Ben Anderson, Seorang Ilmuwan Progresif
Made Supriatma ; Peneliti Masalah-Masalah Politik Militer,
Jurnalis Lepas
|
INDOPROGRESS,
21 Desember 2015
DIHADIRI oleh
keluarga, kawan dan para muridnya, abu jenazah Ben Anderson yang meninggal
pada 13 Deember 2015 di Batu, Malang, Jawa Timur, akhirnya sudah di larung di
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada 20 Desember. Tak diragukan, kita
kehilangan seorang figur besar dalam ilmu-ilmu sosial kontemporer. Sebagai
seorang ilmuwan politik, pengaruhnya tidak hanya dirasakan di bidangnya.
Karya-karyanya dibaca oleh mereka yang belajar antropologi, sejarah, kritik
sastra, sosiologi, dan kajian kebudayaan. Dia belajar, dan kemudian menjadi
ahli, dari sebuah kawasan yang paling beragam di dunia, yakni Asia Tenggara.
Hampir sebagian besar hidup Ben Anderson diabdikan untuk mempelajari kawasan
ini.
Asia Tenggara
adalah sebuah kawasan yang paling ‘majemuk’ (plural) di muka bumi ini.
Kawasan ini tidak saja memiliki aneka macam rezim pemerintahan (monarki vs.
republik; otoriter vs. demokratis; kapitalis vs. komunis), namun juga dihuni
penduduk yang memeluk beragam agama (Budha, Islam, Katolik/Kristen, dan belum
lagi yang setengah beragama atau tidak beragama sama sekali), dan kondisi
geografis (daratan dan kepulauan).
Kemajemukan
tersebut menawarkan kesempatan yang kaya untuk membangun terobosan dalam
ilmu-ilmu sosial. Beberapa karya ilmu sosial terkemuka dibangun dari kawasan
ini. Yang pertama-tama adalah karya J.C. Furnivall tentang konsep masyarakat
majemuk (the plural society). Karya
monumental Furnivall dibangun dengan berdasarkan perbandingan antara Birma
dan Hindia Belanda pada masa kolonial. Kemudian, Clifford Geertz membangun
pemahaman tentang Islam dan ideologi politik yang berkembang jauh dari
kebudayaan Arab. James C. Scott membangun teorinya tentang moral ekonomi
petani lewat studinya di pedesaan Malaysia. Pada akhirnya, Ben Anderson
membangun teorinya tentang nasionalisme karena tergelitik oleh Indonesia,
sebuah negara dengan penduduk yang sangat majemuk namun bisa membangun sebuah
bangsa.
Posisi Ben
agak unik dalam kajian Asia Tenggara. Dia tidak berangkat hanya dari satu
negara. Ben
menjelajah dan mempelajari secara mendalam tiga negara sekaligus: Indonesia,
Thailand, dan Filipina. Dia tidak saja mampu mengakses tulisan-tulisan
tentang ketiga negara ini namun dia juga mampu berkomunikasi dengan penduduk
lokal. Ben adalah seorang polyglot, seseorang yang memiliki kemampuan
berbicara dalam banyak bahasa. Dia bisa membaca teks dalam bahasa Belanda, Jerman,
Spanyol, Perancis dan Russia, serta bisa membaca dan berbicara dalam bahasa
Indonesia dan Thai. Dia paham bahasa Jawa dan Tagalog.
Kemampuan
berbahasa ini menjadi modalnya untuk memahami tidak saja teks namun juga,
yang lebih penting, berdialog dengan orang kebanyakan di luar lapisan elit
yang menguasai dunia teks. Akses terhadap dunia orang kebanyakan itulah yang
memungkinkannya untuk menangkap nuansa yang jauh lebih kompleks, sekaligus
jauh lebih menarik ketimbang yang direpresentasikan lewat teks.
***
“Persoalannya
dengan Ben Anderson adalah karena dia selalu berpihak pada yang under-dog
(yang lebih lemah dan kalah),” demikian kata seorang kolega saya. Dia agak
merasa terganggu karena Ben selalu punya ‘bias’ dalam memandang kaum elit dan
mereka yang punya kekuasaan. Pengamatan ini tidak sepenuhnya salah, namun
juga tidak sepenuhnya benar. Ben juga bergaul dengan mereka yang berkuasa.
Tetapi para penguasa ini tidak menarik perhatiannya. Dia tertarik pada
kekuasaan untuk menelanjanginya, bukan untuk berada didalamnya. Sikap inilah
yang kemudian menjadikannya mendapat celaka ketika berhadapan dengan rezim
Orde Baru dan yang membuatnya dilarang masuk ke Indonesia selama 27 tahun. Di
samping itu, Ben adalah seorang yang dengan sadar memilih jalan Kiri sebagai
sikap politik.
Yang jelas
dia punya lebih banyak kawan baik dari kalangan aktivis, intelektual, maupun
dari kalangan orang biasa-biasa saja. Di Indonesia, misalnya, dia berkawan
karib dengan almarhum Ongokham. Dia juga bersahabat dengan baik Soe Hok Gie,
mahasiswa pemberontak tahun 1966 itu. Sekalipun baru bertemu muka dengan
sastrawan terkemuka Indonesia, Pramodeya Ananta Toer, setelah tumbangnya Orde
Baru, dia menjalin persahabatan lewat korespondensi. Hampir di semua negara
dia juga punya sahabat dari kalangan orang biasa, yang menjadi temannya untuk
jalan-jalan ke pelosok-pelosok.
Apakah yang
membentuk sikap politik, yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi karya
akademisnya? Mungkin latar belakangnya bisa sedikit memberi gambaran.
Benedict
Richard O’Gorman Anderson lahir di Propinsi Kunming, Cina, pada 26 Agustus
1936. Ayahnya bekerja di sana sebagai petugas pajak Kerajaan Inggris dan
Cina. Ben Anderson menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah. Tahun
1941, keluarganya pindah ke California. Pada 1945, keluarga ini pindah lagi
ke Irlandia sebelum kemudian pindah ke Inggris. Dan dari sejak kecil, Ben
dibesarkan dengan beraneka ragam dialek dan bahasa. Dia pernah bercerita bahwa
kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata dari bahasa Vietnam.
Itu karena amah yang mengasuhnya adalah seorang gadis dari Vietnam. Ayahnya
sendiri, yang berdinas selama 30 tahun di Cina, adalah seorang yang fasih
berbahasa Cina. Demikianlah, Ben dibesarkan sesudah berkenalan dengan
kebudayaan yang sama sekali lain dari kebudayaan Inggris dan Irlandia dari
keluarga besarnya.
Dia mulai
bersekolah di Denver sebelum pindah ke Irlandia. Sesudah ayahnya meninggal,
Ben pindah ke London. Dia diterima di sekolah elit Inggris, Eton College.
Kemudian dia belajar sastra klasik di Universitas Cambrigde. Tahun 1957, Ben
meneruskan kuliah paska-sarjananya di Universitas Cornell, Ithaca, New York.
Di sana dia belajar dari salah seorang sarjana yang menjadi pionir dalam
mempelajari Indonesia, yakni George McT. Kahin.
Kesadaran
politiknya dimulai tidak sengaja. Suatu sore pada bulan November 1956, saat
masih bersekolah di Cambridge, dia secara tidak sengaja berhampiran dengan
sekelompok mahasiswa yang tampaknya seperti berasal dari Pakistan atau India.
Para mahasiswa ini sedang mengelilingi seseorang yang berpidato menentang
intervensi Inggris di Terusan Suez. Persis ketika itu datanglah kelompok lain
yang lebih besar, yang menurutnya adalah ‘para kolonial’ dari lapisan kelas
atas Inggris, yang dengan segera menyerang kelompok kecil pemrotes ini.
Melihat itu, dia berusaha mencegahnya. Namun apa daya, mereka menyerangnya
hingga kacamatanya terpental dari mukanya. Itulah pengalaman pertamanya
berhadapan dengan politik.
Ben memulai
risetnya di Indonesia pada tahun 1961. Dia mengatakan bahwa itulah saat-saat
yang paling menyenangkannya. Indonesia memang sedang dalam keadaan darurat
dengan pemberontakan yang masih berkobar di Sumatera dan Sulawesi. Namun, toh
dia terkesan dengan betapa egaliternya masyarakat Indonesia ketika itu
dibandingkan dengan masyarakat di Inggris, Irlandia, atau Amerika. Dia juga
terkesan dengan Sukarno, presiden Indonesia saat itu, yang sangat mudah
ditemui di istana negara. Dia bisa menikmati pertunjukan wayang kulit semalam
suntuk di istana dimana presiden, menteri dan para pejabat pemerintahan serta
rakyat jelata semua ikut menonton.
Namun keadaan
berubah sesudah tahun 1965. Percobaan kudeta oleh beberapa perwira muda
TNI-Angkatan Darat yang tergabung dalam Gerakan 30 September (G30S), yang
berakibat terbunuhnya enam jenderal dan satu perwira TNI-AD, mengubah
segala-galanya. TNI-AD dibawah pimpinan Mayjen Soeharto dengan segera menuduh
bahwa G30S didalangi oleh PKI. Tiga minggu sesudahnya, mulailah pembantaian
massal yang berlangsung hingga bulan Januari 1966.
Lebih dari
setengah juta rakyat dibantai oleh milisi-milisi yang diciptakan oleh
militer. Tentu tidak mudah membasmi sedemikian banyak orang hanya dalam waktu
beberapa bulan saja. Tentara dengan cerdik memanfaatkan antagonisme dalam
masyarakat untuk melakukan pembunuhan itu. Organisasi pemuda,
kesatuan-kesatuan aksi, mahasiswa, dan bahkan siswa SMA dimanfaatkan sebagai
bagian dari mesin pembantaian ini.
Ben Anderson
sudah kembali ke Cornell ketika pembantaian itu terjadi. Namun, bersama
dengan dua orang teman lainnya (Ruth McVey dan Frederick Bunnel), dia tidak
tinggal diam. Mereka melakukan studi untuk mendalami apa yang sesungguhnya
terjadi. Berbekal informasi dari yang tersedia, mereka mengkaji Gerakan 30
September ini. Mereka menemukan bahwa para perwira yang terlibat dalam
Gerakan ini sebagian besar berasal dari Kodam Diponegoro, dimana Mayjen
Soeharto pernah menjadi panglimanya. Beberapa perwira bahkan dikenal dekat
dengan Soeharto. Studi ini berkesimpulan bahwa percobaan kudeta ini terjadi
karena persoalan ketidakpuasan di kalangan perwira muda Angkatan Darat
terhadap jenderal-jenderal mereka.
Studi yang
diberi judul ‘Preliminary Analysis of
The October 1, 1965 Coup in Indonesia’ pada awalnya memang dimaksudkan
hanya sebagai kajian sementara karena keterbatasan informasi yang mereka
peroleh. Mereka membagikannya kepada beberapa kolega untuk mendapatkan
komentar dengan catatan hanya dipakai untuk kepentingan sendiri dan tidak
disebarluaskan. Mereka mengkhawatirkan keselamatan banyak kawan di Indonesia,
yang sekalipun tidak tahu akan adanya dokumen ini, namun bisa jadi akan
dikaitkan oleh pemerintahan militer Soeharto.
Namun, entah
mengapa, analisis ini bocor keluar dan beredar dari tangan ke tangan. Prof.
Kahin memberikan analisis ini kepada William Bundy, seorang asisten untuk
Urusan Timur Jauh di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Diduga, dari
sanalah dokumen ini menyebar kemana-mana dan akhirnya sampai juga ke tangan
penguasa militer Orde Baru. Jurnalis konservatif Arnold Brackman menuduh
bahwa analisis ini disusupi kepentingan ideologis pengarangnya. Nama-nama
pengarang dari dokumen yang kemudian terkenal dengan nama ‘Cornell Paper’ itu
memang tidak disebutkan. Akan tetapi, semua orang tahu siapa yang ada
dibaliknya.
Sekalipun
analisisnya menuai kontroversi, Ben Anderson masih bisa pergi ke Indonesia
walaupun kecurigaan terhadap dirinya mulai tumbuh. Sebuah dokumen dari
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada tahun 1967 mengatakan bahwa
dia adalah ‘seorang Komunis atau paling tidak simpatisannya.’ Saat itu Ben
masih bisa bebas melakukan perjalanan. Dia juga hadir dalam pengadilan
Sudisman, seorang dari lima ketua Komite Sentral PKI yang tersisa. Empat
ketua lainnya sudah dibunuh oleh tentara tanpa diadili. Sikap Sudisman yang
tenang dan bermartabat di pengadilan, meninggalkan kesan yang mendalam untuk
Ben. Dia akhirnya menerjemahkan pidato pembelaan Sudisman yang berjudul
‘Uraian Tanggung-Djawab’[1] ke dalam bahasa Inggris.
Pada tahun
1971, ‘Cornell Paper’ resmi terbit. Pada April 1972, Ben kembali mengunjungi
Indonesia. Saat itu dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Paspornya ditahan. Dia
hanya melancong-lancong seputaran Jakarta. Usaha untuk kembali ke Indonesia
diulang lagi pada tahun 1980. Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok
mengeluarkan visa untuknya. Namun malang, sesampainya di Bandara, dia
langsung diusir keluar dengan pesawat pertama.
Sejak saat
itu, Ben hanya bisa memandang Indonesia dari kejauhan. Pengalaman ini, membuat
dia merasa kehilangan Indonesia yang pernah dikenalnya. Rasa kehilangan ini
bertambah dalam karena menyaksikan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh
militer yang memerintah pada Orde Baru. Banyak di antara mereka yang terbunuh
atau hilang adalah kawan-kawan yang dikenalnya secara pribadi. Tentang hal
ini, Ben mengatakan, “… rasanya seperti
tiba-tiba mendapati bahwa orang yang Anda cintai adalah seorang pembunuh.”
Namun
bagaimana pun juga Ben telah memperlihatkan sikapnya. Dia menjadi pengritik terkemuka
Orde Baru. Dia beberapa kali memberi kesaksian di dalam dengar pendapat (hearing) di Congress (DPR dan Senat)
di Amerika.
Tanpa
tedeng aling-aling dia memperlihatkan simpati dan pembelaannya terhadap Timor
Leste, yang diinvasi oleh Indonesia pada tahun 1975 dan dijajah oleh
Indonesia selama kurang lebih 24 tahun. Timor Leste, katanya, adalah ‘negeri
kecil yang pemberani.’ Negeri yang penduduknya kira-kira 0.5 persen dari
penduduk Indonesia ini melawan tentara pendudukan Indonesia yang kuat dan bersenjata
lengkap dengan gagah berani.
Sekali lagi, Ben Anderson memperlihatkan pemihakan dan pembelaannya kepada
yang under-dog.
***
Banyak orang
memberi julukan Ben Anderson adalah seorang ‘Indonesianis.’ Dia pun tidak
pernah menolak itu. Indonesia, khususnya Jawa, adalah negeri pertama yang
dipelajarinya. Dalam banyak hal, Indonesia mempengaruhi caranya memandang
sesuatu. Setelah dilarang masuk ke Indonesia, yang disebutnya sebagai ‘pengasingan,’
Ben memang mengalihkan perhatiannya ke Thailand. Itu rupanya terjadi pada
saat yang tepat. Pada Oktober 1973, demonstrasi besar telah menjatuhkan rezim
diktator militer Thanom-Phrapat. Thailand menjadi sedikit terbuka karena
buruh kembali diijinkan berserikat, liga-liga petani dibentuk, pers menjadi
lebih bebas, dan kalangan mahasiswa serta kaum intelektual lantang menyerukan
reformasi dalam bidang kesejahteraan.
Banyak di
antara mereka yang mengorganisasi keruntuhan kediktatoran militer tersebut adalah
kawan-kawannya Ben dan sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan
intelektual yang berhaluan Kiri. Dia mulai belajar bahasa, sejarah,
kebudayaan, dan politik Thailand. Namun hantu pembantaian besar-besaran pun
rupanya tidak mau pergi dari Ben.
Selama kurang
lebih dua setengah tahun, para mahasiswa dan intelektual mengalami kebebasan.
Sampailah pada bulan Oktober 1976, para mahasiswa berkumpul di Thammasat
University untuk berdemonstrasi menentang kepulangan bekas diktator militer
Thanom Kittikachorn dari Singapura. Unjuk rasa ini berujung pada pembantaian
para demonstran. Sehari sebelum pembantaian tersebut, pers Thailand
memberitakan adanya sebuah drama yang dimainkan oleh para pendemo yang
menggambarkan penggantungan patung putra mahkota kerajaan, Pangeran
Vajiralongkorn. Drama tersebut memancing kemarahan dan dengan segera tentara,
polisi, serta milisi-milisi pro militer mengepung Kampus. Pada 6 Oktober
pagi, gabungan kekuatan ini menyerbu kampus. Angka resmi menyebutkan 46 orang
meninggal dan ratusan luka-luka. Angka tidak resmi menyebutkan jumlah korban
meninggal lebih dari seratusan.
Ben
menganalisis semua kejadian itu dalam sebuah esei yang diterbitkan oleh Bulletin of Concerned Asian Scholars.
Esai yang berjudul ‘Withdrawl Symptoms’
itu menjadi satu sumbangan penting untuk studi tentang Siam. Esai ini
mengupas basis kekuatan sosial yang menumbangkan kediktatoran militer tahun
1973. Pertanyaan yang diajukannya sangat menarik: Mengapa kelas menengah dan para borjuis kecil Thailand mendukung para
mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan militer namun tidak mau mendukung
dan mempertahankan demokrasi? Ben menjawab persoalan ini dengan melihat
perubahan-perubahan struktural dan ideologis yang terjadi di Thailand pada
masa itu. Kelas menengah dan para borjuis kecil ini dilahirkan oleh
modernisasi Amerika dan Jepang sejak tahun 1960an, terutama di bidang
pendidikan. Namun pada tahun 1970an, mereka mulai merasakan bahwa mereka
justru tidak bisa masuk ke dalam politik yang secara ketat berada dalam kekuasaan
‘bureaucratic polity’, yakni
birokrat dan militer. Itulah sebabnya mereka mendukung para mahasiswa
meruntuhkan kediktatoran militer.
Runtuhnya
kediktatoran ini diganti dengan ‘demokrasi
kacau balau.’ Kelas menengah dan borjuis kecil yang terbiasa dengan
stabilitas dan ketenangan ini pun tidak tahan akan demokrasi sehingga mereka
tidak membela ketika pada tahun 1976 militer kembali berkuasa. Ben menyebut
ini sebagai ‘gejala-gejala penarikan diri’ (withdrawal symptoms) dari kelas menengah dan borjuis kecil
Thailand pada masa itu.
Di Thailand,
Ben Anderson juga menerbitkan sebuah antologi cerita pendek, “In The Mirror.” Ini adalah kumpulan
cerita pendek politik pada era Amerika. Era ini ditandai dengan kediktatoran
militer dan modernisasi seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Filipina
adalah negara berikutnya yang menjadi sasaran Ben Anderson. Pada awal tahun
1980an ketika dia mulai melakukan studi, Filipina juga dikuasai oleh diktator
Ferdinand Marcos. Sama seperti kediktatoran militer di Thailand, kediktatoran
Filipina menarik untuk dibandingkan dengan Indonesia. Namun, dengan segara
perhatian Ben teralih kepada sastra Filipina. Dia dengan cepat mendapati
karya-karya Jose Rizal, bapak bangsa Filipina.
Satu tulisan
penting yang dikeluarkan oleh Ben Anderson tentang Filipina adalah tentang
demokrasi ‘cacique’ di negeri ini.
Dia berargumen bahwa demokrasi di negeri ini dikuasai oleh para ‘cacique’ atau ‘bos-bos politik’ yang
berkuasa di propinsi-propinsi dan dari cengkeramannya di provinsi ini
menguasai Manila. Ben pun mengurutkan sejarah terjadinya cacique ini. Mulai dari merosotnya kekuasaan imperium Spanyol,
pembukaan ekonomi Filipina yang mendorong migrasi orang-orang Cina ke sana.
Ketika Amerika masuk menggantikan Spanyol sebagai penguasa di Filipina, ia
memperkenalkan sistem demokrasi. Ketika itu imigran-imigran Cina sudah
menjadi kuat dan menguasai ekonomi. Dengan cepat, pengusaha-pengusaha Cina
ini menguasi lembaga-lembaga demokrasi di tingkat lokal dan kemudian
nasional. Dari kekuasaan politik ini, mereka memperkuat ekonomi sehingga
mereka menjadi ‘cacique’. Mereka
menguasai faktor produksi ekonomi yang sangat besar dan dari kekuatan ini
mengontrol kekuasaan politik.
Ben Anderson
juga menulis beberapa artikel tentang nasionalisme Filipina. Namun karya yang
paling besar tentang Filipina lahir setelah dia pensiun dari tugas mengajar
di Universitas Cornell. Tahun 2006, terbit buku ‘Under The Three Flags’[2] yang mengkaji bagaimana ide-ide
anarkis dari Eropa dan Amerika menjelajah dan mengilhami pemberontakan
anti-imperialisme di banyak negara. Dengan mengambil contoh dua novel karya
bapak bangsa Filipina, Jose Rizal, dia menunjukkan globalisasi gerakan
anti-kolonial, tarik menarik antara penyebaran ide-ide anarkis dan
kebangkitan revolusi dan nasionalisme di daerah-daerah pinggiran (periphery). Buku ini memperkuat semua
tesis yang sudah dibangun oleh Ben didalam karyanya yang paling mashyur, Imagined Communities, yakni bahwa
kapitalisme media cetak memiliki peranan besar dalam pergerakan ide ini.
Pada tahun
1998, Ben Anderson mengumpulkan semua esei yang ditulisnya tentang tiga
negara di Asia Tenggara ini ke dalam sebuah buku, “The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the
World.” Buku ini, selain merupakan hasil perbandingan antara tiga negara
Asia Tenggara yang selama ini dia pelajari, juga merinci kembali semua
pikiran-pikiran dia tentang nasionalisme.
***
Tidak ada
negara yang menyedot sebagian besar perhatian Ben Anderson selain Indonesia.
Dia mengakui bahwa dia mengalami saat-saat terbaik dalam hidupnya ketika dia
melakukan riset di Indonesia antara 1961-64. Pada masa-masa setelah itu, sekalipun
dilarang untuk berkunjung ke negeri ini selama hampir seperempat abad, dia
tidak kehilangan gairah untuk memperhatikan Indonesia.
Karya
pertamanya tentang Indonesia adalah ‘Java in a Time of Revolution.’ Ini
adalah sebuah kajian tentang revolusi Indonesia di Jawa. Berbeda dengan
gurunya, George Kahin, yang menulis ‘Nationalism and Revolution in Indonesia’
yang mengupas dinamika revolusi di kalangan elit-elit politiknya, Ben
Anderson melihat dinamika di bawah. Dia memunculkan satu kategori sosiologis yang
menjadi kekuatan penggerak revolusi, yaitu golongan pemuda. Sangat berbeda
dengan kaum Marxis tradisional yang menganalisis kelas sosial, pemuda jelas
bukan kategori kelas. Satu-satunya kategori adalah umur dan status pemuda ini
adalah status sementara dalam perjalanan hidup manusia. Ini adalah status
ketika orang belum menjadi ‘dewasa’ namun tidak lagi ‘anak-anak.’ (Ingat,
konsep pemuda ini sangat berbeda dengan konsep pemuda Orde Baru yang
kebanyakan berumur 40 tahun ke atas!).
Status pemuda
adalah sesuatu yang baru yang terjadi karena perubahan sosial. Konsep ini
hanya muncul ketika konsep pendidikan diperkenalkan ke dalam masyarakat.
Secara tradisional, orang lahir dan sejak usia dini sudah dipersiapkan untuk
bekerja. Namun itu berubah setelah diperkenalkan pendidikan. Sekalipun
demikian, konsep ini tidak juga tidak terlalu asing untuk masyarakat Jawa
yang mengenal ‘satria lelana’ sebagai salah satu konsep orang muda yang
berkelana menimba ilmu. Ini adalah transisi sebelum dia menetap dan menjadi dewasa.
Buku ini
diterjemahkan ke Indonesia pada tahun 1990an dengan judul ‘Revolusi Pemoeda.’
Judul terjemahan yang saya rasa lebih pas. Di kemudian hari, Ben Anderson
mengingatkan bahwa apa yang namanya revolusi ini sesungguhnya memang pernah
ada. Selain revolusi menentang pendudukan kolonial asing, antara tahun
1945-1949 juga berlangsung revolusi sosial populis, yakni revolusi “melawan
birokrat kolaborator Belanda, monarki dan aristokrasi lokal yang menindas,
kepala-kepala desa yang dibenci, mata-mata Belanda, dan kadang-kadang juga
golongan ‘pengkhianat’ (yang umumnya orang Kristen-Indonesia), dan tentu saja
golongan yang paling tidak disukai, yakni para pedagang keturunan Cina, para
pembunga uang, dan lain sebagainya.”[3]
Revolusi
semacam ini terjadi hampir merata di Indonesia yakni di Aceh, Sumatra Utara,
Pantai utara Jawa, Banten, dan Surakarta. Namun, dengan berkuasanya
pemerintahan militer Suharto, kata Revolusi ini dihilangkan dan diganti
dengan ‘Perang Kemerdekaan.’ Kalau pun ada ingatan sejarah ditinggalkan maka
ia direkonstruksi menjadi ‘Pemberontakan Komunis’ seperti peristiwa Madiun
1948. Kata massa dan rakyat pun menghilang menjadi masyarakat. Kata pemuda lebih parah
lagi diturunkan tingkatnya menjadi manusia mapan setengah tua yang memang
dipersiapkan untuk menjadi antek-antek penguasa militer.
Bahasa dan
sastra selalu menarik perhatian Ben Anderson. Seringkali dia melihat politik
dan kehidupan sosial lainnya lewat kacamata bahasa dan sastra (juga di
kemudian hari, film). Itulah yang melatarbelakangi keluarnya buku “Language and Power.” Sebagian besar
esai dari buku ini ditulis saat Ben mengalami ‘pengasingan’ dari Indonesia.
Pengasingan itu memaksanya untuk membaca berbagai macam terbitan dan berkala
yang datang dari Indonesia. Juga mengorek sedemikian banyak arsip di
perpustakaan Universitas Cornell. Dia beruntung karena Cornell memiliki
koleksi tentang Asia Tenggara yang termasuk yang terlengkap di dunia.
Hampir semua
esai dalam buku berusaha untuk menunjukkan kontradiksi antara masyarakat Indonesia
yang baru terbentuk pada awal abad ke-20 dengan ide-ide tradisional yang
masih hidup dalam dalam masyarakat. Sementara politik Indonesia modern
dilakukan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia yang egaliter – sebuah proyek
yang dimulai oleh para nasionalis – namun isinya tidak sepenuhnya sejalan
dengan egaliterisme proyek nasionalis ini. Dalam konsep kekuasaan, misalnya,
baik Soekarno dan terlebih lagi Soeharto, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
Jawa yang membesarkan mereka.
Kontradiksi
semakin mencolok ketika membandingkan bahasa (lewat kartun dan monumen,
misalnya) revolusi pada jaman Soekarno yang masih kuat dipengaruhi oleh kaum
nasionalis dengan bahasa Orde Baru. Egaliterisme dalam bahasa terasa sangat
kuat pada masa Soekarno, sementara Orde Baru sangat bercorak hirarkis. Ben
Anderson dengan jeli melihat semua perubahan-perubahan ini. Meskipun orang
juga bisa mempertanyakan cakupan Indonesia yang dikaji oleh Ben, karena yang
dikaji hanyalah Jawa. Sekali pun tidak bisa disangkal bahwa kebudayaan Jawa
memiliki pengaruh yang amat besar terhadap seluruh politik Indonesia.
Karya
terpenting Ben Anderson tentulah ‘Imagined
Communities.’ Karya ini sama sekali tidak bersangkutan dengan Indonesia,
namun jelas bahwa pengalaman dengan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara
sangat mempengaruhi pikiran dalam buku ini. Dalam pengakuan Ben sendiri, buku
ini adalah semacam ‘inverted
orientalism’ (orientalisme terbalik) dimana seorang yang berasal dari
kebudayaan Barat melihat fenomena besar yang tumbuh (pada awalnya) di Barat
namun dengan kacamata dari Timur, dari pinggiran.
Imagined Communities berangkat dari pertanyaan mengapa
orang yang tidak saling mengenal bisa terikat dalam satu perasaan bahwa
mereka adalah bagian dari sebuah komunitas yang disebut bangsa? Apa yang
membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa? Mengapa
orang mau mati untuk sebuah bangsa, untuk anggota-anggota yang tidak
dikenalnya? Nasionalisme, demikian tulis Ben Anderson, juga memunculkan
kecintaan dan bahkan membutuhkan pengorbanan untuk memenuhi rasa cinta itu.
Contoh yang
digemari oleh Ben adalah bagaimana masyarakat terikat satu sama lain karena
nasionalisme. Jika tanpa nasionalisme, demikian katanya, orang Amerika akan
saling membunuh satu sama lain dalam lima menit karena begitu banyaknya orang
yang punya senjata. Namun itu tidak terjadi karena orang merasa terikat satu
sama lain sebagai bangsa.
Namun itu
juga tidak dengan serta merta menjadikan korupsi tidak penting. Sama sekali
tidak. Korupsi tidak akan terjadi jika orang memiliki nasionalisme. Orang
tidak akan mencuri dari milik bersama sebagai bangsa karena punya perasaan
senasib dan sepenanggungan. Orang Jepang, yang terkenal memiliki nasionalisme
amat tinggi, akan membunuh dirinya sendiri kalau mereka ketahuan mencuri dari
milik bersama.
Hal yang sama
juga bisa diterapkan terhadap kritik terhadap jalannya kehidupan bersama
sebagai bangsa. Mereka yang mempersoalkan segala macam ketidakberesan di
dalam negara tidak bisa dituduh tidak nasionalis. Kebanyakan orang mempersoalkan
ketidakberesan ini karena perhatian dan rasa rasa cintanya pada negara. Kita
harus sangat waspada pada orang yang mengatakan pengritik jalannya hidup
bersama sebagai bangsa adalah pengkhianat bangsa. Biasanya penuduh itu
memiliki maksud-maksud tertentu yang bermotif penyelewengan.
Ben Anderson menelusuri sejarah
munculnya nasionalisme ini. Dia menemukan bahwa kehadiran nasionalisme itu
banyak berkaitan dengan kemunculan kapitalisme media cetak (print-capitalism). Hadirnya suratkabar
dan buku-buku itu menciptakan perubahan mental yang amat mendasar dalam masyarakat. Terlebih
lagi, kapitalisme media cetak melayani pembacanya dalam bahasa-bahasa lokal (vernaculars). Sebagai akibatnya, orang
memiliki kemampuan untuk membayangkan (imagined)
dalam posisi orang lain (emphaty).
Penjelasan
melalui lahirnya kapitalisme media cetak sebagai basis material dari
nasionalisme ini sesungguhnya adalah penjelasan Marxian. Seluruh proses ini
digerakkan oleh kapitalisme. Bagaimanapun juga media-media cetak adalah juga
komoditi yang diproses oleh kapitalisme, dipertukarkan dalam mekanisme pasar
sama seperti pertukaran komoditi lainnya. Namun, tidak seperti analisis kapitalisme
yang konvensional, Ben Anderson cenderung melihat efek yang agak positif dari
kapitalisme media cetak ini, yakni dengan lahirnya nasionalisme dan komunitas
bangsa.
***
Survey yang
teramat singkat dari perjalanan intelektual Ben Anderson di atas
memperlihatkan perjalanannya sebagai ahli sebuah wilayah (area studies) dan kemudian memberikan
sumbangan kepada dunia teori ilmu-ilmu sosial. Ben melakukannya dengan sangat
kreatif dan inovatif. Dia memakai pendekatan Marxian tanpa sedikitpun
terjebak pada jargon-jargon Marxian. Penjelasannya tentang munculnya
nasionalisme lahir dari keluasan dan kedalaman pengetahuannya akan sejarah
dunia, namun sekaligus juga keahliannya dalam studi Asia Tenggara. Baik di
dalam Imagined Communities, Spectre of
Comparisons, dan Under Three Flags
kita mendapati fakta-fakta yang dicomot dari berbagai belahan dunia. Ben
Anderson adalah seorang comparativist
sejati dan dia menjadi demikian karena terbantu oleh kemampuannya untuk
belajar bahasa dengan cepat.
Ketika hendak
menulis obituari ini (kalaupun bisa disebut demikian!) saya bertanya pada
diri saya sendiri, seandainya ada keharusan untuk memasukkan Ben Anderson ke
dalam sebuah kotak kategori maka kategori apakah itu? Dia jelas bukan orang
yang liberal dalam pengertian orang yang percaya pada sistem pasar bebas dan
kehadiran kelas menengah yang akan membawa demokrasi.
Namun dia
juga bukan seorang Marxist yang dogmatis. Dia memakai prinsip dasar Marxian
untuk melihat dan menganalisis banyak hal. Seperti analisisnya dalam Withdrawal Syndrome, misalnya. Dia
memblejeti kelas menengah dan borjuis kecil Thailand yang tidak mau mengambil
resiko untuk berubah. Dia melihatnya dari pembentukan kelas menengah dan para
borjuis kecil ini, yakni lewat pendidikan massal, dan kemudian
kontradiksi-kontradiksi yang muncul sebagai akibat dari pendidikan massal
tersebut.
Di Indonesia
pun Ben Anderson cepat melihat kontradiksi-kontradiksi itu. Ketika melakukan
riset lapangan pada awal tahun 1960an, dia terkaget-kaget melihat masyarakat
Jakarta yang begitu cair. Rakyat jelata bisa berbaur dengan Paduka Jang Mulia
Presiden untuk menonton wayang di istana. Namun, lagi-lagi, ketika melihat
kenyataan politik dia juga melihat kontradiksi yang amat kuat antara kaum
reaksioner Kanan dengan kekuatan revolusioner Kiri.
Mungkin
satu-satunya kotak yang tepat untuk mendudukkan Ben adalah kotak progresif.
Kotak itupun rasanya kekecilan. Dia progresif dengan pengertian bahwa dia
tidak suka dengan hirarki, dominasi, penaklukan, dan yang terpenting sangat
tidak suka dengan kekuasaan. Rasa-rasanya, dimana pun Ben berada dia tidak
pernah berdamai dengan kekuasaan. Itu mungkin menjelaskan mengapa dia memilih
Irlandia sebagai kewarganegaraannya dan bukannya Inggris. Dalam satu
wawancara, dia mengatakan bahwa dalam buku Imagined Communities dia menyebut semua raja dan kaisar Eropa
dengan sebutan resminya. Namun tidak demikian halnya dengan Raja/Ratu
Kerajaan Inggris. Dia memberi sebutan seolah-oleh mereka adalah orang biasa
atau orang kebanyakan, dengan menyebut langsung namanya seperti Victoria von
Saxe-Coburg-Gotha, atau hanya Anne Stuart saja. Itu dilakukannya untuk
memprovokasi orang Inggris.
Ben adalah
juga seorang penjelajah. Dia tidak hanya tahu sesuatu dari buku atau tulisan,
namun juga dengan mengunjungi sendiri tempat-tempat yang pernah dibacanya.
Ketika kembali ke Indonesia sesudah Orde Baru jatuh, hal pertama yang dia
lakukan adalah mengunjungi candi-candi yang sempat dia kunjungi di era
1960an. Dia memiliki kelompok anak-anak muda yang diajak menjelajah ke
candi-candi itu. Banyak di antara candi-candi itu tidak diketahui
keberadaannya oleh publik di Indonesia, kecuali oleh orang-orang berdiam
disekitarnya. Sehari sebelum dia meninggal pun dia mengunjungi candi
Jolotundo, di Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam hidup
sehari-harinya, Ben sangat gandrung dengan teka-teki silang (TTS). Dia
tinggal sekitar 30 kilometer diluaran kota Ithaca. Karena koran tidak diantar
kerumahnya maka setiap hari dia harus menyetir ke pusat kota Ithaca untuk
mengambil koran The New York Times.
Sebelum ada email dan internet, dia mengikuti perkembangan dunia lewat koran
ini, yang disebutnya koran terbaik karena berita internasional diletakkan di
halaman 1. Namun yang lebih penting adalah TTS.
Agaknya, TTS
adalah cara relaksasi untuknya. Dengan cerutu di bibir, dia akan mengisi TTS
itu dengan tekun. Hanya saja, dia tidak mengisi dengan cara konvensional. Dia
akan menulis jawaban TTS tersebut di kertas apa saja yang dia bisa dapati.
Seringkali halaman kosong di balik draft disertasi mahasiswanya menjadi
korban TTS. Dia akan menulis angka-angka jawaban TTS itu. Hingga saat ini,
cara menjawab TTS dengan mengkonversikannya menjadi angka itu tetap menjadi
misteri bagi saya.
Kecanduannya
dengan TTS pun dibawa ke mana-mana. Dalam satu obituari di koran Filipina,
diceritakan bahwa dia hadir di satu diskusi di University of Philippines
(UP). Ketika sesi tanya jawab, moderator memanggil namanya, “Prof. Anderson, ada pertanyaan?” Ben
ketika itu sedang asyik dengan TTS ditangannya, mengangkat muka, dan bertanya
dengan serius, “Apa kata Filipino untuk orgasme?”[4]
Kini, ilmuwan
dengan banyak keahlian ini sudah tiada. Sumbangannya untuk studi Indonesia,
Asia Tenggara, dan ilmu-ilmu sosial sungguh sulit ditakar. Ben Anderson
adalah sebuah figur unik yang sulit dicari padanannya.
Selain itu,
kecintaannya kepada Indonesia juga teramat besar. Saya selalu ingat
kata-katanya tentang nasionalisme yang rasanya sangat relevan dengan
Indonesia, “Menjadi satu bangsa itu
memerlukan pengorbanan, namun bukan dengan mengorbankan orang lain.”
Apalagi dengan mengorbankan sesama saudara sebangsa. Saya sendiri merasa
bahwa sebagai bangsa kita terlalu banyak mengorbankan hidup sesama warga
bangsa kita, terutama mereka yang lemah dan tidak berdaya.
Ketika kembali dari Indonesia
pertama kali tahun 1999, Ben mengeluh tentang perilaku orang-orang yang
mengaku menjadi penggerak reformasi. Mereka sibuk mempersoalkan berapa banyak
yang dicuri oleh Soeharto dan para kroninya. Namun tidak ada satu pun orang
mempersoalkan berapa banyak orang yang dibunuh dan dibikin menderita hidupnya
oleh Soeharto dan militernya.
Hidup Ben
Anderson sudah selesai. Namun dia meninggalkan warisan yang demikian besar
terhadap dunia intelektual dan pemikiran ilmu-ilmu sosial. Tanpa menjadi
terlalu sentimental, salah satu cara menghormatinya adalah dengan mengambil
inspirasi dari karya-karya Ben Anderson ini. Inspirasi bisa berarti
meneruskan agenda-agenda penelitian yang dirasakan kurang. Inspirasi juga
bisa berarti melahirkan kritik dari karya-karya Ben ini dan membuat karya
yang sama sekali baru.
Untuk itu,
kita hanya mampu mengucapkan terima kasih. Selamat jalan, Oom Ben! ●
|
[1] https://www.marxists.org/indonesia/indones/sudisman.htm
[2] Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Di Bawah Tiga Bendera: Sebaran
Anarkisme Global dan Imajinasi Anti-Kolonial di Asia Tenggara, Jakarta: Marjin Kiri, 2015.
[3] Lihat resensi Ben Anderson atas buku ‘Rifle Reports: A Story of Indonesian Independence oleh Mary Margaret Steedly’, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Volume 30, Number 3, November 2015, p. 861.
[4] http://opinion.inquirer.net/91207/benedict-anderson-in-memoriam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar