Senin, 02 November 2015

Tauhid yang Ilusif

Tauhid yang Ilusif

Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
                                                       KOMPAS, 29 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tidak akan pernah kita mampu memahami, bahkan mengerti, apa yang kita katakan sendiri tentang keber-"ada"-an Tuhan jika kita tidak pernah mengalami-Nya. Mungkin kita dapat pergi sejauh jarak yang dapat ditempuh langkah atau teknologi, sedalam samudra atau kerak bumi, atau mungkin semisterius makna dalam ilmu pasti hanya untuk mencari Tuhan. Tapi, Dia tak jua kita sua. Bukan, Dia tak mau, bukan kita pun tidak mau; tapi lebih kerap karena kita tidak mampu.

Sebab, kita menyangka pencarian seperti itu jauh sekali, sementara yang dicari ternyata dekat nian. Bagaimana bila ternyata Tuhan bukanlah sebuah jarak? Dia "ada" dan "hadir" tanpa demarkasi ruang dan waktu, yang artinya tidak tercari, tak mungkin dan sia-sia dicari. Ia ternyata harus dialami. Di mana dan bila? Tidak di mana pun, di kapan pun, akan tetapi di tiap mili ruang dan di satuan terkecil waktu kehidupan kita sendiri.

Pernahkah Anda merasakan sesak, begitu sesaknya, sehingga merasa maut sedang menyergap tanpa diduga? Lalu karena obat, atau pertolongan lain, sekonyong Anda merasa lega karena napas kembali lega. Pernahkah Anda begitu laparnya sehingga sebuah singkong rebus begitu bernafsu Anda kunyah dan telan? Atau, pernahkah Anda merasa tidak akan mampu memiliki sesuatu, tapi suatu hari mendapatkannya tanpa Anda mengerti bagaimana dan kenapa? Apa sesungguhnya yang Anda rasakan pada momen-momen seperti itu?

Bahagia tentu, bersyukur dan berterima kasih juga. Mungkin bersujud dan berdoa, atau boleh jadi Anda menitikkan air mata. Anda telah memperoleh rezeki karena mendapatkan kehadiran-Nya; mengalami-Nya. Boleh jadi sebagian merasa semua kejadian itu hanya sebagai hasil peruntungan saja, seperti dalam sebuah permainan atau perjudian. Sebagian meyakini itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Itulah mereka yang tak mengalami-Nya. Maka, bagi yang mengalami, belajarlah dari pengalaman itu untuk mengenalinya untuk jadi referensi dalam mengingat atau menyebut nama-Nya, lalu rasakan nikmatnya syukur itu.

Tapi, apakah hanya dalam sebuah momen luar biasa, di ujung batas kematian, misalnya, kita berkemungkinan mengalami-Nya? Tidakkah Anda pun bisa mengalami rasa syukur, bahagia, dan tetesan air mata yang sama saat melihat anak Anda yang masih balita berlari-lari dengan lucu, tubuhnya sehat, kata-katanya mulai terang dan bermakna? Tidakkah Anda mengalami-Nya saat melihat bayi tertidur dalam gendongan pengemis pada siang bolong di perempatan jalan raya; pada foto anak balita yang tubuh dan wajahnya terpendam pasir karena perahu yang mengangkutnya bersama puluhan pengungsi lain terlempar oleh gelombang Eropa?

Bahkan, terbayangkah Anda akan menitikkan air mata syukur yang sama saat melihat remaja sembilan tahun bernyanyi dengan suara malaikat dalam ajang Britain's Got Talent; sebuah lukisan atau puisi yang begitu indah sehingga imajinasi kita pun tak mampu menjangkaunya? Tak mengertikah kita bila Dia "ada" dan "hadir" di seluruh peristiwa hidup kita, bahkan di tiap oksigen dalam tarikan napas kita. Mengapa kita merasa tidak pernah mengalami-Nya sehingga kita tak pernah bersyukur, bahkan ketika sudah jutaan dollar mengisi rekening kita, jabatan memenuhi kartu nama kita, atau istri cantik serta anak yang sehat mendampingi kita?

Kematian kemanusiaan

Ketika sebuah ujar arif mengatakan, "Ia lebih dekat dari urat leher kita", tentu ia tidak mengindikasikan kehadiran-Nya dalam beberapa puluh mili dari panjang urat leher. Tapi, boleh jadi, dalam pengertian biologis, material atau fisikal, ia menjadi jarak yang pendek dengan tenggorokan/kerongkongan di mana hidup/nyawa kita dipertaruhkan. Dia adalah jarak terpendek menuju kematian.

Tapi, kerap terjadi, sebelum kematian biologis, kita telah mengalami kematian di dimensi lain dari kemanusiaan kita. Ketika urat leher yang menghubungkan kita dengan kesadaran dan kecerdasan emosi (psykhe), sesungguhnya kita sudah menjadi mayat dari nurani manusia umumnya: kita sesungguhnya telah menjadi zombi bagi akal sehat publik dan sejarah. Begitu pun saat urat leher batin kita putus, mampuslah spiritualitas yang memberi kita jembatan di mana kita dapat terhubung dengan-Nya.

Bisa jadi kita termasuk dalam golongan manusia dengan kematian, satu hingga tiga kesadaran ilahiah manusia di atas, sebelum yang kesadaran keempat (biologis) kita pun mati. Maka, terbayanglah sebuah masyarakat yang diisi oleh zombi-zombi yang telah mengalami kematian di kesadaran akal dan atau mungkin juga hatinya. Mereka tinggal seonggok daging dengan naluri-naluri purba yang paling primitif, yang hampir tidak membedakannya dengan binatang atau makhluk terburuk yang pernah diciptakan.

Dalam kehidupan masyarakat zombi seperti itu, Tuhan tidak akan pernah nyata. Sekurangnya Dia takkan pernah terjangkau. Tuhan hanya ada dalam rekaan, bayangan, atau khayalan yang tentu saja artifisial, tidak nyata. Apa yang disebut tauhid adalah sebuah ilusi, saat kecerdasan akal manusia mencapai puncaknya, sekalipun untuk menjangkau (pemahaman tentang)-Nya, tapi di saat yang sama kecerdasan badan, hati, dan batinnya mati atau tidak bekerja. Tuhan tetap ada dalam rekaan, bayangan, atau spekulasi rasional saja. Dia sesungguhnya tak ada, tak hadir.

Apakah kita, bangsa Indonesia ini, menyebut diri sebagai bangsa yang religius-dengan tingkat kecongkakan tertentu-sudah beranjak dari realitas tauhid yang ilusif itu? Masih bisa disebut religiuskah bangsa ini ketika sebagian kecil elite kita tidak pernah merasakan bahagia dengan apa yang telah dimilikinya (baca: yang telah diberikan kepadanya) sehingga masih dengan penuh nafsu yang tak tertahan, bahkan dilegitimasi oleh UU dan ideologi, untuk terus mendapatkan lebih dan lebih?

Apakah kita akan terus merayakan kehidupan, juga kemerdekaan serta lagu kebangsaan, saat para pemimpin yang kita pilih, titipi amanah, berikan fasilitas berlimpah, mengalami "kematian Tuhan" pada dirinya atau sekurangnya beribadah dengan ilusi permanen tentang-Nya walau ia menzikirkan asma-Nya ratusan/ribuan kali tiap hari? Lalu dimulai dengan doa pada Tuhan yang ilusif itu mereka menyatakan setuju serta menandatangani berbagai regulasi "konstitusional" yang ternyata menzalimi publik yang telah memberinya amanah dan fasilitas mewah tadi, mengkhianati gagasan suci para leluhur bangsa yang berkorban darah dan nyawa bagi kebebasan mereka?

Tauhid yang bahari

Sesungguhnya, jujurlah kita, epidemi religiositas seperti terjadi di kalangan elite di atas juga telah merebak dan menjangkiti masyarakat di golongan bawahnya, di akar rumput. Realitas sosial kita yang paternalistik secara kontinental membuat rakyat di kalangan bawah mengikuti acuan atau patokan hidup dari apa yang telah dilakukan golongan di atasnya. Hal itu jadi agak memilukan saat yang diacu atau ditiru adalah cara kita, kaum awam, menggunakan pikiran atau kecerdasan akal sedemikian rupa sehingga membunuh kecerdasan kemanusiaan kita di dimensi lain (badan, perasaan, dan hati/batin).

Lalu kita pun menjadi korban dari permainan akal, fantasi, dan imajinasi akali, bahkan dalam mencoba menghayati, memahami, hingga mengalami Dia. Tentu saja tidak akan berhasil. Karena akal belaka tak akan cukup untuk itu, tak akan mampu menjangkau-Nya. Kepenuhan manusialah yang mampu membuat kita tercengang dan terharu, merasakan dan mengalami-Nya.

Kebudayaan sebagai hasil dari permainan akal kita banyak menciptakan hijab sehingga kebeningan cahaya hati tak terlihat oleh kesadaran dan kecerdasan kita lainnya. Seseorang membutuhkan kerja dan upaya yang luar biasa, yang asketik, bahkan kerahiban yang memencilkan diri dari dunia, untuk bisa berjihad melawan dan menghapus hijab-hijab dari hati kita sendiri. Inilah jihad terbesar yang harus dilakukan manusia.

Namun, sebenarnya, masalah di atas terjadi lebih pada dunia dengan adab kontinental. Adab yang didominasi akal sebagaimana adagium cogito ergo sum atau I think, therefore I am yang Cartesian. Dominasi kini menjadi kuasa tunggal, akal adalah diktator dan rezim yang menguasai makna dan signifikansi. Maka, tak mengherankan, manusia atau masyarakat yang hidup dengan acuan seperti ini akan melahirkan ilusi dalam persoalan-persoalan yang imateriil, intangible, yang tak mungkin dimaterialisasi atau diukur, seperti, tentu saja: Dia, Yang Empu Segala.

Begitulah proses hidup dan berilmu manusia berbudaya kontinental. Mereka akan mencari pengertian dan pemahaman logis sedalamnya dan seutuhnya (menurut yang bersangkutan), baru kemudian menjalankan atau mempraktikkannya. Berbeda dengan adab bahari yang lebih melakoni atau mempraktikkan hidup menjadi pengalaman hingga kemudian ia mengerti dan berpengetahuan pada akhirnya.

Dengan cara hidup bahari itulah, peluang kita untuk mengalami-Nya jauh lebih terbuka. Karena pada saat melakoni hidup, orang bahari tidak menempatkan salah satu kecerdasan ilahiah manusia berposisi lebih tinggi atau dominan dari yang lainnya. Keseimbangan, tepatnya integrasi fitrahi (dari semua kesadaran/kecerdasan), manusia inilah yang bisa membuat manusia bahari mengalami getar dan ketakjuban alias rasa syukur yang sesungguhnya dari apa yang terberkahi baginya (juga bagi orang lain).

Dalam hidup bahari, Tuhan memang begitu dekat, lebih dekat bahkan dari urat leher, karena hati bersih dari hijab kebudayaan yang negatif dan destruktif. Kita mengalami-Nya di tiap saat kesadaran total itu bekerja. Tauhid itu pun jadi nyata: lebih nyata daripada yang kasat oleh mata, dari segala bentuk busana, pernik-pernik keagamaan yang kita kenakan di sekujur tubuh kita, bahkan simbol-simbol religius-dalam Islam, misalnya-yang kita megahkan dalam bentuk masjid, derma dan sedekah, kaligrafi, sajadah, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar