Akhir dari Penantian Panjang The Fed
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Desember 2015
SEPANJANG 2015, emosi kita
diaduk-aduk oleh drama yang terus menerus dilakukan Bank Sentral Amerika
Serikat, Federal Reserve (The Fed). Betapa tidak. Pada akhir 2014, Ketua The
Fed, Janet Yellen, telah mencanangkan normal isasi suku bunga AS. Suku bunga
acuan (benchmark rate) atau federal
funds rate (FFR) yang dipatok rendah 0,25%, direncanakan akan naik secara
bertahap. Setiap triwulan akan dinaikkan 25 basis poin sehingga pada akhir
2015 akan mencapai 1,25%.
Kenapa diperlukan normalisasi suku
bunga? Sesudah perekonomian AS terpukul oleh krisis subprime mortgage pada
2008, pemerintah AS dalam hal ini The Fed berusaha melawannya di sektor
moneter dengan dua hal. Pertama, suku bunga yang semula di atas 5% diturunkan
secara bertahap hingga mencapai titik terendah mendekati 0%. Tujuannya agar
likuiditas melonggar sehingga dapat mendorong konsumsi dan investasi yang
berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapang an
kerja. Pada saat krisis memuncak pada 2009, pertumbuhan ekonomi AS negatif
(berkontraksi), sedangkan pengangguran mencapai rekor tertinggi 10%.
Kedua, The Fed melakukan kebijakan
cetak uang (quantitative easing,
atau QE) untuk merelaksasi likuiditas. Dalam setiap krisis apa pun biasanya
diperlukan pelonggaran uang beredar (easy
money policy) agar bisa mendorong perekonomian. Dana dari kebijakan QE
ini digunakan untuk membeli aset-aset surat berharga pemerintah AS (treasury bills dan treasury bonds) untuk menjaga agar
harganya tidak jatuh. Pada saat krisis ter sebut, indeks harga saham di New
York (Dow Jones Industrial Index)
runtuh dari level 17.000 menjadi hanya 9.000. Hal yang serupa terjadi pada
angka penjualan mobil yang jatuh dari 17 juta unit menjadi hanya 9 juta unit.
Kebijakan QE dilakukan dalam tiga
tahap: 2009, 2011, dan 2013. Jumlah seluruh uang yang dicetak dalam tiga
episode QE tersebut mencapai US$ 4,2 triliun. Jumlah ini sangat besar.
Sebagai ilustrasi, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini Rp12 ribu
triliun atau hanya US$860 miliar. Dengan kata lain, kebijakan tiga QE
tersebut ekuivalen dengan hampir lima tahun PDB Indonesia, sedangkan PDB AS
saat ini sekitar US$17,5 triliun.
Kebijakan relaksasi ini pelan-pelan
memberikan hasil positif. Seiring dengan kurs US$ yang melemah terhadap
seluruh mata uang dunia, perekonomian AS pun mulai menikmati daya saing (competitiveness) yang meningkat. Terhadap
rupiah, dolar AS mengalami pelemahan terbesar pada Juli-Agustus 2011 ketika
rupiah mencapai titik terkuat Rp8.600 per US$ yang paralel dengan
meningkatnya cadangan Indonesia yang mencapai titik tertinggi US$124,67
miliar.
The Fed pun mulai merasakan
perekonomian AS mulai pulih pada Mei 2013. Pada saat itu, absorpsi tenaga
kerja mulai meningkat, yang terindikasi dari variabel nonfarm payroll (tenaga
kerja di sektor nonpertanian) yang rata-rata mulai menembus 200.000 orang per
bulan. Sejak saat itulah kurs dolar AS mulai menguat terhadap seluruh mata
uang dunia, termasuk rupiah. Dengan kata lain, rupiah mulai melemah
(terdepresiasi) terhadap dolar AS.
Kebangkitan perekonomian AS ini
kemudian menimbulkan euforia investor global yang mulai gencar mengoleksi
mata uang dolar AS dan sebagian besar menerbangkannya ke New York. Likuiditas
dolar AS di seluruh dunia pun pulang kampung ke AS untuk menyam but perbaikan
ekonomi AS. Kurs dolar terus menguat dan indeks harga saham di New York juga
terus meroket, kembali ke level sebelum krisis 2008, yakni 17.000.
Pada saat itulah The Fed
memutuskan untuk menghentikan pencetakan uang (kebijakan QE) karena
perekonomian sudah mengarah normal. Sebagai tandemnya, suku bunga rendah
yang sudah dibiarkan lama akan dikoreksi ke arah normal. Suku bunga normal di
AS ialah 2% (di era Ketua The Fed Alan Greenspan) dan 4% (di era Ketua The
Fed Ben S Bernanke). Berarti, setidaknya suku bunga 0,25% akan secara
bertahap dikembalikan Janet Yellen ke level normal, setidaknya 2%. Untuk
menuju ke sana, Yellen harus menaikkannya secara bertahap.
Kenapa suku bunga tidak di biarkan
rendah saja, seperti dialami Jepang sejak 1990-an hingga sekarang? Yellen
beralasan terlalu banyaknya likuiditas dolar AS yang beredar di seluruh dunia
akan rawan menyebabkan spekulasi. Akan mengerikan jika tambahan pasokan dolar
AS sejumlah US$4,2 triliun dipakai untuk spekulasi. Sektor finansial global
bisa gonjang-ganjing tidak menentu dan perekonomian AS akan terganggu. Ini
tidak boleh dibiarkan. Caranya, suku bunga harus dinaikkan agar sebagian dari
likuiditas global itu diserap sistem perbankan.
Namun, skema Yellen tidak berjalan
mulus. Belum lagi suku bunga dinaikkan, pasar sudah mengantisipasi setiap
pertemuan The Fed (Federal Open Market Committee, atau FOMC) dengan kenaikan
kurs dolar AS. Kejadian ini terus berulang sepanjang 2015. Akibatnya, The Fed
terus-menerus batal menaikkan suku bunga. Pasar pun terus bergejolak.
Padahal, setiap kali kurs dolar AS terapresiasi (menguat), sebenarnya
perekonomian AS dirugikan. Daya saing produk-produk AS akan menurun. Sementara
itu, di sisi lain, pemerintah Tiongkok justru melakukan devaluasi yuan
(renminbi) dalam rangka mendorong daya saing produk-produknya yang mulai
terganggu oleh kenaikan upah buruh dan harga tanah di sepan jang Pantai Timur
Tiongkok.
Situasi ini terus berlangsung
sepanjang tahun hingga November 2015. Lalu, sampai kapan keadaan ini akan
berlanjut? Yellen harus menghentikannya. Tatkala data statistik ekonomi AS sudah
baik seperti sekarang, tidak perlu ada lagi yang ditunggu. Perekonomian AS
tumbuh 2,5%, inflasi rendah mendekati 0%, pengangguran 5%, dan daya serap
tenaga kerja di atas 200.000 per bulan, bahkan pernah melebihi 300.000 per
bulan.
Ini momentum yang tepat, sudah tidak
ada yang bisa diharapkan lebih baik lagi, dari pada saat ini. Inilah alasan
kenapa Yellen akhirnya berani menaikkan FFR dari 0,25% men jadi 0,5%.
Ternyata hal ini tidak sampai memicu rupiah untuk melemah lebih lanjut.
Rupiah justru mulai beringsut menguat. Kenapa? Saya menduga pelemahan rupiah
sudah dicicil sepanjang 2015 atau dengan kata lain kemungkinan kenaikan FFR
sudah diperhitungkan (priced in)
para investor. Rupiah bahkan sudah terlalu murah (unvervalued) sehingga depresiasi lanjutan tidak diperlukan.
Di sisi lain, saya juga meyakini
sentimen positif terhadap AS juga tidak mungkin terus-menerus terjadi. Semua
itu tetap ada batasnya. Disini tidak berlaku adagium the sky is the limit. Tidak mungkin limitless. Semua bakal ada batasnya. Contohnya, indeks harga
saham New York yang pernah kena euforia hingga 18.300, akhirnya terkoreksi
tajam hingga pernah 15.700. Kini indeks tampak mulai normal dan stabil di
level 17.000-an. Akhir pekan lalu indeks di New York terpental ke 17.128.
Atas dasar ini saya meyakini
rupiah tidak layak berada di level Rp14 ribu, apalagi Rp15 ribu per US$. Itu
sama sekali tidak merefleksikan fundamental ekonomi yang kita miliki. Rupiah
mestinya di level yang lebih kuat, misalnya, antara Rp13 ribu hingga Rp13.600
per US$.
Karena itu, saya tidak sepakat
dengan pemerintah yang menetapkan asumsi rupiah dalam APBN 2016 sebesar Rp
13.900 per US$. Itu sama sekali terlalu pesimistis dan tidak menunjukkan
kemauan bekerja keras. Mestinya pemerintah harus menetapkan target yang lebih
bermartabat, misalnya, Rp13.600 per US$.
Jika rupiah mulai berada pada
level yang logis di bawah Rp14 ribu per US$, sedangkan inflasi sepanjang 2015
bisa dijinakkan ke 2,87%, ruang penurunan suku bunga mulai terbuka pada
Januari 2016. Saya perkirakan BI rate sudah bisa mulai diturunkan ke 7,25%,
dari level 7,5% saat ini.
Bila hal itu dapat direalisasikan,
kita boleh berharap pertumbuhan kredit industri perbankan yang saat ini hanya
10% dapat ditingkatkan hingga maksimal 15% pada 2016. Selanjutnya, hal ini
akan mendorong pertumbuhan ekonomi dari 4,8% (2015) menjadi 5,2% (2016).
Di saat itulah kita boleh merangkai
asa menaikkan penerimaan pajak, yang tahun ini mengalami kekurangan penerimaan
(shortfall) hingga Rp250 triliun.
Karena itu, saya menyambut baik ide Menteri Perekonomian Darmin Nasution
untuk segera merevisi penerimaan pajak 2016, yang dianggarkan di atas Rp1.500
triliun. Sebagai mantan Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution pasti
memiliki indra keenam yang baik untuk mendeteksi kelayakan target penerimaan
pajak.
Akhirnya, kita sikapi kenaikan
suku bunga The Fed dengan tenang. Itu hal yang memang mesti terjadi atau
sebuah keniscayaan yang tertunda. Sementara itu, dengan berbekal pengendalian
inflasi 2,87% pada 2015, itu akan menumbuhkan ruang untuk menurunkan BI rate,
yang selanjutnya dapat memicu kenaikan pertumbuhan kredit, kemudian kenaikan
pertumbuhan ekonomi 2016. Karena itu, tetaplah bersemangat menyambut 2016 dan
selamat tinggal 2015 yang ‘aneh’ dan sulit ditebak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar