Tragedi Paris: Indonesia Menolak ISIS
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KORAN
SINDO, 17 November 2015
Paris 13/11 adalah
tragedi kemanusiaan yang menyedihkan, memilukan, mengiris hati, serta
meninggalkan sejumlah pertanyaan aktual yang oleh beberapa pihak dikatakan
sedikit sulit untuk diurai.
Betapa tidak, tragedi
Paris seolah membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya terorisme
dan radikalisme bisa melanda apa saja, kapan saja, dan siapa saja, termasuk
negara dengan sistem sekuritas yang mapan juga modern seperi Prancis.
Serangan yang diduga kuat dilakukan oleh jihadis-jihadis Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang menyebabkan ratusan
jiwa meregang nyawa itu juga bisa dijadikan dalil sahih bahwa sesungguhnya
bibit-bibit radikalisme itu bisa bersemai di mana saja.
Dari negeri yang
paling fasis sampai negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
Pada negeri yang terakhir ini, menarik untuk kembali mengungkapkan hasil
temuan Jack Snyder (1999), seorang guru besar Universitas Columbia. Ia dalam
bukunya yang bertajuk From Voting to
Violence: Democratization and Nationalist Conflict mengatakan bahwa
sejarah demokrasi adalah bentangan sejarah konflik, kekerasan, juga
radikalisme.
Perang-perang yang
merupakan puncak kekerasan di dunia seperti perang Napoleon (1803-1815),
perang Kaisar Wilhelm (1914-1918), juga perang Adolf Hitler (1939-1945)
adalah sebagian besar disebabkan oleh usaha untuk menuju demokratisasi itu
sendiri. Artinya, tesis Snyder ini bisa dijadikan landasan kuat bahwa
sesungguhnya kekerasan itu bisa bersemai di mana saja, termasuk di negara
yang demokratis sekalipun.
Bahkan lebih jauh soal
radikalisme ini, Karen Amstrong (2007) dalam the Battle for God mengatakan bahwa radikalisme ada di hampir
semua agama. Di setiap kepercayaan, apa pun itu bentuknya terlebih agama,
hampir bisa dipastikan ada barang satu atau dua gerakan yang lebih bersikap
fundamentalis yang kemudian gerakannya diekspresikan dengan cara-cara
kekerasan (radikalisme).
Pada tataran inilah
saya ingin memberikan garis demarkasi antara fundamentalisme dan radikalisme
yang dalam bahasa agama kerap diistilahkan sebagai ”Syiddah Al-Tanattu”.
Dalam hemat saya, fundamentalisme adalah abstraksi pemahaman yang domain
wilayahnya ada di pikiran.
Sementara itu,
ra-dikalisme adalah tindakan turunan yang dilahirkan dari pola pikir
fundamentalis itu. Artinya, fundamentalisme itu soal pikiran, sementara
radikalisme itu soal tindakan. Lebih jauh soal radikalisme itu sendiri, Said
Aqil Siroj (2014) pernah mengemukakan analisisi menarik. Ia berpendapat bahwa
sesungguhnya radikalisme hari ini telah terfragmentasi menjadi minimal tiga
bentuk dan varian.
Pertama, radikalis
puritan. Radikalis macam ini lebih menitikberatkan kegiatannya dalam rangka
memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi yang lokal. Kedua, radikalis
sekuler. Radikalis ini banyak mengonsentrasikan gerakannya untuk mengislamkan
segala sistem sekuler seperti demokrasi, sistem politik, juga bentuk negara.
Terakhir, radikalis
teroris yang mengejawantahkan seluruh konsep dan pikiran serta pandangannya
dengan cara pemaksaan yang dibungkus dengan kekerasan. Sesungguhnya jika kita
telaah lebih jauh, dua bentuk pertama dari fragmentasi radikalisme itu, kita
akan menemukan bahwa gerakan radikalisme berada sebatas pada konsep dan alam
pikir pengikutnya semata.
Mungkin juga dua
bentuk tersebut juga diwujudkan dalam bentuk gerakan, namun tidak sampai
menggunakan kekerasan sebagai alat gerakannya. Pada dua bentuk itu kadar
serta taraf bahaya radikalisme tidak sebesar yang ada pada radikalisme dalam
bentuk ketiga yakni radikalisme teroris yang selalu istikamah menjadikan
teror dan kekerasan sebagai pengejawantahan gerakan serta cara untuk
menerjemahkan gagasannya.
Terorisme sebagaimana
yang terjadi di Paris hari ini yang merupakan ejawantah dari fragmentasi
radikalisme teroris di atas, meminjam analisis F Budi Hardiman (2009),
bangkit lewat Technology of Fear,
bangkit lewat dramatisasi kematian. Di sinilah sesungguhnya ”kerja-kerja”
seperti bom bunuh diri itu bisa kita pahami.
Lebih menyedihkannya,
paham terorisme tersebut jika kita cermati dengan teliti, sesungguhnya mereka
bisa berkembang dengan sangat cepat justru dengan cara memanfaatkan lahan
subur yang bernama kebebasan yang dikenal dalam sistem demokrasi. Kebebasan
argumentasi juga kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu ciri utama
demokrasi itulah yang menjadi media pacu landas serta alasan kemunculan paham
radikalisme yang berwujud terorisme tersebut di negara-negara yang menganut
paham demokrasi.
Pada titik inilah saya
mengajak pada semua pihak untuk selalu waspada. Radikalisme adalah momok bagi
kita semua. Meminjam Roxane L Ebune (2002), fundamentalisme serta radikalisme
adalah musuh dalam cermin bagi kaum beragama. Tak ada jalan untuk bisa menaklukkan
musuh dalam cermin itu kecuali dengan cara menaklukkan diri sendiri.
ISIS yang menjadi
aktor utama radikalisme akhir-akhir ini nyatanya tidak saja bersemi di
negara-negara Asia, ia juga sudah merambah Eropa yang konon paling aman.
Nyatanya hari ini kita mendapati fakta yang berbeda. Terorisme tidak tertidur
di Eropa, ia sudah bangun dan bersiap merenggut nyawa manusia lebih banyak
dan lebih meruah.
NU mengajak semua
pihak untuk membentengi diri dengan kearifan dan kesantunan dalam beragama.
Derajat manusia lebih tinggi dari hewan-hewan di dunia. Jika hewan-hewan itu,
meminjam analisis Erich Fromm (2000), menunjukkan perilaku agresif hanya
dalam bentuk yang paling defensif yakni untuk kepentingan hatinya jika mulai
terancam yang ternyata tujuannya bukan untuk menghancurkan, tetapi justru
untuk sekadar menjaga kelangsungan hidupnya.
Sebaliknya yang kita
dapati pada manusia adalah perilaku lebih rendah dari hewan-hewan itu. Mereka
menggunakan nalar destruktivitas dan kekejaman serta radikalisme justru untuk
memaksakan kehendak mereka. Jika hewan-hewan menggunakan kekerasan dalam
arena defensivitas, manusia menggunakan kekerasan dalam ranah ofensivitas.
Keadaan yang demikian
sesungguhnyalah yang menempatkan manusia tidak lebih mulia dibandingkan hewan-hewan
tersebut. Alakullihal, gerakan
radikalisme seperti apa pun dan dalam bentuk bagaimanapun tidak pernah
dibenarkan oleh agama. Atas dasar itulah, NU menjadi garda depan yang menolak
paham-paham Islam radikalis seperti ISIS berkembang di Indonesia.
Apalagi, sejak dini
kami mengenal diktum hubbul wathon
minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian bentuk dari keimanan, jelas
kami lebih mencintai Indonesia dibandingkan Irak dan Syiria. Wallahualam bishhowab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar