Tauhid yang Ilusif
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
29 Oktober 2015
Tidak akan pernah kita mampu memahami, bahkan mengerti, apa yang
kita katakan sendiri tentang keber-"ada"-an Tuhan jika kita tidak
pernah mengalami-Nya. Mungkin kita dapat pergi sejauh jarak yang dapat
ditempuh langkah atau teknologi, sedalam samudra atau kerak bumi, atau
mungkin semisterius makna dalam ilmu pasti hanya untuk mencari Tuhan. Tapi,
Dia tak jua kita sua. Bukan, Dia tak mau, bukan kita pun tidak mau; tapi
lebih kerap karena kita tidak mampu.
Sebab, kita menyangka pencarian seperti itu jauh sekali,
sementara yang dicari ternyata dekat nian. Bagaimana bila ternyata Tuhan
bukanlah sebuah jarak? Dia "ada" dan "hadir" tanpa
demarkasi ruang dan waktu, yang artinya tidak tercari, tak mungkin dan
sia-sia dicari. Ia ternyata harus dialami. Di mana dan bila? Tidak di mana
pun, di kapan pun, akan tetapi di tiap mili ruang dan di satuan terkecil
waktu kehidupan kita sendiri.
Pernahkah Anda merasakan sesak, begitu sesaknya, sehingga merasa
maut sedang menyergap tanpa diduga? Lalu karena obat, atau pertolongan lain,
sekonyong Anda merasa lega karena napas kembali lega. Pernahkah Anda begitu
laparnya sehingga sebuah singkong rebus begitu bernafsu Anda kunyah dan telan?
Atau, pernahkah Anda merasa tidak akan mampu memiliki sesuatu, tapi suatu
hari mendapatkannya tanpa Anda mengerti bagaimana dan kenapa? Apa
sesungguhnya yang Anda rasakan pada momen-momen seperti itu?
Bahagia tentu, bersyukur dan berterima kasih juga. Mungkin
bersujud dan berdoa, atau boleh jadi Anda menitikkan air mata. Anda telah
memperoleh rezeki karena mendapatkan kehadiran-Nya; mengalami-Nya. Boleh jadi
sebagian merasa semua kejadian itu hanya sebagai hasil peruntungan saja,
seperti dalam sebuah permainan atau perjudian. Sebagian meyakini itu adalah
hasil jerih payahnya sendiri. Itulah mereka yang tak mengalami-Nya. Maka,
bagi yang mengalami, belajarlah dari pengalaman itu untuk mengenalinya untuk
jadi referensi dalam mengingat atau menyebut nama-Nya, lalu rasakan nikmatnya
syukur itu.
Tapi, apakah hanya dalam sebuah momen luar biasa, di ujung batas
kematian, misalnya, kita berkemungkinan mengalami-Nya? Tidakkah Anda pun bisa
mengalami rasa syukur, bahagia, dan tetesan air mata yang sama saat melihat
anak Anda yang masih balita berlari-lari dengan lucu, tubuhnya sehat,
kata-katanya mulai terang dan bermakna? Tidakkah Anda mengalami-Nya saat
melihat bayi tertidur dalam gendongan pengemis pada siang bolong di
perempatan jalan raya; pada foto anak balita yang tubuh dan wajahnya
terpendam pasir karena perahu yang mengangkutnya bersama puluhan pengungsi
lain terlempar oleh gelombang Eropa?
Bahkan, terbayangkah Anda akan menitikkan air mata syukur yang
sama saat melihat remaja sembilan tahun bernyanyi dengan suara malaikat dalam
ajang Britain's Got Talent; sebuah lukisan atau puisi yang begitu indah
sehingga imajinasi kita pun tak mampu menjangkaunya? Tak mengertikah kita
bila Dia "ada" dan "hadir" di seluruh peristiwa hidup
kita, bahkan di tiap oksigen dalam tarikan napas kita. Mengapa kita merasa
tidak pernah mengalami-Nya sehingga kita tak pernah bersyukur, bahkan ketika
sudah jutaan dollar mengisi rekening kita, jabatan memenuhi kartu nama kita,
atau istri cantik serta anak yang sehat mendampingi kita?
Kematian
kemanusiaan
Ketika sebuah ujar arif mengatakan, "Ia lebih dekat dari
urat leher kita", tentu ia tidak mengindikasikan kehadiran-Nya dalam
beberapa puluh mili dari panjang urat leher. Tapi, boleh jadi, dalam
pengertian biologis, material atau fisikal, ia menjadi jarak yang pendek
dengan tenggorokan/kerongkongan di mana hidup/nyawa kita dipertaruhkan. Dia
adalah jarak terpendek menuju kematian.
Tapi, kerap terjadi, sebelum kematian biologis, kita telah
mengalami kematian di dimensi lain dari kemanusiaan kita. Ketika urat leher
yang menghubungkan kita dengan kesadaran dan kecerdasan emosi (psykhe), sesungguhnya kita sudah
menjadi mayat dari nurani manusia umumnya: kita sesungguhnya telah menjadi
zombi bagi akal sehat publik dan sejarah. Begitu pun saat urat leher batin
kita putus, mampuslah spiritualitas yang memberi kita jembatan di mana kita
dapat terhubung dengan-Nya.
Bisa jadi kita termasuk dalam golongan manusia dengan kematian,
satu hingga tiga kesadaran ilahiah manusia di atas, sebelum yang kesadaran
keempat (biologis) kita pun mati. Maka, terbayanglah sebuah masyarakat yang
diisi oleh zombi-zombi yang telah mengalami kematian di kesadaran akal dan
atau mungkin juga hatinya. Mereka tinggal seonggok daging dengan
naluri-naluri purba yang paling primitif, yang hampir tidak membedakannya
dengan binatang atau makhluk terburuk yang pernah diciptakan.
Dalam kehidupan masyarakat zombi seperti itu, Tuhan tidak akan
pernah nyata. Sekurangnya Dia takkan pernah terjangkau. Tuhan hanya ada dalam
rekaan, bayangan, atau khayalan yang tentu saja artifisial, tidak nyata. Apa
yang disebut tauhid adalah sebuah ilusi, saat kecerdasan akal manusia
mencapai puncaknya, sekalipun untuk menjangkau (pemahaman tentang)-Nya, tapi
di saat yang sama kecerdasan badan, hati, dan batinnya mati atau tidak
bekerja. Tuhan tetap ada dalam rekaan, bayangan, atau spekulasi rasional
saja. Dia sesungguhnya tak ada, tak hadir.
Apakah kita, bangsa Indonesia ini, menyebut diri sebagai bangsa
yang religius-dengan tingkat kecongkakan tertentu-sudah beranjak dari
realitas tauhid yang ilusif itu? Masih bisa disebut religiuskah bangsa ini
ketika sebagian kecil elite kita tidak pernah merasakan bahagia dengan apa
yang telah dimilikinya (baca: yang telah diberikan kepadanya) sehingga masih
dengan penuh nafsu yang tak tertahan, bahkan dilegitimasi oleh UU dan
ideologi, untuk terus mendapatkan lebih dan lebih?
Apakah kita akan terus merayakan kehidupan, juga kemerdekaan
serta lagu kebangsaan, saat para pemimpin yang kita pilih, titipi amanah, berikan
fasilitas berlimpah, mengalami "kematian Tuhan" pada dirinya atau
sekurangnya beribadah dengan ilusi permanen tentang-Nya walau ia menzikirkan
asma-Nya ratusan/ribuan kali tiap hari? Lalu dimulai dengan doa pada Tuhan
yang ilusif itu mereka menyatakan setuju serta menandatangani berbagai
regulasi "konstitusional" yang ternyata menzalimi publik yang telah
memberinya amanah dan fasilitas mewah tadi, mengkhianati gagasan suci para
leluhur bangsa yang berkorban darah dan nyawa bagi kebebasan mereka?
Tauhid yang
bahari
Sesungguhnya, jujurlah kita, epidemi religiositas seperti
terjadi di kalangan elite di atas juga telah merebak dan menjangkiti
masyarakat di golongan bawahnya, di akar rumput. Realitas sosial kita yang
paternalistik secara kontinental membuat rakyat di kalangan bawah mengikuti
acuan atau patokan hidup dari apa yang telah dilakukan golongan di atasnya.
Hal itu jadi agak memilukan saat yang diacu atau ditiru adalah cara kita,
kaum awam, menggunakan pikiran atau kecerdasan akal sedemikian rupa sehingga
membunuh kecerdasan kemanusiaan kita di dimensi lain (badan, perasaan, dan
hati/batin).
Lalu kita pun menjadi korban dari permainan akal, fantasi, dan
imajinasi akali, bahkan dalam mencoba menghayati, memahami, hingga mengalami
Dia. Tentu saja tidak akan berhasil. Karena akal belaka tak akan cukup untuk
itu, tak akan mampu menjangkau-Nya. Kepenuhan manusialah yang mampu membuat
kita tercengang dan terharu, merasakan dan mengalami-Nya.
Kebudayaan sebagai hasil dari permainan akal kita banyak menciptakan
hijab sehingga kebeningan cahaya hati tak terlihat oleh kesadaran dan
kecerdasan kita lainnya. Seseorang membutuhkan kerja dan upaya yang luar
biasa, yang asketik, bahkan kerahiban yang memencilkan diri dari dunia, untuk
bisa berjihad melawan dan menghapus hijab-hijab dari hati kita sendiri.
Inilah jihad terbesar yang harus dilakukan manusia.
Namun, sebenarnya, masalah di atas terjadi lebih pada dunia
dengan adab kontinental. Adab yang didominasi akal sebagaimana adagium cogito ergo sum atau I think, therefore I am yang Cartesian.
Dominasi kini menjadi kuasa tunggal, akal adalah diktator dan rezim yang
menguasai makna dan signifikansi. Maka, tak mengherankan, manusia atau
masyarakat yang hidup dengan acuan seperti ini akan melahirkan ilusi dalam persoalan-persoalan
yang imateriil, intangible, yang tak mungkin dimaterialisasi atau diukur,
seperti, tentu saja: Dia, Yang Empu Segala.
Begitulah proses hidup dan berilmu manusia berbudaya
kontinental. Mereka akan mencari pengertian dan pemahaman logis sedalamnya
dan seutuhnya (menurut yang bersangkutan), baru kemudian menjalankan atau
mempraktikkannya. Berbeda dengan adab bahari yang lebih melakoni atau
mempraktikkan hidup menjadi pengalaman hingga kemudian ia mengerti dan
berpengetahuan pada akhirnya.
Dengan cara hidup bahari itulah, peluang kita untuk
mengalami-Nya jauh lebih terbuka. Karena pada saat melakoni hidup, orang
bahari tidak menempatkan salah satu kecerdasan ilahiah manusia berposisi
lebih tinggi atau dominan dari yang lainnya. Keseimbangan, tepatnya integrasi
fitrahi (dari semua kesadaran/kecerdasan), manusia inilah yang bisa membuat
manusia bahari mengalami getar dan ketakjuban alias rasa syukur yang
sesungguhnya dari apa yang terberkahi baginya (juga bagi orang lain).
Dalam hidup bahari, Tuhan memang begitu dekat, lebih dekat
bahkan dari urat leher, karena hati bersih dari hijab kebudayaan yang negatif
dan destruktif. Kita mengalami-Nya di tiap saat kesadaran total itu bekerja.
Tauhid itu pun jadi nyata: lebih nyata daripada yang kasat oleh mata, dari
segala bentuk busana, pernik-pernik keagamaan yang kita kenakan di sekujur
tubuh kita, bahkan simbol-simbol religius-dalam Islam, misalnya-yang kita
megahkan dalam bentuk masjid, derma dan sedekah, kaligrafi, sajadah, dan
sebagainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar