Plus Minus Masuk TPP
Nugroho SBM ;
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang
|
KORAN
JAKARTA, 13 November 2015
Di bidang ekonomi memang sering terjadi
paradoks seperti keberadaan blok-blok
perdagangan bebas. Tujuannya mendorong
semua negara menghasilkan harga
murah. Dia dianggap sebagai alat alokasi sumber-sumber daya paling efisien.
Namun, kenyataan berbicara lain. Blok-blok
perdagangan bebas ternyata juga mengandung sisi negatif. Di antaranya, hanya
berlaku bagi anggota blok. Negara di luarnya justru menghadapi proteksi
sangat kuat dari anggota blok. Kemudian, ternyata tidak semua anggota blok
menikmati keuntungan yang sama.
Negara dengan kekuatan ekonomi lebih besar dan
maju akan menikmati keuntungan lebih besar. Bahkan negara-negara yang lebih
rendah tingkat kemajuan ekonominya justru rugi. Atas dasar fakta ini banyak
yang mengatakan bahwa blok-blok perdagangan bebas hanyalah akal-akalan negara
maju untuk membuka pasar negara-negara sedang berkembang.
Sementara pasar negara maju tertutup bagi
negara-negara sedang berkembang.
Selain itu, di antara anggota-anggotanya
sendiri juga menciptakan halangan-halangan perdagangan bebas yang tidak
diatur dalam perjanjian. Hal tersebut dilakukan ketika menolak suatu produk
dari negara sesama anggota. Argumen-argumennya seperti produk tak sesuai
standarisasi ISO, merusak lingkungan hidup. Ini karena dianggap menggunakan
bahan baku atau penolong yang mengandung zat berbahaya serta limbahnya mencemari lingkungan. Kemudian
melanggar hak-hak asasi manusia karena mempekerjakan anak.
Belakangan masyarakat, dunia usaha, dan para
pengamat ekonomi hangat membincangkan keputusan Presiden Jokowi untuk ikut
kerja sama Trans Pasifik (Trans Pacific
Patnership atau/TPP). Hal itu dikatakan Presiden Jokowi usai berkung ke AS.
Menurut Presiden Jokowi niat Indonesia
ikut TPP atas ajakan Presiden AS Barack Obama.
TPP adalah salah satu blok atau kerja sama
perdagangan bebas yang diinisiasi antara lain oleh Amerika Serikat (AS) dan
kini beranggotakan 12 negara yaitu: AS, Australia, Brunei, Chile, Jepang,
kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.
Keputusan Presiden Jokowi ini langsung
menimbulkan reaksi prokontra. Banyak
yang terheran-heran atas berita tersebut. Sebab Presiden SBY selalu tegas
menolak ikut TPP. Kini Presiden Jokowi berniat
bergabung. Tentu sebagian akan menganggap bahwa Presiden Jokowi ingin memberi
kesan berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Sebagian lagi menganggap bahwa
Presiden Jokowi ingin mencari keseimbangan politik.
Kalau selama ini orientasi kerja sama ekonomi
Indonesia dengan Tiongkok, maka kini perlu diimbangi dengan negara-negara
trans pasifik. Sebagian lagi secara sinis mengatakan bahwa AS telah berhasil
“menembak” kelemahan Jokowi sebagai orang Jawa demi kepentingannya. Orang
Jawa suka dipuji (dalam istilah Jawa dipangku). Hal ini sesuai dengan nasihat
Menlu AS John Foster Duller kepada Presiden AS Eisenhower. Untuk membujuk
orang-orang Amerika Latin (yang sifatnya mirip orang Jawa), Anda hanya perlu
sedikit menepuk bahu. Mereka akan
berpikir Aanda menyukai mereka.
Perlu dikaji secara kritis untung rugi
bergabung dalam blok TPP tersebut. Soliditas internal TPP meragukan, meskipun
perundingan TPP dilakukan sejak tahun 2010. Contoh- Selandia Baru versus AS
dan Kanada dalam masalah liberalisasi produk susu. Australia versus AS dan
Meksiko tentang kesepakatan perdagangan gula. AS versus Jepang terkait
perjanjian dagang beras, dan masih banyak lagi.
Pertimbangkan juga suara-suara kritis para ahli ekonomi terkemuka
dunia seperti Joseph Stiglitz. Dia menyatakan, TPP bukanlah organisasi perdagangan bebas
murni, tetapi hanya kedok AS untuk membuka pasar negara-negara berkembang.
Pertimbangan berikutnya, dari pengalaman ikut dalam perjanjian
perdagangan bebas lain banyak yang tidak jelas. Contoh paling nyata kerja
sama ASEAN dan Tiongkok atau ASEAN-China
Free Trade Area (ACFTA), defisit perdagangan Indonesia makin lebar.
Nilai Plus
Kalau ada sisi negatif, tentu juga terdapat
positifnya. Indonesia bisa memetik keuntungan dengan memperluas pasar
produk-produk yang berdaya saing seperti tekstil, alas kaki, makanan dan
pertanian (di mana Indonesia hanya kalah dari Thailand). Kemudian, industri olahan perkebunan (ban dengan karet
alam bermutu tinggi). Atas hal ini barangkali Presiden Jokowi optimistis
karena melihat Vietnam yang komoditi unggulan dan struktur ekonominya mirip
Indonesia berani menjadi anggota lebih dulu di TPP.
Dengan masuk ke TPP yang terkenal ketat aturan
dengan standar tinggi, maka pengusaha Indonesia justru ditantang menjadi
efisien. Dalam teori ekonomi mikro ada sebuah “kurva belajar“ berupa biaya
rata-rata dalam jangka panjang yang semakin menurun. Ini dihasilkan dari
proses “belajar” perusahaan dalam jangka panjang. Antara lain lewat
persaingan dengan perusahaan-perusahaan bagus.
Proses belajar ini menjadi lebih berharga
daripada “keuntungan” karena memproteksi perusahaan-perusahaan dalam negeri
seperti pendapatan pemerintah dari bea masuk atau bea impor. Proteksi
terhadap perusahaan atau industri dalam negeri tetap diperbolehkan, tetapi
tetap harus ada batas waktunya.
Dengan
keikutsertaan dalam TPP akan “memaksa” pemerintah memfasilitasi dunia usaha Indonesia agar
bisa berusaha atau berproduksi dengan biaya rendah, sehingga murah dan
berdaya saing sesama anggota TPP.
Selama ini biaya tinggi para pengusaha Indonesia bersumber dari ongkos logistik karena infrastruktur jelek dan
birokrasi berbelit-belit. Selain itu, upah buruh selalu naik dari waktu ke
waktu, korupsi, serta biaya modal atau bunga yang tinggi.
Pemerintah harus terus meningkatkan efisiensi.
Pangkas sumber-sumber inefisien seperti korupsi dan izin berbelit-belit.
Pemerintah juga harus menciptakan sistem pengupahan yang seimbang, tidak
melulu memihak buruh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar