Senin, 16 November 2015

Plus Minus Masuk TPP

Plus Minus Masuk TPP

Nugroho SBM ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang
                                             KORAN JAKARTA, 13 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di bidang ekonomi memang sering terjadi paradoks seperti  keberadaan blok-blok perdagangan bebas. Tujuannya mendorong  semua negara  menghasilkan harga murah. Dia dianggap sebagai alat alokasi sumber-sumber daya paling efisien.

Namun, kenyataan berbicara lain. Blok-blok perdagangan bebas ternyata juga mengandung sisi negatif. Di antaranya, hanya berlaku bagi anggota blok. Negara di luarnya justru menghadapi proteksi sangat kuat dari anggota blok. Kemudian, ternyata tidak semua anggota blok menikmati keuntungan yang sama.

Negara dengan kekuatan ekonomi lebih besar dan maju akan menikmati keuntungan lebih besar. Bahkan negara-negara yang lebih rendah tingkat kemajuan ekonominya justru rugi. Atas dasar fakta ini banyak yang mengatakan bahwa blok-blok perdagangan bebas hanyalah akal-akalan negara maju untuk membuka pasar negara-negara sedang berkembang.

Sementara pasar negara maju tertutup bagi negara-negara sedang berkembang.
Selain itu, di antara anggota-anggotanya sendiri juga menciptakan halangan-halangan perdagangan bebas yang tidak diatur dalam perjanjian. Hal tersebut dilakukan ketika menolak suatu produk dari negara sesama anggota. Argumen-argumennya seperti produk tak sesuai standarisasi ISO, merusak lingkungan hidup. Ini karena dianggap menggunakan bahan baku atau penolong yang mengandung zat berbahaya serta  limbahnya mencemari lingkungan. Kemudian melanggar hak-hak asasi manusia karena mempekerjakan anak.

Belakangan masyarakat, dunia usaha, dan para pengamat ekonomi hangat membincangkan keputusan Presiden Jokowi untuk ikut kerja sama Trans Pasifik (Trans Pacific Patnership atau/TPP). Hal itu dikatakan Presiden Jokowi usai berkung ke AS. Menurut Presiden Jokowi  niat Indonesia ikut TPP atas ajakan Presiden AS Barack Obama.

TPP adalah salah satu blok atau kerja sama perdagangan bebas yang diinisiasi antara lain oleh Amerika Serikat (AS) dan kini beranggotakan 12 negara yaitu: AS, Australia, Brunei, Chile, Jepang, kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.

Keputusan Presiden Jokowi ini langsung menimbulkan reaksi prokontra.  Banyak yang terheran-heran atas berita tersebut. Sebab Presiden SBY selalu tegas menolak  ikut  TPP. Kini Presiden Jokowi berniat bergabung. Tentu sebagian akan menganggap bahwa Presiden Jokowi ingin memberi kesan berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Sebagian lagi menganggap bahwa Presiden Jokowi ingin mencari keseimbangan politik.

Kalau selama ini orientasi kerja sama ekonomi Indonesia dengan Tiongkok, maka kini perlu diimbangi dengan negara-negara trans pasifik. Sebagian lagi secara sinis mengatakan bahwa AS telah berhasil “menembak” kelemahan Jokowi sebagai orang Jawa demi kepentingannya. Orang Jawa suka dipuji (dalam istilah Jawa dipangku). Hal ini sesuai dengan nasihat Menlu AS John Foster Duller kepada Presiden AS Eisenhower. Untuk membujuk orang-orang Amerika Latin (yang sifatnya mirip orang Jawa), Anda hanya perlu sedikit menepuk bahu. Mereka akan  berpikir Aanda menyukai mereka.

Perlu dikaji secara kritis untung rugi bergabung dalam blok TPP tersebut. Soliditas internal TPP meragukan, meskipun perundingan TPP dilakukan sejak tahun 2010. Contoh- Selandia Baru versus AS dan Kanada dalam masalah liberalisasi produk susu. Australia versus AS dan Meksiko tentang kesepakatan perdagangan gula. AS versus Jepang terkait perjanjian dagang beras, dan masih banyak lagi.

Pertimbangkan juga  suara-suara kritis para ahli ekonomi terkemuka dunia seperti Joseph Stiglitz. Dia menyatakan,  TPP bukanlah organisasi perdagangan bebas murni, tetapi hanya kedok AS untuk membuka pasar negara-negara  berkembang.

Pertimbangan berikutnya,  dari pengalaman ikut dalam perjanjian perdagangan bebas lain banyak yang tidak jelas. Contoh paling nyata kerja sama ASEAN dan Tiongkok atau ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), defisit perdagangan Indonesia makin lebar.

Nilai Plus

Kalau ada sisi negatif, tentu juga terdapat positifnya. Indonesia bisa memetik keuntungan dengan memperluas pasar produk-produk yang berdaya saing seperti tekstil, alas kaki, makanan dan pertanian (di mana Indonesia hanya kalah dari Thailand). Kemudian,  industri olahan perkebunan (ban dengan karet alam bermutu tinggi). Atas hal ini barangkali Presiden Jokowi optimistis karena melihat Vietnam yang komoditi unggulan dan struktur ekonominya mirip Indonesia berani menjadi anggota lebih dulu di TPP.

Dengan masuk ke TPP yang terkenal ketat aturan dengan standar tinggi, maka pengusaha Indonesia justru ditantang menjadi efisien. Dalam teori ekonomi mikro ada sebuah “kurva belajar“ berupa biaya rata-rata dalam jangka panjang yang semakin menurun. Ini dihasilkan dari proses “belajar” perusahaan dalam jangka panjang. Antara lain lewat persaingan dengan perusahaan-perusahaan bagus.

Proses belajar ini menjadi lebih berharga daripada “keuntungan” karena memproteksi perusahaan-perusahaan dalam negeri seperti pendapatan pemerintah dari bea masuk atau bea impor. Proteksi terhadap perusahaan atau industri dalam negeri tetap diperbolehkan, tetapi tetap harus ada batas waktunya.

Dengan keikutsertaan dalam TPP akan “memaksa” pemerintah  memfasilitasi dunia usaha Indonesia agar bisa berusaha atau berproduksi dengan biaya rendah, sehingga murah dan berdaya saing sesama  anggota TPP. Selama ini biaya tinggi para pengusaha Indonesia bersumber dari ongkos  logistik karena infrastruktur jelek dan birokrasi berbelit-belit. Selain itu, upah buruh selalu naik dari waktu ke waktu, korupsi, serta biaya modal atau bunga yang tinggi.

Pemerintah harus terus meningkatkan efisiensi. Pangkas sumber-sumber inefisien seperti korupsi dan izin berbelit-belit. Pemerintah juga harus menciptakan sistem pengupahan yang seimbang, tidak melulu memihak buruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar