Minggu, 01 November 2015

Risma dan Panggung Belakang Politik Indonesia

Risma dan Panggung Belakang Politik Indonesia

Aribowo  ;  Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair Surabaya
                                                      JAWA POS, 27 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

POLDA Jatim memang sudah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atas kasus Tri Rismaharini kemarin (26/10). Tapi, tetap saja ada dua hal yang penting dicermati terkait dengan penetapan Risma sebagai tersangka kasus penyalahgunaan kekuasaan.

Pertama, penetapan itu telah menimbulkan kontroversi luas dan memancing opini publik yang luas. Kedua, kontroversi penetapan Risma tersebut, tampaknya, menjadi bahan pergulatan politik di Jakarta menjelang reshuffle kabinet.

Mungkin faktor kedua itu terlalu spekulatif dan sumir. Tapi, fenomena politik sering menampakkan panggung depan dan belakang. Kira-kira faktor kedua itu berkait, sedikit, dengan panggung belakang tersebut.

Sebagaimana diketahui, penetapan Risma sebagai tersangka langsung menimbulkan kehebohan. Mengapa? Pertama, Risma adalah calon wali kota yang populer dan elektabilitasnya sangat tinggi untuk memenangkan pilwali Surabaya pada Desember 2015. Kedua, Risma dan Wisnu Sakti Buana diusung PDIP, partai pemenang Pemilu 2014, dan diback up kekuatan istana.

Ketiga, kalau menilik kasus yang ditimpakan kepada Risma, yaitu pasal 421 KUHAP tentang penyalahgunaan kekuasaan, secara awam kasus tersebut tidak tergolong kasus korupsi yang serius. Bahkan, kalau direnungkan dengan baik, Risma tidak terlalu bisa disalahkan jika dilihat dari segi rasa keadilan.

Keempat, nyaris tidak ada yang tahu penyelidikan terhadap Risma dalam kasus tersebut sampai akhirnya dia ditetapkan sebagai tersangka. Tidak ada warga yang tahu bahwa Risma pernah diperiksa Reskrim Polda Jatim.

Karena itu, ekspose kejati bahwa Risma telah menjadi tersangka menimbulkan kontroversi luas. Kelima, waktu (timing) penetapan Risma sebagai tersangka, dengan materi perkara yang begitu sederhana, sangat bernuansa politis. Tapi, sejatinya, apa pun materi hukumnya, dalam waktu seperti saat ini, apalagi bagi sosok sepopuler Risma, penetapan tersangka jelas sulit dilepaskan dari nuansa politik.

Sejak Partai Amanat Nasional (PAN) masuk ke dalam rezim Jokowi, pergeseran kekuasaan di sekitar presiden semakin ketat dan kompetitif. Masuknya PAN pasti diiringi terpentalnya menteri dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Karena itu, isu reshuffle kabinet setelah setahun rezim Jokowi berjalan sangat santer. Jokowi, konon, juga berniat merombak kabinetnya. Seminggu lalu terbetik kabar, Kepala Kejaksaan Agung (Kejagung) M. Prasetyo tiba-tiba dipanggil presiden, konon secara khusus, dan kemudian keluar dari istana dengan suasana senyap.

Konon, Prasetyo langsung menuju ke kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Di luar, beredar isu Prasetyo akan diganti sebagai jaksa agung. Bukan lagi rahasia umum, sering terjadi perbedaan antara Jokowi dan JK. Begitu pula di tingkat menteri, berdasar hipotesis, tampak dari ’’jauh’’ siapa menteri yang dekat dengan JK, Jokowi, Megawati, dan Surya Paloh.

Prasetyo juga mengeluarkan pernyataan yang sangat menarik terkait dengan kasus Risma itu. Dia mengatakan, ’’Kalau Kapolda Jatim mengatakan tidak tahu, ya aneh itu.’’ Prasetyo menunjukkan kepada wartawan nomor SPDP yang dikeluarkan Reskrimum Polda Jatim.

Tampak sekali Prasetyo membela anak buahnya di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tatkala kasus Risma menimbulkan kontroversi tersebut. Bahkan, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kecewa dan marah atas tindakan Polda Jatim (Jawa Pos, 24/10/2015).

Secara sederhana, kasus Risma itu, tampaknya, hanya bermakna kurangnya koordinasi dan komunikasi di antara para penegak hukum di Jawa Timur. Hal itu sering terjadi di daerah mana pun, termasuk di tingkat nasional.

Lemahnya komunikasi dan koordinasi juga tampak di jajaran kepolisian serta kejaksaan. Tidak heran kalau Kapolri marah kepada jajarannya di bawah, meski telah dibuatkan TR (telegram rahasia) yang berisi, antara lain, melarang menetapkan tersangka calon kepala daerah yang sedang menghadapi pemilihan kepala daerah.

Kasus Risma itu menjadi menarik kalau disandingkan dengan kasus yang sedang dihadapi Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Mantan Sekjen Nasdem Patrice Rio Capella (PRC) secara cepat dimasukkan ke penjara oleh KPK pada Jumat (24/10) dalam kasus dana bansos yang menimpa Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy.

KPK mendorong PRC agar bersedia menjadi justice collaborator. Artinya, KPK berusaha mengembangkan kasus PRC itu sampai ke ujung persoalan, yaitu menuntaskan semua tokoh yang terlibat.

Kasus Risma di Surabaya memang sama sekali tidak berhubungan dengan kasus bansos Sumut yang telah menyeret Pujo dan istrinya, pengacara O.C. Kaligis, PRC, hakim PTUN, serta beberapa politikus di DPRD Provinsi Sumut. Begitu pula, kasus Risma tidak berhubungan dengan posisi Prasetyo di kabinet Jokowi-JK.

Tapi, bisa ditarik hipotesis sederhana: Pergelutan kekuasaan di sekitar istana bisa mencari landasan kaki ke bawah sebagai dasar legitimasi. Kalau itu persoalannya, pola konflik di bawah akan memperuncing persoalan di atas sehingga persoalan biasa menjadi semakin runcing.

Sebaliknya, kalau di tingkat bawah bisa cepat diselesaikan, persoalan di atas akan cenderung mencari dasar legitimasi di kaki-kaki lainnya sampai konsolidasi di tingkat atas berakhir.

Repotnya, presiden telanjur mengajak PAN dan menjadwalkan reshuffle. Dengan demikian, mau tidak mau, suka tidak suka, pergeseran dan rivalitas politik di dalam kabinet masih akan berjalan, meski kasus Risma berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar