PP Anti Kriminalisasi Kebijakan
Adnan Pandu Praja ; Komisioner KPK
|
KOMPAS,
30 Oktober 2015
Kriminalisasi kebijakan merupakan puncak gunung es lemahnya
fungsi pengawasan, koordinasi, dan supervisi dalam sistem birokrasi
pemerintah.
Pada pertemuan Presiden Joko Widodo dengan para petinggi
institusi penegak hukum beserta semua gubernur di Bogor, beberapa waktu lalu,
berkenaan dengan rendahnya penyerapan anggaran yang dapat mengakibatkan roda
pemerintahan terhambat, Presiden berpesan tiga hal.
Pertama, kebijakan jangan dikriminalisasi. Kedua, pelanggaran
administrasi agar diselesaikan secara administratif. Ketiga, aparat penegak
hukum agar menghormati jangka waktu penyelesaian selama 60 hari sejak tanggal
rekomendasi BPK atau BPKP akibat temuan potensi penyimpangan penggunaan
anggaran. Selanjutnya, Presiden akan mengeluarkan peraturan pemerintah (PP)
sebagai pedoman bagi instansi terkait untuk mencegah kriminalisasi kebijakan.
Langkah
preventif
Sepertinya PP akan menuai banyak protes karena akan dianggap pro
koruptor jika sifatnya intervensi proses penyidikan. Sesungguhnya ada banyak
cara yang lebih bersifat preventif, bahkan pre-emptive, untuk mencegah
potensi terjadinya korupsi. Tidak sulit mendeteksi potensi terjadinya korupsi
pada saat anggaran belanja disusun, yaitu apakah terjadi mark up pengadaan
barang dan jasa di atas standar biaya umum yang ditetapkan pemerintah tanpa
argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jika rencana anggaran mark up tersebut mendapat persetujuan
Dewan, pada dasarnya APBD sudah cacat sejak awal. Biasanya proyek mark up
sudah ada yang punya alias sudah diijon. Kalau sudah seperti itu, pada saat
proyek dikerjakan tinggal ampasnya. Tahun berikutnya sudah bisa dipastikan
akan menjadi temuan auditor BPK dan akan menjadi amunisi bagi Dewan untuk
interpelasi. Namun, lagi-lagi mudah lolos di tingkat Dewan. Siklus seperti
itu selalu saja berulang.
Siklus anggaran koruptif sejak dini bisa dicegah jika
inspektorat daerah dilibatkan dan perencanaan anggaran dilaksanakan secara
transparan, khususnya untuk mengawal APBD agar sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan pola itu, bisa diduga akan ada hambatan saat pembahasan di tingkat
Dewan. Inilah titik krusial siklus perencanaan anggaran. Seperti yang kita
saksikan, betapa alotnya perdebatan Pemerintah Provinsi DKI dan Dewan dalam
membahas APBD 2015. Sayangnya, sangat sedikit kepala daerah yang tegar dan
tak toleran terhadap upaya intervensi yang berkonotasi koruptif. Sebagian
besar sangat akomodatif terhadap tekanan Dewan.
Untuk itu, kiranya PP agar mengoptimalkan peranan pengawasan
inspektorat daerah di bawah supervisi BPKP dengan memanfaatkan teknologi
informasi (e-supervisi). Juga agar pengawasan perencanaan sampai penggunaan
anggaran di daerah dapat terpola secara nasional mengingat saat ini posisi
BPKP langsung di bawah kendali Presiden. Pada kondisi tertentu dapat pula
disupervisi oleh KPK.
Pada 2013, KPK bersama BPKP telah mendiagnosis potensi
penyimpangan APBD di semua provinsi dan kabupaten/kota melalui program
koordinasi dan supervisi (korsup) pencegahan KPK. Ketika KPK turut memantau,
biasanya akan tertib dengan sendirinya secara bertahap, seperti ketika KPK
menertibkan izin tambang ("Tambang dan KPK", Kompas,13/8/2014).
Jika di kemudian hari terdapat korupsi yang disidik instansi
penegak hukum kejaksaan atau kepolisian dalam rangka sinkronisasi untuk
mencegah tumpang tindih penanganan kasus korupsi, UU KPK mewajibkan mereka
memberi tahu KPK dalam waktu 15 hari sejak dimulainya penyidikan melalui
mekanisme surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Untuk memberi ruang bagi penyidik dan penuntut umum, KPK akan
koordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian setahun sejak SPDP diterima.
Selanjutnya, apabila dipandang bermasalah, KPK akan melakukan supervisi,
bahkan mengambil alih kasus, jika dianggap perlu. Jumlah SPDP yang diterima
KPK sejak Januari 2013 sebanyak 3.289 kasus korupsi. Angka sesungguhnya
sangat jauh dari jumlah yang seharusnya dilaporkan ke KPK.
Penanganan
kasus bermasalah
Banyaknya penanganan kasus korupsi yang bermasalah karena UU
memberi peluang kepada penegak hukum untuk menghentikan proses baik di
tingkat penyidikan maupun penuntutan tanpa melibatkan pihak independen.
Padahal, ketika kasus memasuki tahap penyidikan, upaya paksa sudah dapat
digunakan oleh oknum yang tak bertanggung jawab yang tentu saja sangat
merugikan pencari keadilan. Perlakuan diskriminatif tak jarang dijumpai dalam
penanganan kasus korupsi. Hal-hal itu yang dikeluhkan para kepala daerah
kepada KPK beberapa waktu lalu.
Lembaga pengawas, seperti Kompolnas ataupun Komisi Kejaksaan,
seperti tak berdaya. Jumlah pengaduan yang diterima KPK sejak Januari 2013
terhadap penanganan kasus korupsi oleh instansi penegak hukum sebanyak 545
kasus korupsi. Dari jumlah SPDP yang diterima KPK ataupun pengaduan
masyarakat itu, 254 kasus korupsi telah dikoordinasikan dan 285 kasus korupsi
telah disupervisi karena dianggap bermasalah. Sementara kasus korupsi yang
diambil alih KPK dari instansi penegak hukum lain sebanyak dua kasus korupsi
dan KPK telah melimpahkan 14 kasus korupsi ke instansi penegak hukum lain.
Sangat disadari, KPK belum optimal dalam menjalankan korsup
karena terdapat kendala teknis yang tidak bisa dihindarkan. Pertama,
keterbatasan tenaga senior baik dari kepolisian maupun kejaksaan sebagai
akibat dari rotasi antarlembaga penegak hukum. Senioritas kepangkatan sangat
memengaruhi efektivitas program korsup sebagai konsekuensi dari kultur
birokrasi di lingkungan lembaga penegak hukum. Untuk itu, aktivitas korsup ke
daerah selalu mengikutsertakan pejabat senior dari Kejaksaan Agung dan
Bareskrim Polri sehingga bisa dibayangkan besarnya rombongan tim korsup
setiap ke daerah.
Kedua, jarak tempuh ke daerah dan waktu yang dibutuhkan untuk
aktivitas korsup tidak bisa diabaikan begitu saja. Padahal, sekali korsup
paling banyak membahas lima kasus.
Dalam rangka mengefektifkan peranan korsup penindakan KPK, PP
nantinya diharapkan mengatur sejumlah hal. Pertama, mewajibkan instansi
penegak hukum berkoordinasi melalui mekanisme korsup elektronik (e-korsup).
Kedua, mewajibkan instansi penegak hukum memberi sanksi kepada oknum yang
mengabaikan kewajiban memberi tahu KPK melalui SPDP. Ketiga, lebih
mengefektifkan peranan lembaga pengawas, seperti Kompolnas dan Komisi
Kejaksaan.
Sebenarnya mencegah kriminalisasi pada tahap penyidikan boleh
dibilang sudah terlambat. Apalagi jika sudah ada upaya paksa yang menimbulkan
kerugian bagi pencari keadilan. Pencegahan kriminalisasi pada tataran
penindakan akan sangat efektif jika dilakukan sejak dimulainya proses
penyelidikan melalui mekanisme korsup penyelidikan elektronik agar terjadi
cross check kelayakan apakah sebuah kasus korupsi dapat ditingkatkan ke fase
penyidikan. Fase penyelidikan adalah fase paling sulit mencari bukti kuat dan
tak terbantahkan, tetapi manfaatnya sangat positif bagi pencari keadilan agar
tak mudah dikriminalisasi.
Kriminalisasi kebijakan hanya bisa diminimalkan dengan
memberdayakan lembaga yang memiliki mandat melakukan fungsi pengawasan,
koordinasi, dan supervisi dengan memanfaatkan teknologi informasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar