingga
presiden berhak mengganti kabinet kapan pun ia menghendakinya. Dari
pengalaman kita tahu, seandainya Presiden Jokowi ingin melakukan reshuffle, ia akan melakukannya, kapan
pun itu. Dan, pada saat Presiden Jokowi benar-benar melakukan reshuffle, masyarakat akan menganggap
hal itu memang harus dilakukan dan ramai-ramai mendukungnya.
Sinyal
tentang akan dilakukannya reshuffle itu diberikan sendiri oleh Presiden
Jokowi, yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan petinggi partai
pendukung pemerintah di Istana Merdeka, 12 November malam. Saat itu, Presiden
memberikan sinyal akan melakukan reshuffle
kabinet dengan memberi tempat bagi Partai Amanat Nasional walaupun disebutkan
agar masuknya parpol pendukung pemerintah baru itu jangan sampai mengurangi
jatah wakil parpol pengusung dan pendukung pemerintah yang lebih dulu ada di
kabinet.
Begitu ada
sinyal bahwa akan dilakukan reshuffle, berbagai spekulasi pun muncul.
Harmoni
Sudahlah,
reshuffle itu urusan Presiden. Sambil menunggu reshuffle, jika itu jadi
dilakukan, ada baiknya jika kita menyoroti kabinet hasil reshuffle Agustus lalu. Dari luar tampak jelas bahwa di antara
para menteri anggota kabinet, ada beberapa yang belum satu suara dalam
menjalankan tugasnya. Bahkan, ada juga menteri yang ikut mengomentari, atau
bahkan mengurusi sektor di luar bidang tugas yang dibebankan kepadanya, yang
sesungguhnya menjadi tugas dari rekannya. Entah apa yang melatarbelakanginya,
padahal bidang tugas yang dibebankan kepada tiap-tiap menteri sudah cukup
banyak. Tidak berlebihan jika kita menyebutkan, koordinasi di antara para
menteri serta etika dan tata berperilaku para menteri di dalam kabinet masih
perlu ditata.
Sebagai
Presiden, Jokowi adalah pemimpin kabinet. Para menteri anggota kabinet adalah
pembantunya. Dalam menjalankan tugasnya, para menteri anggota kabinet
bertindak atas nama presiden. Seperti di dalam sebuah orkestra, presiden
adalah dirigennya. Ia mengatur agar para pemusik yang memainkan berbagai
jenis alat musik itu menghasilkan nada harmonis yang enak didengar. Bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi apabila setiap pemain memainkan alat
musiknya semaunya sendiri, tanpa mengikuti arahan dari dirigen.
Menyenangkan
ketika melihat Presiden Jokowi menagih janji Menko Maritim dan Sumber Daya
Rizal Ramli untuk memangkas waktu tunggu (dwelling
time) di pelabuhan, 22 Desember lalu. Dengan menagih janji itu, Jokowi
bertindak sebagai dirigen untuk mengingatkan salah satu pemain di orkestranya
agar fokus pada kewajiban yang menjadi tugas utamanya.
Rizal Ramli
langsung menjawabnya dengan merinci apa yang telah dilakukannya. Namun, kita
yakin bahwa Presiden Jokowi sudah tahu apa yang dilakukan Rizal Ramli di
pelabuhan. Yang ingin ditegaskan Jokowi lewat penagihan janji itu adalah agar
para menteri fokus pada pekerjaannya dan tidak mencampuri apa yang bukan
tugasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar