Pengadaan dan Pemasaran Obat
yang Berpihak kepada Masyarakat
Samsuridjal Djauzi ; Mantan
Sekjen PB IDI
|
KOMPAS,
18 November 2015
Penggunaan obat di
Indonesia cukup tinggi karena jumlah penduduk kita sudah mencapai sekitar 250
juta orang. Masyarakat membutuhkan bermacam jenis obat untuk penyakit yang
diderita serta jumlah obat yang tersedia mencukupi dengan harga yang
terjangkau.
Industri obat kita
sudah berkembang meski untuk bahan baku obat pada umumnya perlu impor.
Biofarma telah berhasil menyediakan vaksin yang diperlukan untuk program
imunisasi nasional, bahkan juga mampu melakukan ekspor produk vaksinnya.
Sekitar 70 persen penghasilan Biofarma berasal dari ekspor. Perusahaan
farmasi kita juga sudah berhasil melakukan ekspor meski jumlahnya masih
sedikit. Pasar obat di dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 70 triliun.
Industri farmasi kita berhasil menyerap tenaga kerja yang signifikan.
Jumlah perwakilan
perusahaan farmasi yang mengunjungi dokter di seluruh Indonesia mencapai
puluhan ribu orang karena setiap perusahaan farmasi mempunyai armada
perwakilan perusahaan obat (medical
representative) 400-1.000 orang. Berbeda dengan obat bebas yang dapat
diiklankan kepada umum, obat beresep hanya boleh dipasarkan dengan cara
tertentu, seperti pameran di pertemuan ilmiah kedokteran, iklan di majalah
ilmiah kedokteran, dan simposium atau seminar ilmiah kedokteran.
Cara-cara pemasaran
obat beresep di Indonesia sebenarnya hampir sama dengan di luar negeri.
Sekitar tahun 1985, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama profesi kefarmasian
telah mengeluarkan pedoman bersama mengenai pemasaran obat (beresep). Pedoman
tersebut untuk mencegah terjadinya kerja sama perusahaan obat dan dokter yang
merugikan masyarakat.
Biaya pemasaran obat
Seperti juga produk
lain, untuk memasarkan obat, diperlukan biaya pemasaran. Kita mengenal tiga
jenis obat beresep yang beredar, yaitu obat paten, obat generik, dan obat
generik bermerek. Obat generik biasanya tak memerlukan biaya pemasaran
sehingga harganya menjadi sangat murah. Obat paten memerlukan biaya
penelitian dan pemasaran sehingga harganya amat tinggi, sedangkan obat
generik bermerek perlu biaya pemasaran.
Besarnya biaya
pemasaran 10 persen-30 persen dari harga obat. Obat baru memerlukan biaya
yang besar untuk dikenalkan sehingga biaya pemasarannya sekitar 30 persen,
sedangkan obat yang sudah lama yang sudah dikenal dokter tetap harus dijaga
keberadaannya sehingga tetap memiliki biaya pemasaran meski hanya sekitar 10
persen.
Mengenai harga obat
telah dicantumkan pada waktu obat mendapat izin registrasi. Masyarakat dapat
memeriksa harga obat di kotak atau pembungkus obat dengan tanda HET (harga
eceran tertinggi). Apotek tidak boleh menjual obat melampaui harga yang
tercantum. Karena kompetisi dalam pemasaran obat, beberapa perusahaan obat
memberikan diskon khusus untuk apotek sehingga ada apotek yang dapat
menurunkan harga obat sehingga lebih murah dari HET.
Pemasaran obat untuk
profesi dokter dilaksanakan dengan mendukung program pendidikan
berkesinambungan profesi kedokteran. Jumlah dokter di Indonesia dewasa ini
sekitar 110.000 orang dan semua harus mengikuti program pendidikan
berkesinambungan sebagai syarat memperbarui izin praktik.Hampir setiap minggu
kita menyaksikan pertemuan ilmiah kedokteran karena jumlah perhimpunan
profesi kedokteran telah mencapai hampir 40 organisasi.
Pertemuan ilmiah tidak
hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga di kota lain. Bahkan, sebenarnya
pertemuan ilmiah yang rutin dikerjakan adalah di fakultas kedokteran dan
rumah sakit. Pertemuan ilmiah di fakultas kedokteran dan rumah sakit biasanya
hanya melibatkan jumlah peserta yang terbatas. Untuk pertemuan ilmiah yang
lebih luas, biasanya dilaksanakan di gedung pertemuan atau hotel yang mampu
menampung jumlah peserta antara 500 orang dan 2.000 orang.
Bagaimana cara
perusahaan farmasi mendukung program pendidikan berkesinambungan sekaligus
memasarkan produknya? Mereka dapat mensponsori salah satu sesi (biasanya
sekitar dua jam). Melakukan pameran obat 2-3 hari. Mencetakkan buku abstrak, agenda,
serta buku ilmiah hasil pertemuan. Biaya untuk pertemuan ilmiah cukup besar
dan untuk menghadiri pertemuan ilmiah ini peserta harus membayar. Meski
beberapa perhimpunan profesi telah membuat kebijakan untuk memberi bantuan
kepada sejawat yang bertugas di daerah terpencil sehingga mereka tetap dapat
mengikuti pendidikan berkesinambungan ini.
Mencegah penyimpangan
Meski telah ada
pedoman pemasaran obat, tentu saja dapat terjadi penyimpangan. Penyimpangan
ini juga menjadi pembicaraan di kalangan profesi kedokteran dan setiap
organisasi kedokteran berusaha untuk menjaga harkat profesi dengan menegur
anggotanya yang mungkin menyimpang. Penyimpangan yang mungkin terjadi adalah
jika perusahaan obat menjanjikan memberi hadiah atau honorarium untuk dokter
yang banyak menggunakan obat perusahaan tertentu. Obat beresepyang mendapat
izin beredar Badan Pengawasan Obat dan Makanan adalah obat yang telah
dinyatakan bermanfaat dan efek sampingnya dapat ditoleransi.
Dokter dapat memilih
obat yang disukainya untuk diresepkan dan bahan pertimbangan dokter adalah
uji klinik dan pengalaman kliniknya dalam keberhasilan mengobati pasien,
harga, dan kenyamanan penggunaan obat. Jika dokter bekerja di rumah sakit,
pilihan obat akan terbatas pada obat yang disediakan farmasi rumah sakit.
Farmasi rumah sakit
cenderung membatasi jenis obat yang sama, tetapi biasanya farmasi rumah sakit
selalu menyediakan obat generik, obat paten, dan beberapa obat generik
bermerek. Rumah sakit yang penggunaan obatnya banyak tentu menjadi salah satu
pasar yang dituju perusahaan obat. Karena itu, beberapa perusahaan obat
berani memberi diskon cukup besar.
Pertemuan Menteri
Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan KPK baru-baru ini menarik perhatian
kalangan profesi kedokteran. Sudah tentu profesi kedokteran mendukung
penertiban pemasaran obat yang merugikan masyarakat. Sudah waktunya pedoman
pemasaran obat yang sudah cukup lama diberlakukan ditinjau kembali. Sistem
pengadaan obat serta pemasaran obat di negeri kita perlu disempurnakan. Kita
berharap tidak banyak lagi celah yang memungkinkan penyimpangan yang pada
akhirnya merugikan masyarakat. Namun, di sisi lain, kita bersama juga perlu
memperhatikan pengembangan profesi kedokteran serta industri farmasi kita dan
nasib puluhan ribu perwakilan perusahaan obat.
Janganlah karena
reaksi yang berlebihan mereka harus di-PHK. Kita juga amat berharap
pendidikan berkesinambungan yang amat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan
dokter dalam melayani pasien akan tetap terjaga. Tak kalah pentingnya,
industri farmasi kita yang sudah mulai tumbuh harus tetap dimajukan, jangan
sampai pertumbuhannya terhenti karena isu ”perusahaan farmasi menyuap
dokter”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar