Visi Jokowi
R William Liddle ;
Profesor Ilmu Politik Emeritus, Ohio State University, AS
|
KOMPAS,
17 November 2015
Salah satu acara
penting Presiden Joko Widodo di Washington adalah pidatonya di Brookings Institution. Substansi
pidato itu mengingatkan saya kepada sejumlah pidato internasionalnya dari
Tiongkok sampai yang paling baru di Australia. Semuanya menunjukkan sebuah
visi yang konsisten tentang apa yang mau dicapai dari hubungan luar negeri
bagi pemerintahannya.
Brookings Institution
adalah think tank ternama yang mewakili sayap kiri moderat dalam kehidupan
intelektual publik Amerika. Di sini pandangan kiri moderat punya dua pilar
utama. Pertama, pasar, baik dalam negeri maupun global, diyakini selaku
pencipta utama kemakmuran segala bangsa, termasuk Amerika dan Indonesia.
Kedua, negara atau pemerintah dipercaya mampu dan wajib mendorong dan
mengatur pembangunan ekonomi setiap bangsa guna menjamin growth plus equality, pertumbuhan setinggi mungkin dan pemerataan
serata mungkin.
Dalam kehidupan
partisan di Amerika, pandangan kiri moderat diasosiasikan dengan Partai
Demokrat. Pada paruhan pertama abad ke-20 Presiden Franklin Roosevelt dari
partai itu menciptakan sejumlah lembaga dan peraturan baru untuk
menanggulangi dampak krisis ekonomi terparah dalam sejarah Amerika.
Belakangan ini Presiden Barack Obama, juga tokoh Demokrat, berhasil
menciptakan undang-undang baru agar semua orang mampu membeli asuransi
kesehatan yang layak. Mantan Menlu Hillary Clinton, yang hampir pasti akan
dicalonkan tahun depan sebagai presiden dari Partai Demokrat, kini mendapat
banyak masukan dari Brookings. Alasannya: lembaga itu dianggap paling peka
terhadap komitmen para politisi Demokrat kepada pertumbuhan yang merata.
Di Brookings, Presiden
Jokowi diperkenalkan oleh Presiden Strobe Talbott, mantan Deputi Menlu AS,
dan Brad Sherman, anggota senior Komisi Luar Negeri di Dewan Perwakilan.
Tanpa basa-basi, dalam bahasa Inggris yang jelas dan mudah dimengerti, Jokowi
langsung memaparkan dua tantangan utama yang dihadapi pemerintahannya:
pembangunan infrastruktur dan perlindungan lingkungan. Kedua-duanya ditaruh
dalam konteks downturn, kecenderungan ekonomi dunia menurun sejak
pelantikannya tahun lalu, yang merupakan tantangan tersendiri.
Bebas dari birokrasi rumit
Menurut Jokowi,
kenyataan itu mendorong dia untuk secara tegas membebaskan ekonomi dari
peraturan birokrasi yang rumit, tak konsisten, dan kadang absurd. Lima paket
deregulasi sudah diumumkan dan banyak lagi akan menyusul. Sambil tersenyum
dia mengakui kekagetan Obama ketika diberi tahu dalam pertemuan mereka di
Gedung Putih bahwa Indonesia kini mau masuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
TPP adalah kegiatan utama Obama untuk membebaskan perdagangan antara
negara-negara bersangkutan sambil menciptakan sejumlah persetujuan baru
tentang hal penting, seperti bea cukai, hubungan buruh, dan hak kekayaan
intelektual.
Dalam acara
tanya-jawab, Jokowi ditanya tentang kebijakan kemitraan negara-swasta untuk
membiayai berbagai proyek infrastruktur. Penanya James Castle, konsultan
bisnis yang lama tinggal di Indonesia dan tahu betul betapa sulit menciptakan
kemitraan itu. Daripada menjawab langsung, Jokowi meminta Menteri Perdagangan
Thomas Lembong menjelaskan proyek-proyek yang sudah jadi dan sedang
direncanakan. Lembong ternyata sangat menguasai bahasa Inggris pada tingkat
kefasihan yang jarang ditemukan pada pejabat Indonesia. Jawabannya juga sarat
informasi spesifik yang pasti meyakinkan para investor potensial yang hadir.
Selain itu, ada dua
komentar menarik. Pertama dari anggota Kongres, Brad Sherman, ketika dia
memperkenalkan Jokowi. Para hadirin, yang sebagian besar kemungkinan tak tahu
banyak tentang Indonesia, diingatkan bahwa 60 tahun lalu Presiden Soekarno
diundang berpidato di depan Joint
Session of Congress, sesi gabungan Senat dan Dewan Perwakilan. Undangan
itu suatu prestasi besar yang jarang diberikan kepada tamu negara, termasuk
pemimpin negara sekutu.
Sherman berharap dalam
waktu tak terlalu lama seorang presiden dari Indonesia akan sekali lagi
diundang bicara di depan Joint Session itu. Tentu harapan itu disampaikan
dengan pengertian bahwa Pemerintah Indonesia, mungkin termasuk Jokowi
sendiri, merasa kecewa mengenai itu, apalagi setelah mereka melobi keras demi
perwujudannya.
Dua wacana
Komentar kedua
diucapkan Talbott tatkala acara ditutup. Kata-kata Jokowi yang paling
berkesan, simpul Talbott: Indonesia pasca-reformasi membuktikan bahwa Islam
dan demokrasi tak berlawanan. Malah Indonesia membuktikan Islam dan
modernitas pun tak bertentangan. Saya sendiri teringat bahwa ada dua wacana
yang mengikat Indonesia dan Amerika masa kini: bagaimana menciptakan
kemakmuran global dan menanggulangi serangan yang semakin ganas dari kaum
jihadi, seperti baru kita saksikan di Paris.
Kesimpulan saya: kita
sudah bersama-sama mengerti masalah pertama dan pemecahannya. Namun, baik di
Indonesia maupun di Amerika belum ada pengertian yang memuaskan tentang
masalah kedua. Kenapa di negara-negara mayoritas Muslim lainnya umat yang
moderat belum cukup besar untuk berdamai dengan demokrasi dan modernitas? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar