Risma dan Panggung Belakang Politik Indonesia
Aribowo ; Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair Surabaya
|
JAWA
POS, 27 Oktober 2015
POLDA Jatim
memang sudah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atas kasus Tri
Rismaharini kemarin (26/10). Tapi, tetap saja ada dua hal yang penting
dicermati terkait dengan penetapan Risma sebagai tersangka kasus
penyalahgunaan kekuasaan.
Pertama,
penetapan itu telah menimbulkan kontroversi luas dan memancing opini publik
yang luas. Kedua, kontroversi penetapan Risma tersebut, tampaknya, menjadi
bahan pergulatan politik di Jakarta menjelang reshuffle kabinet.
Mungkin faktor
kedua itu terlalu spekulatif dan sumir. Tapi, fenomena politik sering
menampakkan panggung depan dan belakang. Kira-kira faktor kedua itu berkait,
sedikit, dengan panggung belakang tersebut.
Sebagaimana
diketahui, penetapan Risma sebagai tersangka langsung menimbulkan kehebohan.
Mengapa? Pertama, Risma adalah calon wali kota yang populer dan
elektabilitasnya sangat tinggi untuk memenangkan pilwali Surabaya pada
Desember 2015. Kedua, Risma dan Wisnu Sakti Buana diusung PDIP, partai
pemenang Pemilu 2014, dan diback up kekuatan istana.
Ketiga, kalau
menilik kasus yang ditimpakan kepada Risma, yaitu pasal 421 KUHAP tentang
penyalahgunaan kekuasaan, secara awam kasus tersebut tidak tergolong kasus
korupsi yang serius. Bahkan, kalau direnungkan dengan baik, Risma tidak
terlalu bisa disalahkan jika dilihat dari segi rasa keadilan.
Keempat,
nyaris tidak ada yang tahu penyelidikan terhadap Risma dalam kasus tersebut
sampai akhirnya dia ditetapkan sebagai tersangka. Tidak ada warga yang tahu
bahwa Risma pernah diperiksa Reskrim Polda Jatim.
Karena itu,
ekspose kejati bahwa Risma telah menjadi tersangka menimbulkan kontroversi
luas. Kelima, waktu (timing)
penetapan Risma sebagai tersangka, dengan materi perkara yang begitu
sederhana, sangat bernuansa politis. Tapi, sejatinya, apa pun materi
hukumnya, dalam waktu seperti saat ini, apalagi bagi sosok sepopuler Risma,
penetapan tersangka jelas sulit dilepaskan dari nuansa politik.
Sejak Partai
Amanat Nasional (PAN) masuk ke dalam rezim Jokowi, pergeseran kekuasaan di
sekitar presiden semakin ketat dan kompetitif. Masuknya PAN pasti diiringi
terpentalnya menteri dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Karena itu,
isu reshuffle kabinet setelah setahun rezim Jokowi berjalan sangat santer.
Jokowi, konon, juga berniat merombak kabinetnya. Seminggu lalu terbetik
kabar, Kepala Kejaksaan Agung (Kejagung) M. Prasetyo tiba-tiba dipanggil
presiden, konon secara khusus, dan kemudian keluar dari istana dengan suasana
senyap.
Konon,
Prasetyo langsung menuju ke kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Di luar,
beredar isu Prasetyo akan diganti sebagai jaksa agung. Bukan lagi rahasia
umum, sering terjadi perbedaan antara Jokowi dan JK. Begitu pula di tingkat
menteri, berdasar hipotesis, tampak dari ’’jauh’’ siapa menteri yang dekat
dengan JK, Jokowi, Megawati, dan Surya Paloh.
Prasetyo juga
mengeluarkan pernyataan yang sangat menarik terkait dengan kasus Risma itu.
Dia mengatakan, ’’Kalau Kapolda Jatim mengatakan tidak tahu, ya aneh itu.’’
Prasetyo menunjukkan kepada wartawan nomor SPDP yang dikeluarkan Reskrimum
Polda Jatim.
Tampak sekali
Prasetyo membela anak buahnya di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tatkala kasus
Risma menimbulkan kontroversi tersebut. Bahkan, Kapolri Jenderal Badrodin
Haiti kecewa dan marah atas tindakan Polda Jatim (Jawa Pos, 24/10/2015).
Secara
sederhana, kasus Risma itu, tampaknya, hanya bermakna kurangnya koordinasi
dan komunikasi di antara para penegak hukum di Jawa Timur. Hal itu sering
terjadi di daerah mana pun, termasuk di tingkat nasional.
Lemahnya
komunikasi dan koordinasi juga tampak di jajaran kepolisian serta kejaksaan.
Tidak heran kalau Kapolri marah kepada jajarannya di bawah, meski telah
dibuatkan TR (telegram rahasia) yang berisi, antara lain, melarang menetapkan
tersangka calon kepala daerah yang sedang menghadapi pemilihan kepala daerah.
Kasus Risma
itu menjadi menarik kalau disandingkan dengan kasus yang sedang dihadapi
Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Mantan Sekjen Nasdem Patrice Rio Capella
(PRC) secara cepat dimasukkan ke penjara oleh KPK pada Jumat (24/10) dalam
kasus dana bansos yang menimpa Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo
Nugroho dan istrinya, Evy.
KPK mendorong
PRC agar bersedia menjadi justice
collaborator. Artinya, KPK berusaha mengembangkan kasus PRC itu sampai ke
ujung persoalan, yaitu menuntaskan semua tokoh yang terlibat.
Kasus Risma di
Surabaya memang sama sekali tidak berhubungan dengan kasus bansos Sumut yang
telah menyeret Pujo dan istrinya, pengacara O.C. Kaligis, PRC, hakim PTUN,
serta beberapa politikus di DPRD Provinsi Sumut. Begitu pula, kasus Risma
tidak berhubungan dengan posisi Prasetyo di kabinet Jokowi-JK.
Tapi, bisa
ditarik hipotesis sederhana: Pergelutan kekuasaan di sekitar istana bisa
mencari landasan kaki ke bawah sebagai dasar legitimasi. Kalau itu
persoalannya, pola konflik di bawah akan memperuncing persoalan di atas
sehingga persoalan biasa menjadi semakin runcing.
Sebaliknya,
kalau di tingkat bawah bisa cepat diselesaikan, persoalan di atas akan
cenderung mencari dasar legitimasi di kaki-kaki lainnya sampai konsolidasi di
tingkat atas berakhir.
Repotnya, presiden telanjur
mengajak PAN dan menjadwalkan reshuffle. Dengan demikian, mau tidak mau, suka
tidak suka, pergeseran dan rivalitas politik di dalam kabinet masih akan
berjalan, meski kasus Risma berakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar